Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Bersalah?

Vonis bersalah telah menunggu Akbar Tandjung. Tapi peluang bebas bukannya tak ada. PINTU kantor Hakim Amiruddin Zakaria di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat terkuak. Dari baliknya keluar satu per satu anggota majelis kasus penyelewengan Rp 40 miliar dana nonbujeter Bulog: I Ketut Gede, Pramodana K. Kusumah, Herri Swantoro, Andi Samsan Nganro, dan Amiruddin sendiri, sang ketua tim. Jumat siang kemarin, selama satu jam mereka membahas sebuah keputusan penting yang akan dijatuhkan Rabu ini: bersalah-tidaknya sang terdakwa utama, Akbar Tandjung, Ketua Umum Golkar dan Ketua Dewan Perwakilan Rakyat yang terhormat itu.

1 September 2002 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

"Kami berdiskusi, juga menyinggung perkara yang bakal diputus itu," kata Hakim Samsan Nganro. Tapi kata akhir belum diambil. Pembahasan final baru akan dilakukan Selasa ini, sehari sebelum amar putusan dibacakan di Gedung Serbaguna Badan Meteorologi dan Geofisika Kemayoran, Jakarta, yang disulap jadi ruang sidang. Diledakkan Menteri Pertahanan Mahfud Md., Februari tahun lalu, skandal ini langsung mengguncang jagat politik Republik. Buloggate II, begitu orang menamainya, kian hari kian menyudutkan Akbar dan partai yang dipimpinnya. Banyak fakta telah terungkap, dana gelap Bulog sejatinya mengucur ke rekening para petinggi Partai Beringin. Tapi sebanyak itu pulalah berbagai siasat disusun supaya urusan gawat ini tak sekuku pun menyentuh pimpinan Golkar—antara lain dengan merancang skenario Yayasan Raudatul Jannah yang amat merendahkan akal sehat publik itu. Oleh penuntut umum, Akbar didakwa telah bersama-sama melakukan tindak pidana korupsi. Jerat yang digunakan adalah undang-undang pemberantasan korupsi, yang mengandung ancaman hukuman maksimal seumur hidup atau 20 tahun penjara. Meski begitu, untuk Akbar, Jaksa Fachmi memberi "diskon besar-besaran" dengan hanya menuntutnya empat tahun hukuman penjara. Fachmi yakin Akbar bersalah telah menutup-nutupi keberadaan dana Rp 40 miliar melalui skenario Yayasan Raudatul, yang belakangan terbukti tak pernah menyalurkan sembako apa pun. "Terdakwa bersama Winfried Simatupang dan Dadang Sukandar telah memberikan keterangan tak masuk akal dalam persidangan. Bahkan membawa-bawa nama yayasan Islam untuk membohongi publik," katanya. Tapi janganlah sekali-kali bermimpi pada Rabu besok palu hakim akan menyentuh Golkar. Sejak digelar akhir Maret lalu, persidangan selalu dijaga supaya tak "menerabas" ke Slipi, markas Golkar. Saksi penting seperti Fadel Muhammad dan M.S. Hidayat, para bendahara Golkar yang tanda tangannya tertera di fotokopi kuitansi yang dapat ditemukan TEMPO, bahkan ditolak mahkamah untuk dihadirkan di persidangan. Dalam tuntutannya, Jaksa Fachmi berkesimpulan Rp 40 miliar dana Bulog itu berhenti di tangan Akbar. "Akbar dalam kapasitasnya sebagai Menteri Sekretaris Negara telah menerima uang dari Bulog berupa cek sebesar Rp 40 miliar untuk penggunaan pembelian sembako bagi rakyat miskin, tapi ia tak melaksanakannya," begitu bunyi dakwaan jaksa. Meski begitu, menurut Marzuki Darusman, salah satu ketua Golkar, vonis ini ibarat pedang bermata dua yang akan punya impak besar terhadap Partai Beringin. Di satu sisi, jika Akbar dibebaskan hakim, Marzuki waswas partainya akan menuai gelombang amarah publik. Tapi, kalau Akbar dihukum, suhu politik di tubuh Golkar juga bakal meningkat drastis. "Kemungkinan besar akan mulai muncul pemikiran yang rasional terhadap fakta hukum yang menimpa Ketua Umum," katanya. Maksudnya jelas: begitu dinyatakan bersalah, bukan mustahil manuver menggeser Akbar dari posisi nomor satu di Partai Kuning akan kian mengkristal. Karena itulah, putusan ini dinanti banyak kalangan. Banyak yang meyakini kali ini Akbar sulit lolos. Sudah sejak Agustus lalu beredar kabar, sang Ketua Umum Golkar akan divonis bersalah. Seorang sumber TEMPO yang punya akses kuat ke majelis hakim, misalnya, mengaku mendengar Akbar "pasti kena satu hingga dua setengah tahun". Tak kurang, Ketua MPR Amien Rais juga pernah mendapat kabar serupa. "Saya dengar Akbar akan divonis dua tahun tapi tak langsung ditahan," ujarnya. Benarkah? Amiruddin cuma tersenyum menanggapinya. "Di Indonesia ini kok banyak peramal vonis, sih," katanya terkekeh. Hakim lain juga mengunci mulut rapat-rapat. "Kali ini saya liburan komentar," kata Hakim Pramodana. Di Slipi, markas Golkar, tanda-tanda "kalah perang" memang sudah terlihat sejak Agustus lalu. Menurut seorang petinggi Partai Beringin, tim lobi Akbar ke majelis hakim yang dikomandani Laurens Siburian, ketua tim advokasi hukum Golkar, sudah rontok semangat. Pasukan Laurens rupanya gagal menembus pintu Hakim Amiruddin yang kali ini selalu tertutup rapat. Upaya membujuk anggota majelis lain juga ditampik. "Sudahlah, nanti banding saja," begitu kata sumber TEMPO jawaban yang diberikan seorang hakim pada Laurens dkk. "Si Laurens sudah lemas," kata seorang kawan dekatnya. Keluhan se-rupa didengar seorang kenalan Setya Novanto, Wakil Bendahara Golkar yang juga dikabarkan aktif bergerilya di pengadilan. "Susah, kali ini hakim sangat tertutup," katanya menirukan. Ketika dikonfirmasi, Laurens membantah ada upaya sistematis dari Golkar untuk membeli palu hakim. "Nggak benar itu. Saya bolak-balik ke pengadilan karena saya kan pengacara," katanya. Hakim Amiruddin mengaku kerap melihat Laurens lalu-lalang di Peng-adilan Jakarta Pusat. Tapi ia bersumpah tak pernah bertemu secara khusus dengan dia atau siapa pun yang terkait dengan perkara Akbar. "Ini kan kasus yang menarik perhatian publik. Pertimbangan kami semata-mata soal yuridis," kata hakim asal Aceh yang baru men-jatuhkan 15 tahun hukuman penjara buat Tommy Soeharto ini. Sama dengan koleganya, Samsan Nganro pun menyuarakan bantahan senada. Sebelumnya, berbagai pendekatan barisan Akbar ke gedung bundar kejaksaan pun membentur tembok. Menurut sumber TEMPO, semula upaya ini membuahkan hasil. Setelah kencang dipepet, jaksa sempat setuju cuma akan mengajukan tuntutan satu tahun penjara. Tapi Akbar tak terima, dan ngotot minta korting lagi: supaya dituntut bebas atau paling banter hukuman percobaan. Sialnya, isu suap hakim Manulife keburu meletup. Situasi berubah drastis. Jaksa yang jeri angkat tangan tinggi-tinggi. Jadilah Akbar dituntut empat tahun. Namun, ihwal gerilya ini dibantah juru bicara Kejaksaan Agung, Barman Zahir. "Tidak ada deal apa pun," katanya. Kalaupun divonis bersalah, kata sumber TEMPO di kalangan hakim, Akbar, yang sudah memastikan akan naik banding, tampaknya tak akan langsung menghuni bui. Soalnya, saat ini ia masih dalam status penangguhan penahanan. Akbar pun dinilai kooperatif dan tak pernah mangkir dari sidang, sehingga tak cukup alasan buat hakim untuk segera mengerangkengnya. Apalagi preseden telah tersedia. Gubernur Bank Indonesia Syahril Sabirin, misalnya, tak perlu segera masuk sel meski pengadilan telah memutusnya bersalah. Hal ini diamini mantan hakim agung Adi Andojo. Menurut dia, meski sangat bergantung pada pertimbangan subyektif hakim, "Kalau dia banding dan hukumannya di bawah lima tahun, eksekusi tidak harus segera dilaksanakan. Kecuali ada perhitungan politik lain." Dan faktor terakhir itu pun tampaknya berpihak ke Akbar. Sumber TEMPO di PDI Perjuangan memastikan, mayoritas suara di Kandang Banteng meng-inginkan Akbar tetap memimpin Golkar hingga 2004. "Supaya bisa dipegang ekornya," katanya tersenyum. Karena itulah Akbar cukup divonis bersalah, tapi tak perlu langsung masuk sel. Soalnya, jika langsung ditahan, kemungkinan Akbar digulingkan dari pucuk Beringin jadi terbuka lebar. Pertandanya sudah terlihat. Belum lama ini Ketua Fraksi PDIP di parlemen, Roy Janis, mengeluarkan statemen: kalaupun dinyatakan bersalah, Akbar tak mesti mundur dari posisinya sebagai Ketua Dewan. "Itu kan berarti Akbar memang tak akan langsung masuk tahanan," kata Marzuki Darusman. Bagaimanapun, palu hakim belum lagi dijatuhkan. Segala kemungkinan masih bisa terjadi, termasuk Akbar dianugerahi putusan bebas. Dengarlah betapa pengacara Akbar hakul yakin kliennya akan melenggang bebas. "Tuntutan jaksa lemah, banyak yang tak masuk akal," kata Atmajaya Salim. Akbar sendiri berkukuh dirinya seputih salju. "Saya merasa tidak bersalah," katanya, kalem seperti biasa, sambil memohon mahkamah membebaskannya. Profesor Achmad Ali, guru besar hukum pidana dari Universitas Hasanuddin, Makassar, termasuk yang melihat Akbar punya peluang untuk lolos. Penyebabnya, kata dia, dakwaan yang sangat lemah. Salah satu yang terpokok, jaksa tak mengejar pembuktian ke mana sebenarnya dana itu pernah mengalir. Jadi, kalau Rabu ini Akbar melenggang bebas dari muka meja hijau, kata Achmad lagi, janganlah kelewat kaget. KD, Ahmad Taufik, Ardi Bramantyo, Arief Kuswardono

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus