Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Rimawan Pradiptyo: Dosen-Aktivis dari Bulaksumur

Rimawan Pradiptyo menghimpun para akademikus untuk memprotes rezim Jokowi. Bukan akademikus text book.

29 Desember 2024 | 08.30 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Rimawan Pradiptyo di kampus Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, 20 Desember 2024. Foto: Berto Wedhatama

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Rektor Universitas Islam Indonesia Fathul Wahid menuliskan kiprah Rimawan Pradiptyo di dunia aktivisme.

  • Rimawan aktif memprotes revisi Undang-Undang KPK dan kemerosotan demokrasi di pemerintahan Jokowi.

  • Rimawan juga mengkoordinasikan para akademikus untuk mengkritik pemerintah.

SEBUAH pesan pendek sampai di telepon seluler saya pada Rabu, 11 September 2019. Pengirimnya adalah Rimawan Pradiptyo, dosen Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Pagi itu, Mas Rim—demikian saya memanggilnya—mengabarkan bahwa nomor teleponnya baru karena nomor yang lama telah diretas. Mas Rim waktu itu vokal memprotes revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi yang melemahkan lembaga antirasuah tersebut.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Saya menduga peretasan yang dialami Mas Rim terkait dengan aktivitasnya menentang pelemahan lembaga antirasuah, meski sulit membuktikannya. Dugaan itu menguat karena beberapa kolega Mas Rim yang bergabung di grup WhatsApp penolak revisi Undang-Undang KPK juga mengalami percobaan peretasan. Salah satunya saya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kami mendapat panggilan berulang-ulang dari nomor tak dikenal. Identitas penelepon samar karena nomornya tak berasal dari Indonesia saja, tapi dari luar negeri. Forum komunikasi itu digagas Mas Rim untuk mengumpulkan dan menggerakkan para akademikus lintas kampus untuk melawan pemerintahan Joko Widodo yang ugal-ugalan dalam membuat aturan.

Kita tahu bahwa ikhtiar masyarakat sipil melalui berbagai pernyataan sikap dan demonstrasi di sejumlah kota tak mampu membendung pelemahan KPK di rezim Jokowi. Undang-undang itu tetap gol dan Mahkamah Konstitusi menolak uji materi yang diajukan tim Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta, setelah pengesahan regulasi tersebut.

Mencermati konsistensi Mas Rim memperjuangkan agenda perubahan, saya teringat pada suatu forum diskusi di gedung University Center UGM, Bulaksumur, sekitar awal 1993. Mas Rim waktu itu masih berstatus mahasiswa tingkat akhir dan didapuk menjadi pembicara. Dia mengulas monopoli rantai pasok cengkeh yang dilakukan Badan Penyangga dan Pemasaran Cengkeh atau BPPC. Kejaksaan Agung belakangan menetapkan anak mantan Presiden Soeharto, Hutomo Mandala Putra alias Tommy Soeharto, sebagai tersangka.

Forum diskusi di UGM tak sekadar membuka wawasan saya mengenai praktik monopoli komoditas. Mas Rim mengingatkan saya bahwa seorang intelektual publik juga punya tugas mengadvokasi kelompok-kelompok marginal dan tertindas.

Sikap kritis Mas Rim juga terlihat dalam advokasinya terhadap isu-isu korupsi. Dia menekankan dampak biaya sosial dari kasus korupsi yang merugikan masyarakat luas. Peminatan risetnya pun seputar perilaku dan kejahatan ekonomi. Karena kepakarannya itu, Mas Rim acap menjadi saksi ahli dalam berbagai perkara kejahatan ekonomi.

Mas Rim bukan akademikus yang text book. Dia mendorong pengkajian dan pembahasan mengenai berbagai modus korupsi yang belum banyak diatur di buku ajar dan kitab undang-undang. Contohnya korupsi di sektor swasta, pendapatan ilegal, korupsi pegawai asing, dan perdagangan pengaruh. Mas Rim mendorong kita memakai sudut pandang pelaku korupsi. Tujuannya adalah penyidik dan aktivis antikorupsi bisa mengantisipasi pelbagai “inovasi” dari para koruptor.

Pergaulan Mas Rim yang luas memungkinkan dia terlibat dalam berbagai inisiatif. Salah satunya memelopori gerakan “Sambatan untuk Ngayogyakarta” atau Sonjo ketika masa pandemi Covid-19. Sonjo mampu menggalang bantuan alat pelindung diri dan penyediaan tempat isolasi serta menggerakkan perekonomian rakyat. Kegiatan itu merupakan kolaborasi para akademikus, birokrat, komunitas pengusaha kecil dan menengah, serta kelompok masyarakat sipil lain.

Mas Rim sekali lagi ikut turun tangan mengkoordinasikan para akademikus saat krisis demokrasi di ujung periode kedua Jokowi. Mahkamah Konstitusi mengabulkan uji materi soal batas umur calon presiden dan wakil presiden sehingga memberikan karpet merah untuk anak sulung Jokowi, Gibran Rakabuming Raka, menjadi calon wakil presiden. Pemilihan presiden 2024 diwarnai intervensi kekuasaan.

Mas Rim waktu itu mendorong dan berkomunikasi dengan civitas academica dari sejumlah perguruan tinggi untuk melawan dari kampus. Dia merancang strategi perjuangan di dalam grup-grup WhatsApp agar para akademikus mengambil serta menyerukan sikap terhadap pemerintah. Berbagai seruan guru besar yang kemudian muncul membuktikan masih ada intelektual yang bersikap kritis dan mengawal demokrasi di tengah segelintir akademikus yang dikooptasi kekuasaan.

Mas Rim menjadi pengingat bahwa Indonesia membutuhkan lebih banyak intelektual publik yang tidak hanya konsisten dalam menyuarakan kebenaran, tapi juga mau terlibat dalam aktivisme.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Fathul Wahid

Fathul Wahid

Rektor Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta. Menyelesaikan studi doktoral di bidang sistem dan teknologi informasi di University of Agder, Norwegia.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus