Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sastrawan angkatan Pujangga Baru itu tak begitu dikenal publik. Namanya tak setenar Sutan Takdir Alisjahbana, pendiri majalah Poedjangga Baroe, atau Hans Bague Jassin, kritikus sastra sekaligus redaktur Panji Pustaka. Ia juga tak seterkenal Amir Hamzah, raja penyair angkatan Pujangga Baru.
Laurens Koster Bohang, nama sastrawan itu, juga tidak meninggalkan banyak karya kecuali sejumlah tulisan yang menggunakan nama samaran perempuan, Airani Molito. Hal inilah yang menjelaskan watak Bohang yang dikenal rendah hati dan tidak suka menonjolkan diri. Karya-karyanya merupakan buah pemikirannya tentang ketidakpastian masa itu.
Tak banyak yang tahu tentang kehidupan pribadi pria kelahiran 1913 itu. Hubungan persahabatannya dengan banyak sastrawan kebanyakan untuk membahas karyanya.
Pada masanya, Bohang, yang juga redaktur buku berbahasa Melayu dan administrator naskah Poedjangga Baroe, adalah magnet bagi para sastrawan muda yang ingin masuk ke lingkaran elite intelektualitas Takdir. Hasan Aspahani dalam bukunya, Chairil Anwar: Sebuah Biografi, menyebutkan bahwa meja kerja Bohang kerap dikelilingi pemuda dari Sulawesi Utara. Bohang kerap berbicara dalam bahasa Belanda yang fasih dan sesekali mengucapkan kata dan istilah dalam bahasa Manado.
Bohang berasal dari Sangihe, Sulawesi Utara. Ketika pertama kali sampai di Batavia, ia tidak bisa berbahasa Indonesia. Ia memanfaatkan posisinya di Poedjangga Baroe untuk mempelajari bahasa Indonesia.
Bagi Chairil Anwar, Bohang bukan hanya sahabat. Dengan jarak usia 12 tahun, hubungan mereka lebih dari sekadar abang dan adik. Bohang adalah mentor yang mempengaruhi tulisan dan pemikiran Chairil di kemudian hari.
Chairil pertama kali bertemu dengan Bohang pada 1942. Saat itu Chairil, yang tinggal bersama pamannya, Sutan Sjahrir, di Jalan Dambrink (kini Jalan Latuharhary, Jakarta Pusat), disuruh sang paman bertemu dengan Takdir. Sjahrir dan Takdir masih ada hubungan saudara, sehingga secara tak langsung Chairil dan Takdir pun memiliki hubungan kekerabatan.
Saat pertama kali bertandang ke rumah Takdir di Gang Kesehatan VII Nomor 3—yang juga merupakan kantor redaksi Poedjangga Baroe—itulah Chairil bertemu dengan Bohang. ”Saat itu Takdir sedang mengadakan walimahan (resepsi pernikahan) adik perempuannya yang baru menikah,” kata Hasan, akhir Juli lalu.
Menurut Hasan, Chairil waktu itu belum percaya diri dan belum terkenal. Dalam pertemuan pertama dengan Takdir dan Bohang itu, Chairil lebih banyak mengamati para tamu yang hadir dalam kenduri itu.
Tak butuh waktu lama bagi Chairil untuk menjadi akrab dengan Bohang. Bagi banyak sastrawan di masa itu, Bohang adalah sahabat, filsuf, dan mahaguru. Jassin dalam suratnya kepada Amal Hamzah bertanggal 21 Oktober 1943 menyebutkan Bohang sebagai ”kawan dan guru kita” ketika Jassin dan Amal berseteru pendapat tentang sikap hidup.
Jan Engelbert Tatengkeng, penyair besar dari Manado, menduga bahwa Chairil dan Bohang kerap menghabiskan waktu bersama. Dalam kuliah umum di hadapan dosen dan mahasiswa Fakultas Sastra Universitas Hasanuddin pada 30 April 1966, Tatengkeng menghubungkan satu dari tiga surat Bohang bertanggal 24 Juni 1943, yang dipublikasikan di Almanak Seni (1957), yang menyebutkan bahwa dia dan kawannya kerap mengembara ke Masjid Luar Batang di Pasar Ikan, Batavia.
Adapun sajak-sajak Chairil pada waktu yang berdekatan dengan surat itu juga mengungkapkan pengalaman yang sama, seperti sajak ”Di Masjid” (29 Mei 1943) serta ”Kawanku dan Aku” (5 Juni 1943). ”Dari persekitaran tanggal surat Bohang dan sajak-sajak Chairil keduanya bisa menulis dari peristiwa sama yang mereka alami. Mengembara, menjelajahi Batavia,” kata Tatengkeng dalam kuliah umum berjudul ”Tujuh Belas Tahun Sesudah Wafatnya Chairil Anwar” itu. Menurut Tatengkeng, persahabatan Chairil dan Bohang itu merupakan proses latihan Chairil untuk mengucapkan renungan hidup dalam bentuk yang paling cocok dengan ”bakat”-nya.
Ahli sastra berkebangsaan Belanda, Andries Teeuw, pernah mengulas sajak ”Kawanku dan Aku” dalam bukunya yang berjudul Modern Indonesian Literature. Menurut dia, Chairil menulis sajak ini untuk Bohang bukan karena kebetulan, melainkan karena Bohang erat pergaulannya dengan seniman muda.
Teeuw menyebutkan sajak itu sebagai karya unggulan Chairil. Ia menyatakan, dalam sajak ini, Chairil memanfaatkan secara penuh setiap kata, morfem, bunyi, unsur tata bahasa dan struktur sajak, serta unsur makna. Menurut dia, segala sesuatu dalam sajak ini disemantikkan, tidak ada lagi yang tidak bermakna, tidak ada yang hanya konvensional atau otomatis saja. ”Sebab, unsur-unsur yang kelihatannya seragam dengan pola tradisional pun dihidupkan kembali dalam keseluruhan konteksnya. Segala sesuatunya menjadi baru,” demikian Teeuw menilai sajak Chairil itu.
Ia menyatakan karya ini memiliki intensitas, konsistensi yang terbayangkan, mutiara dengan banyak lapisannya, yang mengungkap pengalaman manusia. Simaklah bait pertama puisinya:
Kami jalan sama/Sudah larut/Menembus kabut/Hujan mengucur badan/Berlaluan kapal-kapal di pelabuhan/Darahku mengental-pekat/Aku tumpat-pedat/Siapa berkata?
Bohang meninggal pada 14 Februari 1945. Kepergian Bohang membawa duka bagi banyak sahabatnya. Dua hari setelah kematiannya, Amal Hamzah menuliskan kenangannya terhadap penyair yang tak terkenal itu. Surat itu kini tersimpan di arsip mikrofilm Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin di kompleks Taman Ismail Marzuki, Jalan Cikini Raya, Jakarta Pusat.
Chairil menulis lagi satu sajak tentang sang mentor. Hasan yang menemukan tulisan asli sajak ini menyebutkan bahwa judul asli sajak kedua ini adalah ”Kepada Penyair Bohang”. ”Lalu nama Bohang dicoret, menjadi ”Kepada Penyair”. Tapi ”Kepada Penyair” itu tidak merujuk pada individu khusus. Belakangan, sajak itu ditulis dengan judul semula: ”'Kepada Penyair Bohang',” kata Hasan. Menurut Hasan, dua sajak yang ditulis Chairil itu merupakan bukti kekaguman Chairil kepada Bohang.
Dalam bait-baitnya, Chairil menulis salam perpisahan akan kenangan pada sang mentor. Bohang/Jauh di dasar jiwamu/bertampuk suatu dunia/menguyup rintik satu-satu/Kaca dari dirimu pula. Chairil menyusul guru dan sahabatnya itu empat tahun kemudian.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo