Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Makan Siang Bersama Borgol dan Darah

Tayangan berita kriminalitas makin merajalela. Tapi kenapa yang tampil hanya kisah sukses polisi?

1 September 2002 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEGEROMBOLAN lelaki berkerumun di sebuah gang sempit. Namun perhatian kamera tertuju pada paras seorang pria yang merapat ke dinding. Dialah pelaku penculikan yang baru saja digaruk polisi yang berpakaian preman yang mengelilinginya itu. Tampangnya tegang. Siang itu dia memang sial. Polisi berhasil menangkapnya. Tapi otaknya tak sepenuhnya buntu. Ia berusaha mengakali polisi. Dari mulutnya meluncur cerita palsu tentang rumah yang tengah digerebek polisi. Nah, saat polisi masuk ke rumah itu, ia langsung mengambil langkah seribu. Sontak, tindakannya itu membuat salah seorang polisi kaget. "Kabur, kabur," ucapnya seperti meracau. Tembakan pun meletus lepas ke mana-mana, hingga akhirnya sebuah peluru mencium si penculik. Seketika itu juga nyawanya terbang melesat. Adegan ini bukanlah adegan kejar-kejaran film Hollywood, melainkan the real thing alias kisah nyata aksi polisi Indonesia di kawasan Jakarta Timur. Kejar-kejaran ini beberapa waktu lalu ditayangkan di acara Patroli, program berita kriminal unggulan stasiun Indosiar. Tentu saja adegan ini bukanlah satu-satunya yang ditayangkan. Di bagian lain, kamera menayangkan sekelompok polisi preman yang berhasil menangkap pengedar narkotik. Penyajiannya disampaikan secara langsung alias on the spot. Penyajian berita kriminalitas kini memang telah bergeser dari sekadar menampilkan wawancara pelaku kejahatan atau korbannya berkembang menjadi kisah-kisah penggerebekan. Para wartawan atau kru televisi memperlakukan kamera sebagai "mata" pemirsa yang penuh keingintahuan untuk mencari sang penjahat. Alhasil, kamera menangkap semua yang ada dalam penggerebekan itu, tak terkecuali isi kamar tidur. "Tayangan eksklusif seperti itulah yang disukai pemirsa," kata Mahfudz Mabrori, produser Patroli. Tentu saja ini terjadi bukan tanpa sebab. Saat ini tayangan berita kriminal memang tengah menjadi primadona. Setelah Indosiar sukses menuai laba dengan Patroli, yang menayang sejak 1999, kini stasiun televisi lainnya mencari peruntungan di acara sejenis. Tahun silam, RCTI meluncurkan Sergap, yang kemudian diikuti Buser, yang ditayangkan di SCTV sejak April lalu. Dan kue iklannya masih gurih. "Pemasukan iklan Sergap mendekati program Seputar Indonesia," kata Driantama, produser Sergap. Sejauh ini, target pemirsa acara-acara kriminal ini adalah ibu rumah tangga. Tak dinyana, respons mereka pun cukup positif. Seperti telenovela, berita kriminalitas, acara yang penuh dengan darah, borgol, dan pistol, menjadi teman yang asyik kala mempersiapkan makan siang. Kenyataan ini bisa dipahami pengamat televisi Veven Sp. Wardhana. Menurut dia, berita kejahatan merupakan salah satu barang dagangan yang laku dijual. Cuma, menurut dia, acara semacam ini belakangan lebih banyak menonjolkan cerita sukses polisi dalam mengatasi kejahatan. "Seperti humas buat kepolisian. Jarang sekali kita menyaksikan kegagalan polisi," katanya. Pengamatan ini memang didukung dengan beberapa penayangan yang memperlihatkan peran polisi yang terlalu menonjol. Satu contoh adalah berita penangkapan dukun yang meng-aku bisa mengubah lembaran plastik menjadi uang di Tangerang, pekan lalu. Kamera beberapa kali menyorot pemimpin penggerebekan yang tengah menginterogasi sang dukun. Di sudut lain, beberapa pria memperhatikan mereka sambil menenteng pistol. Kok, bisa begitu? Ini penting untuk "dramatisasi". Simaklah pengakuan seorang produser acara ini. "Sesekali kami meminta polisi melakukan penangkapan ulang kalau kami gagal meliput langsung peristiwa itu," katanya. Belakangan ternyata hal ini juga bisa membuat pihak polisi gerah. Menurut Kepala Badan Humas Polri, Irjen Pol. Saleh Saaf, gambar-gambar yang ada di layar televisi tak semestinya ditampilkan secara vulgar. "Harusnya darah tak lagi ditampilkan," katanya gusar. Toh, hal itu dianggap bak angin lalu. Ia pun jengkel dan mengirim telegram ke daerah-daerah. "Isinya, agar mereka tidak mengundang wartawan dalam melakukan penggerebekan," katanya. Dia tentu lupa, penggerebekan itulah yang justru dianggap sebagai "drama" bagi penonton. Ingat film Showtime yang dibintangi Robert De Niro dan Eddie Murphy. Kriminalitas akhirnya menjadi suguhan yang legit dan ternyata polisi mampu menyajikannya, meski itu akhirnya menjadi sebuah acara "kisah sukses" semata. Irfan Budiman, Tomi Lebang

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus