Menggenggam tiga buku tebal di tangan kiri dan empat buku di tangan kanan, perempuan Jerman itu berdecak sambil menggeleng-gelengkan kepala. "Oh my God, oh my God. This is crazy," katanya berulang-ulang.
Siang itu ia terimpit di antara rak-rak buku bekas di Hay Cinema Book Shop, Hay-on-Wye, Inggris. Inilah toko buku tiga lantai yang menyimpan lebih dari 200 ribu judul buku bekas dari berbagai tahun penerbitan, dari berbagai negara dan tentang berbagai subyek.
"Di mana Anda mendapatkan buku-buku anak itu?" tanya TEMPO. "Di sana, sebelah belakang, belok kiri lalu naik satu lantai," jawabnya acuh tak acuh sambil tetap menatap tumpukan buku di depannya—sekumpulan buku psikologi modern. Tiba-tiba, bruk..., buku-buku yang digenggamnya berjatuhkan. Sambil kerepotan, ia buru-buru memungutnya satu per satu. Mulutnya kembali bergumam, "Oh my God, oh my God. This is crazy…."
Turis Jerman itu hanya satu di antara ratusan pengunjung Hay-on-Wye yang terkesima. Bagi pencinta buku, Hay adalah surga. Kota kecil berpenduduk 1.500 orang itu (di Jakarta mungkin cuma seluas satu rukun tetangga) menyimpan lebih dari 5 juta judul buku bekas. Terdapat 38 toko buku di Hay. Tiap toko menjual buku dengan spesifikasi sendiri-sendiri. Ada toko yang khusus menjual buku-buku puisi, ada pula yang hanya menjual buku anak, tentang tanaman dan berkebun, novel, fiksi, atau komik. Sepanjang lorong-lorong kota yang tua, hanyalah susunan toko-toko buku itu yang tampak. Di Hay-on-Wye lebih banyak toko buku daripada pub, restoran, atau WC umum.
Hay Cinema Book Shop, misalnya. Toko ini memajang buku bekas dari berbagai tema: dari buku memasak sampai strategi militer, dari fisika nuklir hingga golf. Dari luar, bentuknya terlihat seperti rumah biasa. Masuk ke dalam, kita akan menemukan rak-rak buku yang disusun berjajar dalam ruangan tiga lantai. Tiap lantai luasnya sekitar 400 meter persegi. Saking banyaknya, belum tentu mudah melacak buku yang kita inginkan.
Di sela-sela rak buku memang dipasang peta untuk memudahkan calon pembeli. Tapi, di tengah ratusan ribu tumpukan buku, peta itu lebih mirip denah labirin yang rumit lagi membingungkan.
Di beberapa bagian toko, buku-buku sudah berbau apak. Tapi jangan khawatir, di sinilah harta karun itu tersimpan. Di seksi politik, misalnya, pengunjung bisa mendapatkan berbagai karya awal Harold J. Laski, seperti A Grammar of Politics terbitan tahun 1925 atau Montesquieu dengan Trias Politika-nya yang terkenal itu. Di sebelahnya berjejer karya Karl Marx, John S. Mill, atau John Locke.
Buku sastra, puisi, dan novel? Jangan takut. Toko ini menyajikan ribuan buku, seperti karya Charles Dickens, Hugo, Walt Whitman, atau Emily Dickinson. Ribuan novel dan naskah dari beragam pengarang juga tersedia. Di salah satu sudut tampak Rubaijat karya sastrawan Omar Khayam teronggok dalam kondisi sudah lusuh.
Kalau ingin buku yang lebih tua, berjalan-jalanlah ke Richard Booth Bookstore, sekitar 500 meter dari Hay Cinema Book Shop. (Di kota kecil seperti Hay, semua tempat bisa ditempuh dengan berjalan kaki.) Ini adalah toko buku bekas terbesar di Hay dengan koleksi buku lebih dari setengah juta judul. Di bagian depan, tak jauh dari kasir, Richard Booth—si pemilik toko dan pemrakarsa Hay sebagai kota buku—memajang edisi perdana karya klasik Charles Darwin, Origin of The Species. Seperti hendak memamerkan "hartanya", di sebelahnya Booth menjejer buku yang sama tapi dari tahun penerbitan yang lebih muda. "Semua ini kekayaan saya," kata Richard Booth sembari terkekeh.
Harga buku di Hay bervariasi. Umumnya, semakin tua, buku-buku itu semakin mahal—meski tak pernah semahal buku-buku baru di pusat Kota London. Rubaijat, yang setebal bantal dan disajikan dalam bahasa Arab, Inggris, Prancis, Jerman, Italia, dan Denmark, dilego dengan harga 10 pound (Rp 150 ribu pada kurs Rp 15 ribu). Buku Demian Thomson, The End of Time tahun 1996, yang di London dijual 17 pound (Rp 225 ribu), di Hay hanya dijual 3,5 pound (sekitar Rp 52.500).
Kalau mau buku yang lebih murah, berjalanlah ke Bag of Book. Di sana semua buku—tak peduli judul, pengarang, atau waktu terbitnya—dijual dengan harga satu pound (Rp 15 ribu). Untuk ukuran Indonesia, harga itu mungkin tidak kelewat murah. Tapi di Inggris, tempat secangkir teh berharga 2 pound, uang satu pound termasuk kategori recehan.
Umumnya buku yang dijual di toko ini adalah novel. Penggemar fiksi akan berkubang kesenangan di sini. Mulai karya terbaru Tom Clancy hingga Sleepers karangan Lorenzo Cartacerra (pernah difilmkan dengan judul serupa) lengkap tersedia. Berbagai buku penerima penghargaan internasional juga seabrek. Sebutlah misalnya Soul Mountain karya penulis Cina, Gao Xingjian (pernah mendapat hadiah Nobel di bidang kesusastraan). Atau The Famished Road karangan Ben Okri, pengarang Nigeria yang kini tinggal di Inggris dan pernah mendapat Booker Prize pada 1991. Semua dengan harga murah meriah: satu pound! Sebagai perbandingan, di Toko Buku QB Jakarta, The Famished Road dijual seharga Rp 154 ribu.
Mau yang harganya lebih miring lagi? Pergilah ke Hay Castle Bookshop. Toko yang disulap dari kastil tua itu menjual buku dengan harga hanya 50 pence (setengah pound) atau kurang. Dijejer dalam rak-rak di pelataran terbuka, toko itu tanpa pelayan. Setiap pembeli boleh sesuka hati mengambil buku yang diinginkan, lalu membayar 30 pence untuk buku bersampul lunak (paperback) dan 50 pence untuk buku bersampul keras (hardback). Uang bayaran tinggal dimasukkan ke kotak yang disediakan di sudut halaman. Karena tanpa pengawas, toko ini disebut juga Honesty Bookshop alias Toko Buku Jujur.
Satu-satunya yang berharga mahal di Hay adalah peta kuno. Dibandingkan dengan penjual buku, penjual peta memang tak banyak. Salah satunya adalah Toko Forwood's. Bagi pencinta peta, Forwood's adalah tambang emas. Di sana ratusan peta berusia ratusan tahun diperdagangkan. Harganya tinggi. Satu peta Inggris berusia 300 tahun dijual 650 pound (hampir Rp 10 juta). Yang murahan adalah peta Indonesia dan Asia-Pasifik karya Victor Levasseur (1856), yang dijual dengan harga 75 pound (Rp 1.125.000). Konon, jika paham perihal keaslian peta, harganya di Tanah Air bisa berpuluh-puluh kali lipat.
Mengapa harga buku di Hay bisa begini miring? Kuncinya adalah jaringan. Umumnya pemilik toko buku di Hay-on-Wye memiliki network dengan penyuplai buku bekas di seantero Eropa dan dunia.
Richard Booth, misalnya, selain memiliki dua toko buku bekas di Hay-on-Wye, satu di Skotlandia dan satu di Montolieu, Prancis Selatan juga merupakan pendiri European Book Town Net Project atau Jaringan Kota Buku di Eropa. Jaringan ini menyebar ke Prancis, Swiss, Belanda, Jerman, Norwegia, Swedia, Finlandia, bahkan hingga Kanada dan Amerika. Tahun depan, jaringan ini akan dikembangkan hingga Malaysia.
Dengan jaringan itu, pengadaan buku bekas jadi mudah dan murah. Sehari-hari Booth bisa mendatangkan buku bekas bertruk-truk dari segala penjuru dunia. Populer di kalangan penjual dan pembeli buku bekas, para pemilik toko buku di Hay-on-Wye tak kesulitan mencari pasokan. Tinggal pasang iklan di koran Inggris, para pemasok berdatangan. "Umumnya mereka orang yang hendak menjual perpustakaannya," kata Anne Dewell, seorang nenek penjaga salah satu toko. Meski demikian, tak jarang pedagang buku dari Hay berkeliling ke perpustakaan-perpustakaan kampus di seantero Eropa untuk mencari buku bekas.
Jaringan luas ini pula yang membuat buku yang relatif baru di Hay harganya juga bisa jatuh. The Bookshop, misalnya. Toko ini adalah bagian dari grup Bookend—jaringan toko buku yang cukup ternama di Inggris. Mereka bisa mendapatkan buku-buku cacat (damage book) dari pabrik dengan harga murah—melalui jaringan bisnis ini.
Sejatinya, apa yang disebut buku cacat tak benar-benar cacat. Paling-paling kover luarnya sedikit terlipat atau satu-dua halaman dalamnya tercetak buram. Tapi, dengan kontrol kualitas yang tinggi, percetakan buku di Inggris kerap tak mau ambil risiko. Mereka menyisihkan buku itu sebagai barang rusak. Hasilnya menggembirakan buat pembeli. Biografi sastrawan Rusia, Alexander Solzhenitsyn, karangan D.M. Thomas (1998) setebal hampir 600 halaman dengan hardcover hanya dijual seharga 8,95 pound (sekitar Rp 135 ribu)—kurang dari separuh harga aslinya.
Dengan memanfaatkan jaringan itu pula, Hay menawarkan kemudahan lain bagi penggila buku, yakni jasa pencarian buku (book searching). Salah satunya adalah Acadia Book & Booksearchers. Toko ini mampu mencari 20 juta judul buku di seluruh dunia melalui jaringan internetnya hanya dalam 5-10 menit. Jika ditemukan, pembeli tinggal membayar harga buku. Urusan selanjutnya menjadi tanggung jawab pegawai toko. Dalam beberapa pekan, buku itu akan dikirim ke alamat si pembeli. Jika ternyata tak cocok, pembeli masih punya hak menolak dan meminta uangnya kembali. Berdasarkan pengalaman, tingkat keberhasilan pencarian buku adalah 90 persen.
Jika buku yang dicari tak juga diperoleh, jangan khawatir. Toko lain menawarkan cara berbeda. Stella and Rose's Books meminta waktu tiga bulan untuk mencarikan buku yang dimaksud. Pesanan itu akan mereka lacak melalui berbagai cara: internet, telepon, iklan, atau kasak-kusuk. Jika diperoleh, mereka akan mengontak pembeli di negeri asalnya dan memberikan informasi harga. Jika oke, barang dikirim. Biaya pencarian buku ini hanya lima pound (Rp 75 ribu).
Dengan semua fasilitas itu, tak salah untuk menyebut Hay-on-Wye sebagai surga buku. Dan pencinta buku adalah rajanya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini