Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

arsip

Kita dan Bencana

Yonvitner, Kepala Pusat Studi Bencana Institut Pertanian Bogor

5 Oktober 2018 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TSUNAMI di Palu, Sulawesi Tengah, pekan lalu mengingatkan kita pada gempa dan tsunami Aceh 14 tahun silam. Seperti di Aceh, gempa dengan magnitudo 7,4 disusul gelombang tsunami setinggi tiga meter. Di Palu, gempa juga diikuti oleh likuefaksi atau meluruhnya tanah akibat air yang meresap terdorong energi gempa.

Jika kita lihat video-video amatir di media sosial, tampak masyarakat Palu seperti tak menyadari bahaya tsunami setelah gempa terjadi. Ketiadaan peringatan dini tsunami menjadi perdebatan publik menyusul ditangkapnya pencuri alat-alat deteksi itu sehingga Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) mencabut peringatan dini tsunami di lokasi gempa.

Segala centang-perenang menghadapi bencana itu menunjukkan lemahnya kesadaran kita akan bencana alam. Padahal kepulauan Indonesia yang dikelilingi gunung api, yang memanjang hingga Laut Pasifik, seharusnya membuat kita waspada bencana bisa terjadi sewaktu-waktu. The United States Geological Survey mencatat pada September 2018 saja ada 12 kali gempa dengan intensitas besar, di antaranya magnitudo 7,9 di Suva, Fiji; magnitudo 6,9 di dekat L’Esperance Rock, Selandia Baru; magnitudo 7,7 di Palu; dan terakhir magnitudo 6,6 di Ndoi, Fiji.

Sementara itu, Data Informasi Bencana Indonesia Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) selama 2005-2015 mencatat 15.458 kejadian bencana. Sebanyak 24,65 persen adalah bencana geologi, termasuk tsunami dan letusan gunung api. Sisanya, 75,35 persen, adalah bencana hidrometeorologi. Dua bencana itu membuat kerugian ekonomi Rp 30 triliun per tahun.

Dari semua data gempa tersebut, hanya gempa di Indonesia yang diikuti tsunami. Di negara lain yang rawan bencana, pemerintahnya memiliki rencana tanggap darurat yang rigid. Saat tsunami Tohoku pada 2011 yang menewaskan 15.269 jiwa, pemerintah Jepang sangat kuat mengendalikan tanggap darurat, sejak informasi hingga aksi-aksi di lapangan dalam menangani penduduk yang terkena dampak.

Prinsip utama mengelola bencana adalah meminimalkan risiko dan dampak setelahnya bagi masyarakat. Karena itu, penanganannya perlu matang, terkoordinasi, dan sistematis. Dampak bencana terhadap manusia adalah resultante akhir dari penanganan bencana yang harus dimitigasi agar mengurangi sekecil mungkin kerugian yang ditimbulkannya.

Karena menyangkut manusia, pengendalian dampak bencana adalah mendorong kesadaran mereka ikut andil di dalamnya. Setidaknya ada empat langkah penting dalam penanggulangan bencana untuk mengurangi dampak yang meluas tersebut.

Pertama, edukasi masyarakat mengenali karakter bencana yang ada di daerahnya, bahkan literasi kewaspadaan terhadap bencana sampai menjadi bagian dari gaya hidup; kedua, menyiapkan pelbagai kebutuhan data dan informasi dalam sebuah pusat data; ketiga, memperkuat kelembagaan; dan, keempat, memperkuat anggaran pengelolaan bencana.

Lain bencana lain pula cara menanganinya. Kerusakan pesisir, pergerakan tanah, dan tsunami adalah bentuk bencana alam yang bisa diamati. Gempa besar di Palu sejatinya sudah bisa diprediksi karena para ahli sudah memperingatkan bahwa tahun ini gempa itu meledak. Dengan pengetahuan ini, mitigasi semestinya bisa dilakukan sejak awal.

Kerusakan bangunan dan runtuhnya jembatan di Palu merupakan bentuk kegagalan teknologi beradaptasi dengan bencana. Karena penelitian sejak zaman kolonial terhadap potensi gempa ini sudah ada, struktur bangunan di atasnya semestinya disesuaikan dengan ancaman ini, seperti pemerintah dan masyarakat Cile yang siap dengan ancaman gempa.

Pemerintah Cile bisa lebih tanggap karena mereka memiliki data bencana yang lengkap. Data ini berguna untuk memprediksi dan bersiap menghadapinya, dengan teknologi dan teknik tanggap darurat, ketika bencana terjadi. Di Indonesia, data bencana terserak di banyak tempat dan sulit disatukan.

Pelbagai lembaga harus duduk bersama dan bekerja sama serta menjadikannya tema bersama dengan masyarakat. Dalam paradigma kebencanaan, lembaga yang terlibat itu adalah akademikus, bisnis, pemerintah, komunitas, dan media (ABGCM).

Di Jepang, bencana menjadi bagian dari gaya hidup sejak anak-anak. Dalam jenjang pendidikan awal, pelajaran pertama kepada anak-anak adalah pengetahuan tentang bencana dan cara penyelamatan diri. Setiap desa punya pedoman penyelamatan serupa yang menjadi bagian dari program sehari-hari masyarakat di sana.

Hal lain yang paling krusial adalah anggaran. Tak terkoneksinya data bencana dan mitigasinya di Indonesia terlihat dari kecilnya anggaran untuk keperluan-keperluan di atas. Alokasi anggaran dalam Usulan Rencana Induk Penanggulangan Bencana hanya Rp 700 miliar dari total Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara yang tahun ini mencapai Rp 2.200 triliun.

Dari rasio itu, terlihat Indonesia belum memprioritaskan penanggulangan bencana sebagai bagian dari program pembangunan. Bencana masih dianggap sebagai akibat dan tragedi sehingga tak ada rencana sistematis untuk menghadapinya. Rencana-rencana aksi baru disusun ketika bencana terjadi dan menelan korban jiwa.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus