Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DIA selalu muncul sebagai orang tua berjanggut panjang, berkepala botak, dengan kening menonjol. Tangan kiri memegang tongkat, tangan kanan menggenggam buah peach pemanjang umur. Dalam kepercayaan Tionghoa, kakek tua ini menentukan hidup-mati seseorang. Dialah Shou Xing, sang Dewa Umur Panjang. Ada pula yang memanggilnya Bintang Kutub Selatan.
Sosoknya "menjelma" sebagai batik yang ditulis di atas kain mori halus. Perajin batik Lasem mengerjakannya 131 tahun silam. Kain ini diduga adalah seprai hadiah orang tua kepada anaknya di hari pernikahan. Harapannya, si anak panjang umur dan dibanjiri rezeki.
Ini adalah salah satu koleksi Hartono Sumarsono, 58 tahun. Setiap bidangnya sarat dengan motif binatang mitologi Cina yang—bila dilihat sepintas—tampak hidup dan bergerak. "Saya peroleh seprai ini pada 1980. Sekarang sulit didapat. Hanya ada tiga helai di dunia," kata Hartono beberapa pekan lalu kepada Tempo. Sehelai lainnya, seprai motif burung hong, ada dalam lemari Hartono. Satu lagi diduga ada di tangan seorang kolektor di Amerika.
Seorang kolektor asal Jerman, saat perhelatan Indonesia World Batik Summit 2011, Oktober lalu, merayu Hartono agar mau menjual seprainya. Namun rayuan gencar itu gagal total. "Bukan soal duit, tapi ini kan sejarah Indonesia," kata Hartono. Berapa harga yang ditawarkan, Hartono menolak memberi tahu. Yang jelas, batik antik harganya bisa puluhan juta rupiah, bahkan bisa lebih dari Rp 100 juta.
Kenapa batik antik bisa semahal itu? Ada banyak faktor yang mempengaruhinya: keaslian, siapa artisan yang mendesain, sejarah, usia, dan kondisi batik itu kini. Jika faktor-faktor itu bertemu dalam selembar kain, duit bukan lagi masalah. "Berapa pun harganya, kalau kolektor suka, pasti dibeli," kata Taufik, yang sudah 15 tahun menjadi perantara antara pemilik batik dan kolektor.
Soal usia sudah pasti menjadi ciri terpenting batik antik. Ada kolektor menyebut batik antik dengan istilah lawasan. Padahal batik lawasan belum tentu antik. Lawas dalam bahasa Jawa berarti lama. Namun kain batik baru dikategorikan antik bila usianya lebih dari 50 tahun.
Tua saja tak cukup. Syarat lainnya adalah kondisinya masih bagus. Kain bergambar Dewa Panjang Umur milik Hartono itu termasuk yang masih oke. Warna dasar seprai yang awalnya putih gading memang sudah berubah kekuningan. Namun pinggirannya masih terawat, hampir tanpa cacat. Ragam motifnya didominasi warna merah mengkudu. Ada sedikit sentuhan warna soga (cokelat dari kayu pohon soga) pada motif di tepi kain. Seluruh kombinasi warnanya sempurna.
Bila motif, warna, dan jenis kain terbilang langka, harga menjadi berkali-kali lipat. Apalagi bila batik itu dibuat oleh artisan (pemilik usaha pembatikan) ternama, seperti Oey Soe Tjoen, Van Metzelaar, Eliza van Zuylen, dan Von Franquemont.
Batik Oey Soe Tjoen dari Kedungwuni, Pekalongan, misalnya, termasuk koleksi yang paling diburu. Harga sehelai batik Oey pada masa keemasannya (1930-an) sekitar 25 gulden. Jika 1 gulden setara dengan 1 gram emas, kain ini seharga Rp 13,5 juta. Itu belum dihitung faktor usia dan kelangkaannya. Keantikan bisa membuat harga kain tersebut naik berkali lipat. Harga batik tulis yang dibuat oleh keturunan Oey Soe Tjoen saja saat ini mencapai Rp 8 juta.
Lain lagi dengan batik karya Nyonya Van Metzlaar. Menurut Taufik, harga pasaran batik Belanda ini antara Rp 25 juta dan Rp 30 juta sehelai. "Pasar di Jakarta ini tidak menentu. Ada yang hanya sanggup bayar Metzelaar Rp 25 juta, ya, saya lepas. Apalagi kalau ada yang sanggup bayar Rp 50 juta," katanya. Taufik, misalnya, pernah menjual batik tulis Pekalongan dengan motif tulisan Arab seharga Rp 50 juta.
Hal terakhir yang menentukan nilai batik adalah sejarah. Menurut kolektor Tumbu Astiani Ramelan, batik antik termahal yang pernah dilepas di pasar adalah selembar batik Pekalongan koleksi Presiden Sukarno. Batik itu dijual dengan harga Rp 100 juta. "Padahal batik itu motifnya tidak istimewa. Buat saya seperti batik Pekalongan biasa. Tapi, karena ada sejarahnya, mungkin dihargai segitu," katanya.
Batik yang dikoleksi ini beragam, dari batik pesisiran (Lasem, Cirebon, Pekalongan, dan lainnya) hingga batik keraton (Yogyakarta dan Solo). Untuk batik keraton, kecantikan motif relatif sama, meski kehalusannya berbeda. Ada pakem yang membuat batik dari kedua kota itu menjadi standar. Warnanya pun hampir mirip: cokelat soga.
Menurut Iwan Tirta, dalam bukunya Batik, A Play of Light and Shades (1996), motif batik keraton ditentukan oleh keluarga raja dan para priayi. Pada masa kejayaan Hindu di Jawa Tengah, desain batik terinspirasi oleh ritual keagamaan. Karena kelas atas yang terlibat dalam ritual itu, mereka berhak menentukan motif batik. Ada pakem tertentu dalam membuat motif—yang biasanya geometris dan berulang.
Itulah mengapa nilai batik keraton tidak ditentukan oleh motif (yang cenderung seragam), melainkan oleh usia dan sejarah. Atau mungkin tuah. Tumbu memiliki sehelai batik tulis halus keraton yang dianggap "berisi". "Tidak sembarang orang bisa pakai. Banyak yang bilang batik ini memiliki nuansa magis dan aura yang kuat sekali," kata dia. Batik buatan Solo tahun 1940 ini bermotif pusaka pamungkas berwarna soga. Motif pusaka, seperti swastika, termasuk langka.
Ini bertolak belakang dengan batik pesisir Pantai Utara Jawa, yang motifnya tidak dipakemkan. Hal tersebut membuat motif batik pesisir amat beragam. Warnanya pun cerah. "Batik pesisiran lebih dilihat segi estetikanya," kata Asmoro Damais, desainer dan ahli kain yang juga mengoleksi batik kuno. Batik pesisiran kerap disamakan dengan lukisan. Motif dan artisan pembuatnya jadi penting. Bahkan mirip kanvas lukisan, ada tanda tangan artisan di salah satu sudut kain itu.
Meski bernilai seni, kain itu dulunya dipakai dalam kehidupan sehari-hari, sebagai seprai, sarung, atau gendongan bayi. Brigitte Wilach, peneliti batik dari Jerman, terheran-heran melihat salah satu koleksi Hartono: sehelai kain batik panjang bang-bangan (merah) bermotif hewan. Kain itu dibuat di Lasem pada 1870 untuk gendongan bayi. "Bagaimana mungkin kain sebagus ini dipakai untuk menggendong bayi?" katanya.
Keterbukaan batik pesisir pada motif di luar pakem ini mengundang budaya dan orang luar (Cina, Arab, India, bahkan Belanda) untuk ikut berpartisipasi. Selain memiliki seprai Tionghoa, Hartono menyimpan sehelai kain batik panjang bermotif wayang. Kain ini dibuat di pembatikan Carolina Maria Meyer-de Batts, wanita Indo-Belanda yang tinggal di Pekalongan, pada 1870.
Kain batik itu diilhami syair Kakawin Arjuna Wiwaha karangan Mpu Kanwa (1030 M). Kain kuno serupa, bermotif wayang Panji, disimpan di Tropenmuseum—museum etnologi terbesar di Belanda. "Kain ini sudah sangat tua, bahkan saya tidak berani membawa-bawa lagi," kata Hartono, yang juga pemilik bisnis tekstil batik Kencana Ungu.
Pada kain ini terlukis tokoh-tokoh wayang, lengkap dengan gunungan. Juga terdapat motif buah manggis, burung hong, kalajengking, kaki seribu, capung, laba-laba, cicak, kelelawar, dan kupu-kupu yang ukurannya tidak proporsional. Motif utama yang diberi warna biru indigo dibuat di Pekalongan. Namun tepinya yang berwarna merah dibuat di Lasem. Latarnya yang berwarna putih tua diberi hiasan cocohan (titik halus dari tusukan jarum pada malam).
Tumbu juga memiliki sehelai kain sarung Kompeni Pekalongan buatan 1910. Motifnya terinspirasi dongeng Eropa: gadis kerudung merah. Kain berwarna dasar krem dengan motif biru muda dan tua itu memiliki motif pinggiran lung (sulur menjuntai) kembang. Pada masa keemasan batik Belanda Pekalongan (1880-1919), dongeng Eropa, seperti Si Topi Merah dan Serigala (Roodkapje), Hans dan Grettel, serta Robin Hood, memang mewarnai ragam motif batik Pekalongan.
Batik kok bergambar gadis kerudung merah dan Robin Hood? Batik, sesungguhnya, adalah proses pewarnaan pada kain. Dalam bahasa Jawa, batik adalah singkatan dari amba (menulis) dan nitik (titik). Prosesnya memang menorehkan garis dan titik. Media yang digunakan adalah lilin atau malam. Lilin ini berfungsi menghalangi pewarna menodai kain saat pencelupan. Dengan demikian, apa pun motif yang tergambar di atas kain itu, selama prosesnya seperti itu, kain tersebut disebut batik.
Metode ini sebetulnya sudah dikenal lebih dari 1.000 tahun. Mesir, Cina, India, Timur Tengah, bahkan Afrika Barat sudah menggunakan teknik ini. "Tidak diketahui pasti kapan batik mulai dibuat di Jawa. Tapi di sinilah metode pembatikan berkembang pesat dan batik yang dihasilkan paling kaya warna, motif paling beragam, pengerjaan paling halus dan cermat," kata Asmoro.
PERBURUAN batik kualitas terbaik sudah dimulai sejak masa Thomas Stamford Raffles, Gubernur Jenderal Inggris pada 1811-1816. Dia tercatat pernah mengirim kain-kain batik ke negaranya sebagai contoh motif industri katun cetak. Namun kiriman itu musnah saat kapalnya terbakar di laut. Kiriman kedua selamat, dua helai yang tersisa disumbangkan keluarganya ke Museum of Mankind di London pada 1939. British Museum dan Tropenmuseum juga menyimpan koleksi batik dari zaman itu.
Batik-batik paling halus, kalau tidak "berlayar" ke Eropa, disimpan oleh keluarga keraton atau saudagar kaya. Batik koleksi orang Cina peranakan kebanyakan dikuburkan bersama pemiliknya. Jarangnya batik lama inilah yang membuat Hartono dan kolektor lain tertantang mengumpulkan batik-batik terbaik dari seluruh negeri.
Awal 1980, Hartono mulai jatuh cinta kepada batik kuno. Perburuannya dimulai dari pedagang Minang di Jalan Surabaya, Jakarta Pusat. "Waktu itu jarang sekali orang menghargai batik. Batik antik agak sulit dijual. Pemilik memilih menjual kepada kolektor asing," kata dia.
Namun justru karena dikoleksi orang asing itulah hasrat Tumbu mengumpulkan batik antik melonjak. Saat mengikuti suami—Rahadi Ramelan—ke Jerman pada 1970-an, dia berteman dengan beberapa kolektor batik. Misalnya Rudolf G. Smend dari Jerman dan Masakatsu Tozu dari Jepang, yang koleksinya ribuan. "Kok sayang, ya, kain-kain batik yang bagus malah ada di tangan orang asing," kata dia.
Di Tanah Air, batik antik banyak yang tidak dipelihara dengan baik, kerap lapuk oleh kelembapan dan ngengat. "Koleksi batik tertua yang ada sekarang paling umurnya 100 sampai 150 tahun, tidak bisa lebih karena kain hancur dimakan waktu," kata Hartono. Toh, dengan keterbatasan itu, dia bisa mengoleksi seribu lembar. Separuhnya tergolong batik antik berkualitas tinggi.
Hartono memang tergolong ngotot dalam berburu. Demi hasratnya berburu batik, pada 1996, ia pernah mendatangi seorang pedagang beras di Petojo, Jakarta Pusat. Kabarnya, si encik penjual beras mempunyai langganÂan yang mengoleksi batik Lasem dengan motif terbaik. Perburuannya tidak sia-sia. Hartono mendapatkan sarung bang ungon dengan motif langka: merak berlatar gribigan, kepalanya pasung mainan dengan motif tumpal cepet. Batik ini dibuat pada 1900 di Lasem. "Ini salah satu koleksi sarung batik terbaik saya," katanya.
Perburuan paling menarik Âdialami Hartono pada sekitar 1984. Dia diajak bertemu dengan bekas pengusaha batik keturunan Arab di Petamburan, Jakarta Pusat. Bagai mendapat durian runtuh, dari teman baru ini Hartono memperoleh enam lembar kain batik buatan Lien Metzelaar-de Stoop. "Ya, enam potong sekaligus! Dapat satu helai saja sudah sangat beruntung," katanya. "Kondisinya masih bagus dan saya beli harganya murah sekali."
Tumbu awalnya juga berburu seperti Hartono. Mulai Beringharjo sampai desa-desa di Bali. Lama-kelamaan jaringan penjual batik antik mengenalnya sebagai kolektor. "Saya enggak perlu berburu ke mana-mana. Orang tahu saya koleksi, mereka menawarkan lewat telepon atau datang ke rumah," katanya.
Ade Krisnaraga Syarfuan, penggiat Rumah Pesona Kain, juga mengoleksi batik antik. Dia mewarisi kain-kain tua milik ibunya. Ade memburu koleksi batik antiknya dengan mendatangi pameran batik. "Saya mulai datangi pameran-pameran batik, karena di sana biasanya jaringan penjual batik berkumpul," kata dia. Koleksinya sebagian besar adalah batik sogan Solo dan Yogyakarta.
Jual-beli batik kuno pun ada akal-akalannya. Kolektor bisa saja tertipu. Hartono mengatakan ada seorang perantara yang menawarkan batik berusia 90 tahun. Padahal, menurut perkiraan Hartono, umur batik itu baru sekitar 50 tahun. Bagaimana dia tahu? Tak perlu dibawa ke laboratorium. Cara mengenali usia batik, menurut Hartono, adalah dengan melihat klowongan (garis putih antara warna dasar dan motif). Batik era 1940-an memiliki klowongan yang halus dan tipis.
Untuk batik pesisir yang dibuat para artisan Belanda atau Cina, cara mengetahui keasliannya lebih mudah. Sejak 1870, juragan batik Indo-Eropa mulai membubuhkan tanda tangan di sisi kiri atas bagian kepala kain. Belakangan juragan dari bangsa lain juga mulai menorehkan tanda tangan. Awalnya dengan pensil, lalu perajin menelusuri tanda tangan itu dengan canting dan ditutup malam.
Penghasil batik Belanda, Eliza van Zuylen, misalnya, menandatangani batiknya sejak awal proses pembuatan. Tidak cukup dengan tanda tangan, tapi juga dengan cap tinta Cina seperti yang dikerjakan pembatik Cina peranakan sebelumnya. Motif batiknya juga diberi nomor seri. Namun, setelah 1940, dia tidak lagi menandatangani kainnya. Meski demikian, penggemarnya tahu mana karya Nyonya Van Zuylen yang asli, walau tanpa tanda tangan. "Hanya mata kolektor yang terbiasa yang bisa membedakan keaslian batik karya pembatik tertentu," kata Hartono.
Ninin P. Damayanti
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo