Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sebuah foto terpajang di din-ding sebuah ruangan di lantai e-mpat Graha Dana Abadi (Granadi) di Ku-ningan, Jakarta. Berdiri di sam-ping Soeharto, Haryono Su-yono mengumbar senyum. Keduanya berpakaian tidak resmi. Wajah Soeharto kelihatan sudah renta. Mungkin gambar ini diambil setelah Soeharto leng-ser dari kursi presiden. Walaupun berada di gedung modern, penataan kantor itu tampak bergaya kuno. Pelayan kantor-nya juga sudah tua, begitu pun para ta-mu yang keluar-masuk.
Itulah kantor Haryono Suyono, K-etua Yayasan Dana Sejahtera Mandiri. Lela-ki 68 tahun ini menjadi tokoh kunci da-lam kasus korupsi tujuh yayasan milik Soeharto. Soalnya, kini dia juga menjadi penanggung jawab lima yaya-san lainnya, yakni Supersemar, Dharma Bhak-ti Sosial (Dharmais), Dana A-badi Karya Bhakti (Dakab), Amal Bha-kti Muslim Pancasila, dan Yayasan Dana Gotong Royong Kemanusiaan. Semua yayasan tersebut berkantor di Granadi. Ha-nya satu yayasan yang tidak diurusi doktor sosiologi itu, yaitu Yaya-san Tri-k-ora, yang berkantor di kawasan Men-teng, J-akarta.
Ketika ditemui Tempo, Rabu pekan lalu, raut muka Haryono tampak sumringah. Dia bersemangat menjelaskan tetek-bengek kegiatan yayasan-yayasan yang dikelolanya. Tapi mukanya menjadi sedikit mendung setelah Tempo me-nanyakan ihwal pemakaian dana Rp 400 miliar dari anggaran negara untuk Yayasan Dana Mandiri. Soalnya, dalam berkas pemeriksaan Soeharto, si pemilik yayasan mengaku tidak ingat mengenai aliran duit itu.
Agak gelagapan, akhirnya lelaki ber-per-awakan sedang itu menjawab dengan di-plomatis, "Masa, saya berani melakukan itu tanpa izin ketua (Soeharto)?" Du-lu Soeharto memang menjadi ketua tujuh yayasan yang didirikannya. Setelah ia jatuh sakit, pengelolaannya diserahkan kepada Haryono.
Duit negara ratusan miliar itu meng-alir ke Yayasan Dana Mandiri antara tahun 1996 dan 1998. Asalnya dari pos Da-na Reboisasi Departemen Kehutan-an dan pos bantuan presiden. Dalam berkas kasus Soeharto, terungkap ba-hwa Har-yono, yang saat itu Menteri Nega-ra Kependudukan dan Kepala Badan Ko-or-dinasi Keluarga Berencana Nasio-nal, mengalihkan dana itu untuk yayasan. Ketika itu, dia masih menjadi wakil ke-tua di Dana Mandiri.
Penyimpangan seperti itu hanyalah secuil fakta yang ditemukan Tempo da-lam berkas setebal 2.000-an halaman hasil penyidikan kasus tujuh yayasan Soeharto. Berkas ini berisi hasil peme-riksaan 134 saksi fakta dan 9 saksi ahli, berikut ratusan dokumen otentik hasil penyitaan dua tim yang pernah dibentuk Kejaksaan Agung, sejak tahun 1999.
Soeharto sendiri semakin sulit diadili setelah Kejaksaan Agung menerbitkan Surat Ketetapan Penghentian Penuntut-an (SKPP) pada 11 Mei lalu. Alasannya, tersangka menderita gangguan otak per-manen. Bekas penguasa Orde Baru ini ha-nya bisa dituntut bila kesehatannya membaik.
Sepanjang pekan kemarin, pimpinan Kejaksaan Agung dihujani pertanyaan oleh anggota Komisi Hukum Dewan Per-wakilan Rakyat. Mereka meng-gugat keras penerbitan SKPP dan menuntut Soeharto tetap diadili. "Penggunaan ala-s-an demi hukum bukan hak kejaksa-an. Itu harus pengadilan yang memutus-kan," kata Gayus Lumbuun, salah se-orang anggota Komisi Hukum.
Jaksa Agung Muda Bidang Inteli-jen, Much-tar Arifin, bahkan menyatakan konse-kuensi dari beleid itu para pelaku lain dalam kasus korupsi tujuh yayasan Soe-harto tak bisa dipidanakan. "Sebab, ka-sus Soeharto adalah kasus tunggal. Me-reka bertindak atas perintah Soeharto," katanya.
Sikap Kejaksaan makin menimbulkan tan-da tanya besar. Dulu instansi ini me-nya-takan adanya kerugian negara senilai Rp 1,3 triliun dan US$ 419 juta dalam ka-sus Soeharto, kini perkara ini disetop be-gitu saja. "Ini melukai rasa keadilan," ka-ta Rudi Satrio, staf pengajar Fakultas Hukum Universitas Indonesia. "Apalagi bila da-lam penyidikan jaksa sebenar-nya di-temu-kan keterlibatan kroni-kroni tersebut," doktor hukum pidana ini me-nambah-kan.
Rudi juga menjelaskan, andaikata Soe-harto tidak bisa diadili, orang-orang yang terlibat dalam korupsi yayasan te-tap bisa diseret. Tentu saja, Kejaksaan mesti membongkar berkas kasus Soeharto, lalu membuat dakwaan terpisah ter-hadap para kroni.
Dugaan penyimpangan yang dilakukan Haryono merupakan salah satu contoh kasus yang bisa diusut oleh Kejaksaan. Dia bisa dituduh menyelewengkan dana Departemen Kehutanan dan bantuan presiden buat keperluan Yaya-san Dana Mandiri. Bambang Trihatmo-djo, yang menjadi bendahara yayasan ini, pun bisa dijerat. Bersama Haryono, ia ternyata mengalirkan lagi dana Rp 400 miliar yang telah masuk ke yaya-san itu ke dua bank miliknya, Bank Alfa dan Bank Andromeda, pada 1996-1997, dalam bentuk deposito.
Alasan mereka terbeber dalam be-r-kas Soeharto. Kedua bank itu memberi bunga yang lebih tinggi ketimbang bank lain. Namun, tak di-se-but be-ra-pa su-ku bu-nga-nya. Ce-laka-nya, Bank An-dro-me-da dan Alfa beruntun di-tutup pada 1999, dan duit itu di-du-ga tak kemba-li. Menurut seorang sak-si ah-li, duit Da-na Man-diri se-be-narnya bisa sela-mat. "Ka-rena sebelum bank di-tu-tup, de-po-sitonya sudah jatuh tempo," kata sang saksi ahli dari Badan Pengawasan Ke-uang-an dan Pembangunan yang dimuat da-lam berkas Soeharto.
Dalam pemeriksaan, Bambang Trihat-modjo mengakui adanya aliran dana da-ri yayasan ke dua bank miliknya. Saat itu tak ada yang menduga Bank Andro-meda dan Alfa bakal dibekukan. "Karena itu, pengurus Damandiri tidak ber-upaya melakukan penyelamatan dana," Bambang menjelaskan.
Menurut Haryono, duit yang disi-mpan di kedua bank itu sebenarnya sudah kem-bali ke negara sebesar Rp 100 mi-liar. S-isanya? "Statusnya masih di yayasan. Tapi sebenarnya berputar di masyarakat dalam bentuk dana kredit kesejah-teraan," katanya kepada Tempo.
Dalam berkas, mantan Kepala BKKN itu menyebut penempatan dana anggar-an negara itu ke rekening yayasan berdasar petunjuk lisan Soeharto. N-amun, bekas jenderal berbintang lima ini meng-aku "tidak ingat" saat diperiksa oleh Ke-jaksaan. Dia juga lupa mengenai Ke-putusan Presiden Nomor 90 Tahun 1995 yang pernah ditekennya. Beleid ini meng-imbau para pengusaha menyu-mbang 2 persen dari keuntungannya untuk Ya-ya-san Dana Mandiri.
Tak hanya Haryono yang bisa diusut. Hutomo Mandala Putra, putra bun-gsu Soeharto, juga bisa disangkutkan de-ngan kasus korupsi yayasan Soeharto. Dia pernah memanfaatkan nama Yaya-san Supersemar untuk mendapatkan la-han 144 hektare di Citeureup, Bogor, gu-na pembangunan Sirkuit Sentul.
Semula Tommy berusaha mendapat tanah itu lewat Departemen Pekerjaan Umum dan Gubernur Jawa Barat, tapi tidak berhasil. Bersama Tinton Suprapto, ia kemudian melobi Arjo-darmoko, pengurus Yaya-san Supersemar. Tinton se-bagai tokoh balap meng-ajak yayasan itu membantu memajukan olahraga balap. Tapi Arjodarmoko sempat meno-lak. "Ini yayasan so-sial. Kami tidak meng-urusi masalah olahraga," katanya.
Rupanya, bela-kang-an si bun-gsu bisa mem-bujuk ba-paknya. Arjodar-moko ke-mu-dian di-panggil Soeharto dan di-pe-rin-tahkan membeli tanah tersebut. Har-ga-nya miring dan proses-nya mudah. Soal-nya, yang membeli ya-yasan sosial dan tak perlu persetujuan Menteri Keuang-an. Semeter tanah-nya dihar-gai seribu perak, pas dengan nilai jual obyek pajaknya. Alhasil, yaya-san cuma ke-luar uang Rp 1,4 miliar.
Di Yayasan Supersemar, tanah itu cu-ma numpang lewat. Yayasan Tir-asa milik Tommy kemudian meng-ambil alih, dan kemudian me-nye-rah-kan lagi ke PT Sarana Sirkuitindo Uta-ma untuk dibangun menjadi Sirkuit Sen-tul. Yayasan Tirasa hanya mengganti uang Supersemar senilai Rp 1,4 miliar, tanpa memberikan komisi sepeser pun.
Dalam pemeriksaan kasus Soeharto, ma-salah tanah Sentul tidak diusut tuntas oleh tim penyidik. Ketika diperi-ksa, Tommy hanya dicecar kasus Sempati. Adapun Tinton Suprapto membantah ada-nya permainan dalam pembelian tanah Sentul. Menurut dia, tanah itu dibeli sendiri oleh PT Sarana Sirkuitindo. "Kita membeli langsung. Nggak pakai KKN," katanya.
Lain lagi sepak terjang Mohamad Ha-san alias Bob Hasan. Pengusaha ini bisa pu-la diusut karena menggunakan duit da-ri sejumlah yayasan Soeharto untuk per-usahaannya sendiri. Dari data dalam ber-kas Soeharto, Bob Hasan paling besar merugikan keuangan negara, diduga mencapai Rp 3,3 triliun. Hal ini juga ter-ungkap dari pengakuan Ali Affandi, Se-kretaris Yayasan Supersemar, ketika di-periksa sebagai saksi kasus Soeharto. Dia membeberkan, Yayasan Superse-mar, Dakab, dan Dharmais memiliki sa-ham di 27 perusahaan Grup Nusa-mba mi-lik Bob Hasan. Sebagian saham itu ma-sih atas nama Bob Hasan pribadi, b-ukan yayasan.
Bob juga sudah diperiksa oleh Kejak-saan. Dia selalu menyebut "Bapak Ter-sang-ka" untuk Soeharto. Menurut dia, saham-saham itu masih diatasnama-kan dirinya karena perintah lisan Soehar-to. Dasarnya adalah kepercayaan. "Bapak Ter-sangka yang menyuruh saya ikut ser-ta dalam suatu perusahaan atau men-dirikan perusahaan baru," kata Bob.
Pengusaha yang kini berusia 75 tahun itu pernah pula mendapat duit ratusan miliar dari yayasan Soeharto. Dana ini kemudian dialirkan ke dua perusahaan miliknya, PT Kiani Sakti dan Kiani Les-tari. Upaya mendapatkan bantuan ini sungguh mudah. Bob Hasan hanya perlu menghadap Soeharto dan menjelaskan manfaat pabrik bubur kertas yang dibangun di kawasan Indon-esia Timur tersebut. "Pabrik akan me-narik devisa dan menyerap ba-nyak te-na-ga kerja," kata Bob.
Soeharto pun tergugah. "Nanti ya-ya-san akan membantu dan ada Da-na Reboisasi yang bisa diguna-kan," kata-nya seperti dituturkan Bob da-lam ber-kas pemeriksaan. Semula Bob he-n-dak meminjam duit yayasan sebesar Rp 800 miliar. Tapi Soeharto ha-nya memberinya Rp 450 miliar. Dana ini diambil dari tiga yayasan, yakni Superse-mar, Dharmais, dan Dakab.
Bisnis Bob Hasan akhirnya berantak-an karena krisis. Hampir semua perusahaannya, termasuk PT Kiani Sakti dan Kiani Lestari, masuk ke Badan Penyehatan Perbankan Nasional. Sa-mpai pada 2000 lalu, sebagian besar dana yayasan Soeharto yang mengalir ke dua perusahaan itu belum dikembalikan. Sayang, masalah ini tidak bisa dikonfirmasikan ke Bob Hasan. Tempo telah mencoba menghubunginya lewat orang dekatnya di sebuah organisasi olahraga. Yang didapat hanya jawaban penolakan. "Sejak keluar dari Nusakambangan, Bapak tak bersedia memberikan wawancara apa pun," katanya.
Tuntutan mengadili pengurus dan pe-ne-rima dana yayasan mulai muncul se-iring makin susahnya mengadili sang ke-tua ya-yasan. Mungkin hal ini belum disa-dari be-tul oleh Bob Hasan dan anak-anak Soe-harto. Bahkan Haryono Suyono juga be-lum mengantisipasi jika suatu sa-at di-panggil Kejaksaan. "Jangan ber-andai-andai, apalah saya ini," kata-nya sambil mengantar Tempo ke-luar da-ri kantornya.
Arif A. Kuswardono, Purwanto, Eduardus Karel Dewanto
Kroni Soeharto Bisa Diadili
Kendati kasus Soeharto sudah disetop Kejaksaan, para kroni bekas penguasa Orde Baru ini sebetulnya bisa diadili. Di antara mereka, ada yang mendapat kucuran dana miliaran rupiah dari yayasan Soeharto. Ada juga yang sekadar memanfaatkan nama yayasan demi kepentingan bisnisnya. Tapi pendapat Kejaksaan berbeda dengan kalangan politisi dan ahli hukum.
Muchtar Arifin Jaksa Agung Muda Intelijen"Kasus Soeharto adalah kasus dengan terdakwa tunggal. Pelaku lain hanya melaksanakan perintah Soeharto. Mereka tidak bisa dikenai tuntutan pidana karena tidak bisa dibuktikan unsur korupsinya."
Gayus Lumbuun Anggota Komisi Hukum DPR"Soeharto tetap harus diajukan ke pengadilan. Berkas dakwaan Soeharto bisa diperbaiki dengan menyertakan pelaku lain. Bahwa Soeharto nanti tidak bisa ditanya, itu urusan hakim."
Rudi Satrio Staf pengajar Universitas Indonesia"Para pelaku lain bisa diberkas secara terpisah. Mereka bisa diajukan ke pengadilan terlepas dari pengadilan Soeharto."
Chairul Imam, Bekas jaksa kasus Soeharto"Pelaku lain bisa diadili karena yang menghentikan penuntutan adalah jaksa, bukan hakim. Dakwaan bisa dibuat tersendiri untuk tiap kasus yang ditemukan."
Berpesta Duit Yayasan
Sejumlah figur sebenarnya bisa dibidik karena menyalahgunakan uang yayasan milik Soe-har-to. Ada tujuh yayasan yang selama ini diselidiki oleh kejaksaan, yakni Dakab, Dharmais, Su-persemar, Dana Mandiri, Trikora, Amal Bhakti Muslim Pancasila, dan Gotong Royong Ke-manusiaan. Inilah sebagian nama yang tersangkut dalam penggunaan duit yayasan.
Mohamad Hasan(Bob Hasan)Bos Grup Nusamba ini dikenal sebagai penyumbang sejumlah yayasan milik Soeharto. Dia juga mengangkat Soeharto sebagai pelindung grup bisnisnya.
Sejak terjang:
- Memakai dana Yayasan Dakab, Yayasan Dharmais, dan Yayasan Supersemar untuk membeli sejumlah saham di 27 perusahaan milik Nusamba. Sebagian masih atas nama Bob Hasan, bukan yayasan.
- Meminjam dana yayasan untuk kepentingan perusahaan miliknya, antara lain PT Kiani Kertas, Kiani Lestari, dan Metra 72. Sebagian utang tidak terbayar.
- Menyimpan dana yayasan di Bank Umum Nasional yang sebagian sahamnya milik Bob Hasan. Dana tidak bisa dicairkan saat likuidasi karena dianggap terafiliasi dengan pemilik saham.
- Hanya memberikan penyertaan saham Supersemar di Wisma Kosgoro senilai Rp 2 miliar. Padahal andil Supersemar Rp 10 miliar.
- Menghibahkan saham yayasan di Mandala Airlines atas nama istrinya, Pertiwi Hasan.
Dugaan: penggelapan, penipuan, dan percobaan korupsi.
Kerugian: Rp 3,3 triliun
Haryono SuyonoDia menjabat Wakil Ketua I Yayasan Dana Mandiri, milik Soeharto. Saat itu, Haryono juga menjadi Menteri Negara Kependudukan dan Kepala Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional.
Sejak terjang:
- Menempatkan dana pemerintah ke rekening Yayasan Dana Mandiri.
- Menaruh dana Rp 300 miliar milik yayasan di Bank Alfa dan Andromeda, tanpa izin Soeharto.
Dugaan: penggelapan
Kerugian negara: sekitar Rp 300 miliar
Kontraktor Yayasan Amal Bhakti Muslim Pancasila (PT Isa Pratama, PT Serambi Puri Alami, PT Purnawira) Mereka tidak membayar pajak pertambahan nilai atas jasa pemborongan sejumlah masjid YAMP senilai Rp 21,7 miliar. Alasannya, masjid yang dibangun merupakan hibah.
Dugaan: penghindaran pajak.
Kerugian negara: Rp 1,9 miliar.
Praptono H. Upoyo dan Sigit HarjojudantoKeduanya merupakan pengurus PT Indonesia Finance and Investment Co. (IFI). Mereka menjual promes senilai Rp 3 miliar kepada Yayasan Dharmais dengan iming-iming bunga 18 persen per tahun. Dana ternyata digunakan PT Ustraindo Petrogas, perusahaan milik Praptono. Promes dan bunganya sampai sekarang belum dibayar
Dugaan: penggelapan dan penipuan.
Kerugian: sekitar Rp 8,9 miliar.
Tommy Soeharto dan Tinton Suprapto Mereka memanfaatkan nama Yayasan Supersemar untuk membeli tanah seluas 144 hektare di Citeureup, Bogor, yang kemudian dijadikan Sirkuit Sentul. Sebelumnya, Tommy dan Tinton berusaha menguasai tanah itu lewat Pemerintah Provinsi Jawa Barat, tapi gagal.
Dugaan: penipuan.
Bambang TrihatmodjoMenjadi Bendahara Yayasan Dana Mandiri.
Sepak terjang:
- Menempatkan dana yayasan di dua bank miliknya, Bank Alfa dan Bank Andromeda.
- Menjanjikan yayasan mendapat bunga yang lebih tinggi dibanding bank lain.
Dugaan: penggelapan dan penipuan.
Kerugian negara: Rp 442 miliar.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo