Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
AZIZ dan Aminudin adalah keluarga pembuat canting yang tersisa di Landungsari. Mereka mendapatkan pengetahuan membuat canting dari sang ayah, Khozazi. Meski usianya menginjak 78 tahun, Khozazi masih sigap memanggang dan menempa canting. Ia pun memperoleh ilmu membuat canting dari ayahnya, Ahmad Hasan. “Ini jadi seperti warisan keluarga untuk mempertahankan canting,” ucap Aziz.
Canting ibarat senjata utama para perajin batik tulis. Lewat canting, cairan-cairan malam panas digoreskan di atas kain membentuk motif-motif yang nantinya diwarnai. Meski demikian, jumlah produsen canting tak sebanding dengan pesatnya produksi batik tulis. “Pembuat canting sangat sedikit,” ujar peneliti batik Nusantara, Kwan Hwie Liong.
Hingga saat ini, hanya tersisa tiga keluarga perajin canting tulis di Pekalongan. Khozazi termasuk pionir pembuat canting tembaga di Pekalongan. Dua lainnya, Dimyati dan Rohmat, tinggal di Kelurahan Kuripan Lor, Pekalongan Selatan. “Sebagian besar canting batik Indonesia diproduksi di Pekalongan,” tutur Kwan, yang juga menjabat Direktur Institut Pluralisme Indonesia.
Widianti Widjaja, penerus batik tulis Oey Soe Tjoen generasi ketiga di Pekalongan, mengatakan canting adalah kebutuhan yang tak tergantikan. Widianti bahkan membeli canting dalam jumlah besar untuk mengantisipasi menipisnya pasokan. “Saya beli 300 canting. Begitu ada 100 buah tak bisa dipakai lagi, saya sudah pesan lagi,” kata Widianti.
Proses membuat canting cukup rumit dan lama. Potongan lembaran tembaga selebar lima sentimeter dilipat, lalu disatukan dengan gulungan pucuk-pucuk canting menggunakan patri. Setelah itu, bakal canting dibakar agar bentuknya lebih mapan. “Urusan pembakaran masih dipegang bapak. Kami masih kesulitan menentukan waktu bakarnya,” ucap Aziz, yang sudah lebih dari dua dekade membuat canting.
Menurut Aziz, tak ada patokan waktu pembakaran canting itu. Kebiasaan menempa dan membakar canting selama puluhan tahun yang membuat Khozazi paham kapan canting-canting itu “matang”. Jika pembakaran terlalu lama, patri bisa rusak atau canting pecah karena kepanasan. Sedangkan kalau pembakaran terlalu singkat, klem canting tak terekat. “Umur pakai canting biasanya lebih dari dua tahun,” tuturnya.
Dalam sehari, keluarga Khozazi bisa memproduksi setidaknya 200 canting dari 1 kilogram lembaran tembaga. Adapun harga jual canting ditentukan jumlah dan formasi pucuk yang dibuat. Canting dengan satu pucuk dibeli pengepul langganan keluarga itu seharga Rp 3.000 per buah.
Mereka tidak kesulitan menjual produk itu karena permintaannya tinggi. Canting Pekalongan menyebar hingga Cirebon, Solo, Yogyakarta, Surabaya, dan Madura. Menurut Aziz, mereka bahkan tak mampu melayani permintaan canting yang terus meningkat. Kapasitas produksi mereka maksimal 500 canting per hari. “Pernah ada permintaan 20 ribu canting dalam dua bulan dari sekolah-sekolah yang memiliki pelajaran membatik, terpaksa kami tolak,” kata Aziz.
Canting tulis masih diburu. Kerumitan memproduksi canting membuat banyak orang tak tertarik menggeluti usaha ini. Sebaliknya, canting batik cap justru lebih diminati karena pembuatannya terukur. Pendapatan pun lebih tinggi dengan kisaran harga Rp 800 ribu per unit. “Regenerasi di canting cap lebih bagus, banyak anak mudanya,” ujar Aziz.
Keluarga Khozazi pernah beberapa kali mencoba melatih warga kampung setempat dan di tempat lain membuat canting. Namun usaha ini lebih banyak menemui jalan buntu. Banyak yang mundur karena tidak tahan dengan teknik membuat canting yang membutuhkan ketelatenan itu. “Batik tulis terus meningkat. Saya berharap pembuat canting bisa bertambah,” tutur Aziz.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo