Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Liem Poo Hien adalah simbol ketekunan, ketelatenan, dan kesetiaan seorang pembatik. Bagi wanita 50 tahun itu, membatik bukan sekadar menorehkan malam dalam canting pada kain mori, membentuk aneka gambar, mewarnainya, lalu menjadi selembar batik indah. Bagi Hien, membatik adalah sebuah laku spiritual. "Tanpa spiritual yang kuat, batik tulis yang halus dan rumit tak akan tercipta," katanya saat ditemui Tempo di rumahnya di Jalan Kedungwuni, Pekalongan, Jawa Tengah, pertengahan November lalu.
Untuk menghasilkan sehelai batik tulis yang halus, dengan segala kerumitannya, Hien membutuhkan waktu tujuh bulan hingga satu tahun. Titik demi titik, garis demi garis, ditorehkan satu per satu dengan penuh kesabaran. Garis dan titik harus kecil dan halus. Sekali gores, harus jadi. Kesalahan tak mungkin dihapus. Proses panjang itu sangat berisiko kain batik rusak.
Saat finishing, kain harus dilorot, yakni direbus dengan air mendidih, untuk membersihkan sisa malam. Proses ini menjadikan kain rentan tersayat. Risiko rusak, sekecil apa pun, berdampak pada anjloknya harga karena batik dianggap cacat. Harga batik tulis mereka tak sampai Rp 10 juta. Jika ada cacat sedikit, harganya turun separuh. Tak berlebihan, jika selama tujuh bulan proses membatik, selama itu pula perasaan Hien ketar-ketir. "Tiap hari saya dan pembatik berdoa agar tidak terjadi kecacatan batik," ujar dia.
Dorongan spiritual pula yang membuat Hien setia mempertahankan batik tulis Liem Ping Wie, warisan leluhurnya yang telah berusia lebih dari seabad. Semangat merawat warisan itu membuat dia harus membuang jauh-jauh godaan membuat batik instan yang diproduksi secara massal, seperti batik cap atau printing, yang bagus untuk bisnis. "Sekali lagi, ini laku spiritual," katanya. "Batik adalah jalan hidup saya dan sejarah leluhur kami."
Dalam sejarah batik tulis Liem Ping Wie, Hien adalah generasi keempat. Wie sendiri merupakan generasi ketiga Oey Kiem Boen, salah seorang keturunan Cina peranakan yang sukses sebagai perajin batik tulis di Pekalongan, yang berkembang sejak 1900-an. Tulisan "Batik Liem Ping Wie-Kedungwuni" selalu tertera pada salah satu sudut kain batik buatan Hien.
Tantangan terbesar yang dihadapi rumah batik Hien adalah makin susahnya mencari tenaga pembatik. Hampir semua karyawannya berusia di atas 40 tahun. "Banyak yang tidak telaten menjadi pembatik," katanya.
Minimnya tenaga pembatik tidak memungkinkan produksi terlalu banyak. Dalam setahun, batik halus yang dihasilkan hanya sekitar 50 helai. Padahal saban pekan Hien harus menggaji 13 karyawan. Untuk menyiasatinya, ia mengaku kerap memanfaatkan gesek tunai dari beberapa kartu kreditnya. "Tidak rugi saja kami sudah bersyukur," ujarnya.
Untuk menjaga agar arus keuangan lancar, Hien terpaksa membuat batik tulis yang sederhana, dengan harga dari Rp 700 ribu sampai Rp 1 juta. Misalnya batik yang khusus dibuat menjelang Imlek atau batik perayaan Natal. "Hal sederhana harus kami lakukan untuk menopang yang ideal," ucap perempuan bersahaja ini.
Sementara di Pekalongan ada Liem Poo Hien, di Lasem—sentra batik lain di Jawa Tengah—ada Sigit Witjaksono. Pria 82 tahun ini pemilik usaha batik Sekar Kencana. Selama ini Sigit hanya menekuni motif tradisional atau lawasan. Produk batiknya tak jauh dari motif sekar jagad, pesisiran, latohan, corot, beras utah, kedelai kecer, suketan, blarak sineret, dan kricak.
Sekitar tiga tahun lalu, Sigit memang menciptakan motif baru. Namun motif barunya itu justru mempertegas motif lawasan dengan menambah torehan kaligrafi kata-kata mutiara Cina. Misalnya tiong sie, yang artinya semua orang bersaudara harus setia, dan teposliro. "Ada 20 macam kata-kata mutiara Cina saya torehkan dalam batik motif baru, yang berisi cinta, persaudaraan, persatuan, dan keselamatan," ujar Sigit.
Usaha pembatikan Sigit mulai dirintis pada 1960, setelah ia pulang dari studi di Fakultas Hukum Universitas Airlangga, Surabaya. Ilmu membatiknya diwarisi dari orang tuanya, Njo What Djiang, yang pernah membuka usaha batik tulis pada 1923. Usaha bapaknya sempat terhenti ketika Jepang menjajah pada 1942. Beberapa tahun berselang, usahanya dibuka kembali dan berkembang pesat. Njo What Djiang memberi label batik tulisnya Sekar Kencana. Ia mampu memasarkan batiknya hingga Selat Malaka—Kuala Lumpur, Penang, Perak (Malaysia)—dan Suriname. "Satu kali kirim mencapai 1.000 potong per tahun ke Malaysia dan 200 potong ke Suriname," ujar Sigit.
Namun setelah usaha ayahnya—yang menempati rumah besar seluas 1.000 meter persegi dan memiliki 80 pembatik—beralih ke tangan Sigit, keadaannya berbeda. Misalnya, untuk memasarkan batiknya, Sigit tidak seagresif orang tuanya. Ia juga hanya memiliki 14 pembatik dan produksinya cuma 100 potong per bulan. "Saya hanya menunggu pembeli dan tidak pernah jemput bola, seperti ikut pameran," katanya.
Para pembatik bekerja di sisi depan dan belakang bangunan rumah induk. Mereka membuat pola (nglengkreng), mengkopi pola di baliknya (nerusi), menutup bagian yang tidak berpola (nembok), mewarnai (ngelir), hingga mencuci kain untuk menghilangkan malamnya (nglorot). "Untuk desain, saya tangani sendiri," ujar Sigit. "Setiap kain, pembatikan butuh waktu seminggu."
Menurut Sigit, prospek pasar batik Lasem masih cukup bagus. Saat ini batik Lasem sudah banyak peminat dari Jakarta, Bandung, Surabaya, dan Semarang. Pemburu batik lawasan—termasuk dari luar negeri—masih sering menyambangi perajin Lasem, termasuk rumah batik Sigit.
Di sentra batik Lasem terdapat 60 unit usaha batik tradisional dengan 22 motif batik yang sudah dipatenkan. Batik Lasem dapat bersaing dengan batik daerah lain karena motifnya dan dibuat di atas kain berkualitas halus. Selain memiliki warna khas merah darah ayam, batik Lasem sejak 1850 sudah diberi inisial cap tinta untuk menghindari pemalsuan.
Sigit menyatakan tantangan terberat bagi batik tulis Lasem adalah gempuran batik printing. "Kalau dengan bahan pakaian dari Cina bermotif batik, kami tidak khawatir. Tapi, dengan batik printing, kami sangat khawatir," kata dia. "Selain harganya lebih murah, banyak pemakai yang belum dapat membedakan mana yang tulis dan printing."
Nurdin Kalim, Sohirin (Pekalongan), Bandelan Amarudin (Lasem)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo