Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
BOLEH dibilang Surakarta, Jawa Tengah, telah lama dikenal sebagai salah satu sentra batik tulis terbesar di Indonesia. Produksi batik di sana sudah ada jauh sebelum Indonesia merdeka. Takashi Shiraishi dalam bukunya, Zaman Bergerak: Radikalisme Rakyat di Jawa 1912-1926, menyebutkan Surakarta menjadi pusat industri batik yang mendominasi pasar lokal Hindia Belanda pada 1859-1910-an. Salah satu sentra batik di Surakarta berada di Kelurahan Kauman, Kecamatan Pasar Kliwon, dengan produknya yang dikenal sebagai batik Kauman.
Mula-mula perdagangan batik di Kau-man dilakukan dalam transaksi kecil dengan skala yang kecil pula. Tapi lama-lama perniagaan itu berkembang hingga produknya didistribusikan ke luar kota. Buku Kauman: Religi, Tradisi, dan Seni yang diterbitkan Paguyuban Kampung Wisata Batik Kauman mencatat, pada 1915, ada 225 tempat produksi batik dengan 3.608 buruh di Kauman. Kejayaan bisnis batik tulis dan batik cap di Kauman bahkan menyisakan jejak sejarah berupa rumah-rumah megah berarsitektur Jawa, Hindia, dan Art Deco yang dibangun pada 1800-1950-an. Dulu, rumah-rumah itu dijadikan tempat produksi batik tradisional.
Namun usaha batik tradisional di Kau-man mulai kolaps pada awal 1980-an. Penyebabnya adalah berkembangnya produksi batik hasil teknologi cetakan atau printing, yang kerap disebut batik Cina. Batik tulis dan cap Kauman kalah bersaing lantaran batik printing dijual dengan harga lebih murah serta bisa diproduksi secara massal dalam waktu singkat. Akibatnya, banyak pengusaha batik tulis dan batik cap di Kauman gulung tikar. “Batik printing masuk, batik tulis jatuh. Batik cap juga mati,” kata Mustangidi, perempuan 88 tahun mantan saudagar batik Kauman, Kamis tiga pekan lalu.
Mustangidi -TEMPO/Muhammad Hidayat
Masa sulit produksi batik Kauman berlangsung hingga 2006. Ketika itu hanya tersisa delapan keluarga di Kauman yang masih memproduksi batik. Kebanyakan warga sudah meninggalkan bisnis batik tradisional, yang dianggap tak bisa menjamin masa depan. Bahkan anak-anak mereka memilih berkarier di bidang lain. Tak sedikit pula yang memutuskan merantau ke luar kota. “Bisa dibilang generasi penerus batik di Kauman saat itu hampir terputus,” ujar Bendahara I Paguyuban Kampung Wisata Batik Kauman, Muhammad Soim.
Situasi itu juga membuat rumah-rumah megah yang menjadi tempat produksi batik mulai ditinggalkan pemiliknya. Lantaran biaya perawatan dan pajak yang mahal, beberapa pemilik terpaksa menjual rumah bersejarahnya. “Biaya perawatan rumah kuno tidak murah dan kalau tidak dirawat, kan, sayang. Solusinya ya dijual,” ucap Soim. Tapi penjualan itu belakangan justru memunculkan kegelisahan di kalangan warga Kau-man. Mereka lantas berniat menjaga rumah-rumah tersebut sekaligus melestarikan batik Kauman.
Ide mengembangkan kampung wisata batik di Kauman pun muncul. Sebab, warga menganggap Kauman dan batik sebagai dua hal yang tak terpisahkan. Dari situ, terbentuklah Paguyuban Kampung Wisata Batik Kauman pada April 2006. Paguyuban itu mengusung batik sebagai ikon utama dalam upaya memberdayakan kampung yang berumur lebih dari dua setengah abad tersebut.
Melalui kampung wisata itu, Paguyuban berhasil membangkitkan gairah produksi batik Kauman. Sebelum ada kampung wisata, usaha batik Kauman hanya terpusat di Jalan KH Hasyim Asyari, Jalan Trisula, dan beberapa titik di pinggir jalan raya yang mudah diakses pembeli. “Sekarang usaha batik sampai masuk ke gang-gang,” tutur Soim. Bahkan, berdasarkan pendataan Paguyuban tiga-empat tahun lalu, jumlah pelaku usaha batik di Kauman sudah mencapai setidaknya 100 orang.
Selain bertambah banyaknya pengusaha batik, menggeliatnya kampung wisata batik telah mengundang banyak orang dari luar Kauman untuk berinvestasi. Para pemilik modal itu bekerja sama dengan pemilik rumah-rumah kuno. Dari semula dibiarkan kosong dan tak terawat, rumah itu diubah fungsinya menjadi toko batik Kau-man. “Kami senang investasi masuk karena bisa bermanfaat untuk rumah-rumah kuno itu,” ujar Soim. “Ini sesuai dengan tujuan awal kami mendirikan kampung wisata batik.”
Kampung batik Laweyan di Surakarta mengalami nasib hampir serupa. Berkembangnya batik printing pada 1980-an membuat usaha batik tulis Laweyan yang dibangun turun-temurun tersungkur. “Hanya segelintir yang bertahan saat itu,” ucap Gunawan Muhammad Nizar, tokoh masyarakat Laweyan. Kala itu, keluarga Gunawan salah satu yang mempertahankan usaha batik Laweyan. Pengusaha lain beralih menjadi juragan becak, angkutan kota, atau rumah makan. Tak sedikit pula yang menjual asetnya untuk mencari peruntungan di tempat lain. Bahkan ada yang akhirnya ikut membuat batik printing.
Sejak itu, produksi batik Laweyan seperti tak bergairah di kampung yang berusia lebih dari lima abad tersebut. Baru pada 2004 semangat membangkitkan produksi dan melestarikan batik di kampung itu muncul. Ketika itu, beberapa warga sepakat membentuk Forum Komunikasi Pengembangan Kampung Batik Laweyan, yang bertujuan menghidupkan kembali industri batik tulis di Kampung Laweyan. Rencana ini disambut pemerintah setempat dengan pemberian sumbangan dana dan kewajiban pegawai negeri mengenakan batik Laweyan pada hari-hari tertentu. Belakangan, perkantoran swasta turut mewajibkan para karyawan mengenakan seragam batik setiap Jumat.
Langkah Malaysia mengklaim batik sebagai budayanya juga menjadi cambuk bagi warga Laweyan untuk terus melestarikan batik khas kampung mereka, yang dikenal dengan kehalusan dan kerumitan motifnya. Laweyan pun ibarat terbangun dari tidur panjang selama hampir dua dekade. “Sekarang belasan pabrik batik sudah beroperasi. Gerai batik mungkin sudah lebih dari seratus,” kata Gunawan, yang juga menjabat Sekretaris Forum Komunikasi Pengembangan Kampung Batik Laweyan.
Upaya mempertahankan kelestarian batik tulis juga dilakukan di sejumlah tempat lain yang memiliki tradisi batik. Di Yogyakarta, sejak 1999, keraton berusaha menjaga marwah batik klasik kota itu, terutama motif-motif larangan, dengan me-nugasi abdi dalem membatik di Tamanan Keraton. Saat ini, ada tujuh orang—semuanya perempuan—yang mendapat tugas membatik dengan motif pakem keraton, antara lain parang bolodewo, parang tuding, parang templek, parang gapit, dan semen. Tujuh abdi dalem itu berasal dari sentra batik di Kecamatan Pandak, Kabupaten Bantul.
Pembilasan kain setelah direbus dalam pembuatan batik tulis di kawasan Kampung Wisata Batik Laweyan, Solo, Jawa Tengah. -TEMPO/Muhammad Hidayat
Batik klasik bikinan para abdi dalem itu biasanya pesanan kerabat dan tamu istimewa keraton, wisatawan asing, atau orang lain yang memesan secara khusus. Misalnya batik motif parang tuding yang dibuat khusus untuk Sultan Hamengku Buwono X. Selain itu, produk mereka kerap digunakan dalam acara keraton. Salah satunya batik bermotif parikesit ceplok gurda yang menjadi kostum penari bedaya. Jika masyarakat ingin membeli, batik yang dikerjakan selama tiga bulan itu dijual seharga Rp 750 ribu hingga jutaan rupiah, tergantung motif dan bahannya.
Pengelola batik Tamanan Keraton, Gusti Bendara Raden Ayu Murdokusumo, mengatakan pelestarian batik klasik Yogyakarta penting lantaran penggunaannya telah mengalami pergeseran nilai. Ia mencontohkan, banyak orang di luar keraton mengenakan batik bermotif parang barong. Padahal motif itu sebenarnya tidak boleh dipakai sembarang orang, termasuk di keraton. “Motif parang barong itu ‘milik’ raja,” ucap Murdokusumo, pertengahan September lalu. Ia menduga pergeseran nilai itu terjadi lantaran keraton agak longgar dalam urusan pakem batik klasik Yogyakarta.
Di Kecamatan Lasem, Rembang, Jawa Tengah, industri batik tulis mulai berkembang pesat sejak batik dicanangkan sebagai warisan budaya dunia oleh UNESCO pada 2009. Di Lasem, usaha batik memang sudah dijalankan secara turun-temurun sejak 1920-an. Namun jumlah pengusahanya tak seberapa, hanya 12 orang. Karena itu, Pemerintah Kabupaten Rembang berupaya menjaring warga Lasem yang mau menjadi pengusaha batik. Tercatat sekitar 20 warga Lasem yang terjaring mengikuti berbagai pelatihan untuk membuka usaha batik tulis.
Santoso Hartono, 48 tahun, salah satunya. Seusai pelatihan, ia memutuskan membuka bisnis batik Lasem dengan modal hanya Rp 15 juta. “Itu pun ngutang,” ujarnya. Namun, dari pekerja yang hanya empat orang, perusahaan batik Santoso, yang ia beri nama Pusaka Beruang, kini sudah memiliki sekitar 600 karyawan dan lima workshop. Menurut Santoso, usahanya bisa berkembang lantaran saat ini batik menjadi tren fashion di kalangan muda hingga tua.
Santoso kini bisa memproduksi ribuan lembar batik tulis Lasem setiap bulan. Motif yang ia buat sekitar 600. “Ini pengembangan atau modifikasi dari motif batik Lasem. Tidak pakem banget,” ucapnya. Berbeda dengan batik Lasem lain yang terkesan mahal, produk Santoso dijual dengan harga relatif terjangkau, dari Rp 150 ribu untuk batik satu warna. “Kalau dulu awal-awal harganya cuma Rp 53 ribu.” Santoso pun mengaku tak kesulitan memasarkan produknya. Sebab, konsumen tak berhenti datang ke gerainya di Desa Karangturi, Lasem.
Menurut Ketua Tim Ahli Cagar Budaya Rembang, Budi Darmawan, saat ini ada 65 pengusaha batik tulis di Lasem. Penyerapan tenaga kerjanya pun cukup tinggi. Setiap pengusaha batik memiliki minimal 20 karyawan. “Yang paling banyak memang Pak Santoso, karena dia jemput bola. Dia mendirikan workshop di kampung-kampung lain,” kata pria yang pernah ditugasi pemerintah Rembang menjaring calon pengusaha batik Lasem pada 2005 ini.
Di Tuban, Jawa Timur, para perajin batik tulis gedog tak kelimpungan menghadapi ancaman merebaknya batik printing. Perajin batik tenun khas Tuban terus bertahan. Jumlah mereka bahkan mencapai sekitar 1.300 orang di sejumlah kecamatan, antara lain di Kerek, Semanding, Kota, dan Palang. Salah satu upaya mereka agar batik gedog tetap dicari di pasar adalah mempertahankan ciri khas batik itu, yakni menggunakan pewarna alami khusus dari tumbuhan. “Kami konsisten pada warna -alami,” tutur Rukayah, 58 tahun, perajin batik di Kecamatan Kerek. Selain itu, perajin menjaga betul kualitas batik gedog.
Upaya menjaga kualitas batik tulis agar pamornya tak kalah oleh batik printing juga dilakukan para perajin di Bengkulu dengan produknya yang disebut batik besurek. Mereka tetap setia menggunakan canting dan teknik pewarnaan alami. “Kami menyasar pembeli yang memang paham kualitas,” kata Minhartati, 53 tahun, salah seorang perajin batik besurek.
Suasana disalah satu sudut kawasan Kampung Wisata Batik Kauman Solo, Jawa Tengah. -TEMPO/Muhammad Hidayat
Batik besurek disebut-sebut sudah ada sejak abad ke-16, bersamaan dengan masuknya Islam ke Bengkulu. Batik itu bisa dibilang unik karena motifnya yang berupa goresan kaligrafi. Namun batik ini tak mudah dijual karena kebanyakan hanya dipakai warga Bengkulu sebagai kain penutup jenazah. Jarang sekali ada yang berniat mencarinya untuk bahan pakaian atau selendang.
Di tengah keterbatasan itu, Minhartati bersama sedikit perajin batik tersebut tetap berupaya mempertahankan kelestarian besurek dengan mengembangkan motif dan warnanya. Mulanya besurek diproduksi hanya dengan motif kaligrafi dan warnanya cenderung gelap. Kini besurek memiliki motif lain yang khas Bengkulu, seperti bunga bangkai, burung kuau, dan melati. Warnanya pun lebih cerah, seperti kuning, merah muda, biru, dan hijau.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo