Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TERLETAK di jantung Kota Yogyakarta, Pasar Beringharjo tak pernah sepi dari wisatawan. Deretan penjual baju, celana, kain, selendang, dan kaus bermotif batik memenuhi los sentra batik yang terletak di selatan Jalan Malioboro tersebut.
Harganya Rp 20-500 ribu. Itu pun masih bisa ditawar. Supartiyani, salah seorang pedagang batik, misalnya, menjual baju dengan harga Rp 30-500 ribu. “Yang murah-murah itu batik printing. Yang harganya Rp 80-140 ribu itu batik cap. Nah, yang ratusan ribu itu batik tulis,” katanya, Jumat dua pekan lalu.
Dari tiga jenis kain bermotif batik dagangannya tersebut, yang paling laris adalah batik printing (cetak). Dalam sebulan, ia bisa mengantongi Rp 5 juta dari batik cetak, Rp 4 juta dari batik cap, dan Rp 2 juta dari batik tulis. “Tujuh puluh persen dagangan saya batik printing,” ujarnya.
Pemandangan serupa terlihat di Thamrin City, pusat perdagangan batik di Jakarta. Sebagian besar los di lantai dasar dan lantai dasar 1—lokasi lapak penjual batik—menjajakan batik printing lantaran jenis kain tersebut diproduksi hampir di semua daerah penghasil batik. “Pedagang dari Solo, Pekalongan, dan Cirebon menjual batik tulis, cap, dan printing karena semuanya ada di kota mereka. Tapi, kalau dari Lasem, yang dijual hanya batik tulis karena memang hanya ini yang ada di daerah kami,” ucap Edi Sutanto, pedagang batik asal Lasem, Rembang, Jawa Tengah.
Batik printing membuat repot pedagang batik tulis seperti Edi. Pembeli kerap memprotes lantaran harga yang ia tawarkan dianggap terlalu mahal. “Kalau saya jual kemeja batik Rp 500 ribu, yang beli bilang, ‘Kok, mahal amat. Di toko sebelah bisa Rp 125 ribu.’ Mau bilang itu printing, tapi susah menjelaskannya,” katanya.
Dominasi batik printing tidak hanya tampak di dua pasar tersebut. Persaingan -kain-kain batik punya sejarah panjang, sejak sistem printing muncul pada 1960-an. Meski bercorak batik, kain cetakan pabrik itu sebenarnya bukanlah bagian dari batik. “Itu kain tekstil bermotif batik. Sedangkan batik adalah metode merintangi warna dengan malam menggunakan canting atau cap,” tutur peneliti batik, William Kwan.
Menurut Direktur Kreatif Iwan Tirta Private Collection, Era Soekamto, metode pewarnaan tersebut inovasi dari Nusantara. “Saya enggak yakin kapan terjadinya, tapi itu adalah hasil karya orang Indonesia asli,” ujarnya.
Batik berjaya sebelum sistem cetak ada. Diperkenalkan pada 1500-an, batik berkembang pesat di Jawa setelah Kerajaan Mataram berdiri pada 1582. Tiga abad lebih kemudian, para saudagar mulai membentuk perkumpulan setelah Belanda ingin menguasai perdagangan Nusantara. Haji Samanhudi, pengusaha dari Laweyan, Surakarta, Jawa Tengah, membentuk Sarekat Dagang Islam pada 16 Oktober 1905. “Orang mengenal Samanhudi sebagai saudagar batik yang kaya raya,” kata Koordinator Forum Pengembangan Kampung Batik Laweyan, Alpha Fabela Priyatmono.
Menurut Takashi Shiraishi dalam bukunya, Zaman Bergerak: Radikalisme Rakyat di Jawa 1912-1926, Surakarta adalah pusat utama industri batik yang terus mendominasi pasar lokal dan nasional pada 1859-1910. Pada masa itu, batik dalam rupa jarit, sarung, dodot, iket, dan selendang menjadi semacam pakaian wajib bagi pribumi.
Masa keemasan batik masih terekam sampai sekarang. Alpha mengatakan Laweyan sebagai sentra produksi batik di Surakarta masih menyisakan rumah-rumah lama peninggalan saudagar. Mereka -membangun kediaman bagaikan rumah bangsawan bergaya Hindia dengan tembok dan pagar tinggi. Laweyan diperkirakan menjadi kampung dengan perdagangan yang cukup maju sejak zaman Kerajaan Pajang (1568-1587). Sebuah lokasi di Kali Jenes, sungai yang melintas di Laweyan, diyakini sebagai situs bekas pelabuhan atau bandar.
Batik masih gilang-gemilang sampai masa awal kemerdekaan. Menurut buku 70 Tahun Gabungan Koperasi Batik Indonesia, langkanya barang kebutuhan kala itu membuat semua barang yang diproduksi, bagaimanapun kualitasnya, selalu laku terjual, termasuk batik. Lantaran produksi sandang lain belum berkembang waktu itu, batik menjadi barang penting dan masuk daftar kebutuhan pokok.
Seorang pengunjung sedang melihat-lihat batik di Pusat Batik Thamrin City, Jakarta, 2 Oktober 2018. -TEMPO/M Taufan Rengganis
Saking moncernya, koperasi-koperasi batik di daerah bisa membangun banyak sekolah dan gedung. Di Cirebon, Jawa Barat, misalnya, Koperasi Budi Tresna, yang beranggotakan 1.100 orang, mampu mendirikan sekolah—taman kanak-kanak, sekolah dasar, sekolah menengah pertama, dan sekolah menengah ekonomi atas (SMEA)—serta pabrik tenun.
Adapun Koperasi Mitra Batik milik para pengusaha batik Tasikmalaya, Jawa Barat, mendirikan SMEA Mitra Batik, pabrik tenun, sebuah paviliun di Rumah Sakit Umum Daerah Tasikmalaya, dan mes di Bandung. Koperasi yang didirikan pada 1938 itu juga ikut membangun saluran air Cikuntan serta memberikan beasiswa kepada anak-anak pembatik. “Dulu jadi pengusaha batik itu seperti punya cetakan uang,” ucap Haji Cacu, salah seorang pengusaha batik di Tasikmalaya. Pada masa jaya itu, industri batik di Tasikmalaya mampu menyerap sekitar 1.800 pembatik dan 5.000 tenaga kerja lain pada 1948.
Masa-masa manis itu perlahan hilang setelah batik printing diproduksi. Mulanya, saat diperkenalkan, batik cetak dipandang sebelah mata oleh para perajin batik lantaran mutunya rendah dan warnanya gampang luntur. Namun, beberapa tahun kemudian, dengan kemajuan teknologi, kualitas tekstil bermotif batik tersebut meningkat menyamai batik cap, bahkan batik tulis. Bagi orang awam, batik printing—yang disebut sebagai fotokopian batik oleh pengusaha batik—adalah batik.
Harganya yang murah membuat tekstil bermotif batik yang antara lain diproduksi di Karet, Jakarta Pusat, itu dengan mudah menggilas batik cap dan tulis. Dalam satu menit, mesin mampu mencetak 120 meter kain batik. Tenaga kerja yang dibutuhkan tidak banyak sehingga ongkos produksi lebih irit. Padahal, untuk menyelesaikan satu kain batik tulis, diperlukan waktu berhari-hari, bahkan sampai berbulan-bulan.
Akibatnya, pasar batik tulis merosot sekitar 50 persen. Di beberapa kota besar di luar Jawa, seperti Medan dan Ujung Pandang, batik printing bahkan merebut pasar hingga 90 persen. Ihwal surutnya usaha batik itu ditulis Inger McCabe Elliott dalam buku Batik: Fabled Cloth of Java. Buku itu menyebutkan, pada awal 1970-an, di pantai utara Jawa, 700 ribu orang bekerja sebagai buruh batik. Pada awal 1980-an, angka itu berkurang menjadi 250 ribu.
Sebagian pengusaha batik di Laweyan akhirnya banting setir mencari mata pencarian lain. Ada yang tempat usahanya berubah menjadi pabrik roti, ada pula yang menjadi restoran ayam goreng. Nama jalan di kawasan Laweyan yang dulu disebut dengan nama motif batik, seperti sidomukti dan sidoluhur, pun diganti dengan nama-nama baru.
Mustangidi, salah satu mantan saudagar batik di Kauman, Surakarta, ingat bagaimana kain bermotif batik itu benar-benar menggilas batik mereka. “Printing masuk, batik tulis jatuh. Batik cap mati juga,” tutur perempuan 88 tahun itu.
Adapun di Jalan Prawirotaman, Yogyakarta, puluhan pengusaha batik beralih usaha membuka penginapan. Padahal, antara tahun 1950 dan 1960, kawasan itu lebih dikenal dengan sebutan “Jalan Batik” dibanding nama sebenarnya.
Di Tasikmalaya, pengusaha yang memilih bertahan harus bekerja ekstrakeras. Haji Cacu dan istrinya, Hajah Enok, misalnya, mesti bergerilya ke pelosok Tasikmalaya dan sekitarnya untuk memasarkan batik tulis serta cap bikinan mereka. “Di kota, semuanya habis oleh printing. Saya cari pasar ke daerah-daerah yang belum tersentuh printing,” Enok bercerita.
Kekusutan itu membuat banyak juragan memilih tak meneruskan ilmu usaha batik kepada keturunan mereka. Mereka rela anak-anaknya berkarier di bidang lain. Tidak sedikit pula yang merantau ke luar kota. “Di Kauman, bisa dibilang generasi batik saat itu hampir terputus,” kata Bendahara I Paguyuban Kampung Wisata Batik Kauman, Muhammad Soim. Akibatnya, rumah-rumah kuno nan megah di Kauman yang dulu menjadi tempat produksi batik tradisional mulai ditinggalkan.
Para pengusaha batik bukannya tinggal diam. Para saudagar di Pekalongan, Jawa Tengah, misalnya, mengadakan sarasehan bersama Himpunan Pengusaha Muda Indonesia, koperasi primer, bank, dan pejabat perindustrian pada 16 Mei 1981 untuk menyiasati munculnya batik printing. Kemelut batik cetak itu juga diupayakan diredam dengan surat edaran Direktur Jenderal Industri Tekstil Nomor 214/1970 yang menganjurkan agar batik tidak diproduksi dengan mesin cetak mekanis. Namun, bagaikan arus, batik cetak tak bisa dibendung.
Pemerintah kemudian menggunakan -jurus lain. Menteri Perindustrian mengeluarkan Surat Keputusan Nomor 727/1981 yang mewajibkan setiap pengusaha batik memberi tanda alias label pada tiap potong batik yang diproduksinya. Batik tulis diberi label batik tulis. Demikian pula batik cap serta kombinasi batik tulis dan cap. Kain yang dicetak dengan desain batik pun mesti dipasangi label “Tekstil Motif Batik” pada setiap dua meter panjang kain. Dengan begitu, konsumen bisa segera membedakan jenis batik apa yang dibelinya.
Tapi rupanya pelabelan ini pun tak -membuat konsumen urung membeli kain bermotif batik tersebut. Harga yang terjangkau kocek membuat kain ini tetap laris di kalangan masyarakat menengah-bawah. Jumlah produksi batik printing lebih unggul. Batik Keris, yang berdiri sejak zaman Belanda, misalnya, pada 1994 menghasilkan 130 ribu potong batik tulis, 330 ribu potong batik cap, dan 4 juta yard -batik cetak.
Tekstil itu terus mendominasi sampai Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Pendidikan, Keilmuan, dan Kebudayaan (UNESCO) menetapkan batik sebagai salah satu Karya Agung Warisan Kemanusiaan Budaya Lisan dan Non-Bendawi (Masterpieces of the Oral and Intangible Heritage of Humanity) pada 2 Oktober 2009. -Euforia pengakuan tersebut membuat batik, baik tulis maupun cap, dan kain bermotif batik sama-sama menggeliat.
Menurut catatan Paguyuban Pecinta Batik Indonesia Sekar Jagad dari Yogyakarta, sebanyak 75 persen pasar batik dikuasai batik printing. Tekstil bermotif batik itu menguasai hampir semua tempat di Yogyakarta, dari Pasar Beringharjo hingga mal. “Sejak pengakuan dari UNESCO, orang beramai-ramai mengenakan batik meski tidak memahami sejarah dan filosofinya,” ujar pemerhati batik bidang khusus dari Sekar Jagad, Suhartanto.
Di sekolah, contohnya, kepala sekolah mewajibkan guru dan murid mengenakan batik. Pemerintah pun mengharuskan pegawai negeri berseragam batik. Masyarakat umum juga gandrung mengenakan pakaian bermotif batik, meski batik yang dikenakan masih jauh dari ideal.
Tren mengenakan batik itu membuat kebutuhan pasar bertambah banyak. Tekstil bermotif batik dari Cina pun makin menyerbu. Kementerian Perindustrian mencatat impor dari Cina meningkat dalam dua tahun terakhir.
Pada Januari-Juli 2017, nilai impor teks-til bermotif batik asal Cina sekitar US$ 8,7 juta. Adapun pada periode yang sama tahun 2018 naik menjadi US$ 17,3 juta. “Tekstil bermotif batik impor yang lebih murah memenuhi kebutuhan batik yang makin banyak di dalam negeri,” ucap Direktur Jenderal Industri Kecil dan Menengah Kementerian Perindustrian Gati Wibawaningsih.
Meski demikian, impor produk itu tetap dibatasi. Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 86 Tahun 2005 menyebutkan hanya Pelabuhan Belawan, Medan; Soekarno-Hatta, Makassar; dan Tanjung Perak, Surabaya, yang boleh menerima kiriman tekstil bermotif batik impor dan barang tersebut mesti diverifikasi.
Gabungan Koperasi Batik Indonesia (GKBI) juga turut menyumbang keberadaan tekstil bermotif batik. Pada 1990, GKBI bersama Tokai Senko KK, Daiwabo, dan Primatexco Indonesia mendirikan PT Tokai Texprint Indonesia. Salah satu produknya adalah batik printing. “Kalau hanya bertahan dengan batik tulis dan cap, GKBI tak bisa hidup,” kata pengurus GKBI, Toha Supandi.
Namun, menurut Gati, serbuan kain-kain itu tak perlu dikhawatirkan. Batik punya segmen pasar berbeda sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan konsumen.
Menurut Hajah Enok, meski batik printing tetap banyak, pengakuan dari -UNESCO membuat batik tulis dan cap terangkat. Saat usaha batik terpuruk, hanya ada 10 pengusaha yang bertahan di daerahnya. Namun, sekarang, jumlah pengusaha batik bertambah menjadi 35. “Pemerintah daerah membina kami, mengajari kami bagaimana menjual batik dan mengikutkan ke pameran-pameran,” ujarnya.
Hajah Enok -Dok. Pribadi
Pengusaha batik Pekalongan, Mustar Sidiq, juga optimistis batik tulis kembali meroket. Di kotanya, jumlah perajin batik pun bertambah. Tren ini terjadi di banyak daerah. Bahkan banyak pengusaha batik dari luar Jawa memesan batik tulis atau membuka bengkel batik di Pekalongan. “Tren batik tulis justru meningkat sejak 2011. Bahkan sudah banyak muncul batik tulis gaya baru dengan harga jual yang lebih murah,” tuturnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo