Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PULUHAN pria selonjoran di sepanjang trotoar flyover jalan tol Jagorawi. Tak jauh dari Bumi Perkemahan Jambore Cibubur, Jakarta Timur, Rabu petang pekan lalu, mereka duduk beralas kain spanduk bekas. Sebagian ada yang tiduran dengan sarung menutup setengah badan dan muka. Cangkul atau sekop berderet di samping mereka.
Para pria itu berada di sana sepanjang pagi, siang, dan malam. "Ya, kami duduk menunggu truk lewat memberi kerjaan," kata Yusuf kepada Tempo, Rabu pekan lalu. Mereka tak punya tempat tinggal, tempat kos, atau rumah kontrakan. Bila turun hujan, puluhan pria itu cepat-cepat berteduh ke kolong jembatan penyeberangan.
Yusuf dan rekan-rekannya adalah kuli angkut pasir cabutan. Rezeki mereka datang ketika truk pengangkut pasir atau batu lalu-lalang di sana. Setiap ada truk pasir berhenti, para kuli pasir itu akan berebut naik. Tapi hanya satu-dua orang yang bisa naik untuk menurunkan pasir. Upahnya Rp 30-50 ribu per rit pasir.
Pendapatan Yusuf tidak menentu. Hari itu warga Teluk Bango, Batujaya, Karawang, Jawa Barat, ini sejak pagi sampai petang belum mendapatkan pelanggan. Tak jarang sampai tiga-empat hari menunggu tidak ada pekerjaan. Yusuf mengaku sudah sejak 2002 menjalani pekerjaan tersebut. "Tidak ada pekerjaan lain," katanya. Meski ada banyak pabrik di Karawang, tak banyak orang di kampungnya diterima bekerja di sana.
Di kampung halamannya, Yusuf punya sepetak sawah. Luasnya sekitar 2.000 meter persegi. Tanah warisan dari orang tuanya itu kini digarap sang anak. "Waktu musim tanam, ya, garap sawah sama anak. Selesai bertani, ya, ke sini lagi," ujar pria 50 tahun ini. Hasil panen tidak cukup bagi Yusuf dan empat anaknya. Tiga anaknya yang sudah masuk usia kerja juga kini menganggur.
Udin, rekan Yusuf, mengaku hanya mengandalkan upah kuli pasir. Warga Pabuaran, Subang, Jawa Barat, ini sudah sejak 1996 mangkal di jalan layang itu. Udin, 46 tahun, punya keahlian tukang batu, tapi tenaganya tak banyak dimanfaatkan meski banyak proyek infrastruktur pemerintah. Udin dan puluhan rekannya mengatakan hanya memandang megaproyek kereta ringan di pinggiran jalan tol Jagorawi yang digarap badan usaha milik negara.
Ekonom Universitas Indonesia, Faisal Basri, menilai keberadaan kuli angkut pasir cabutan merupakan cermin kegagalan transformasi struktural ekonomi di Indonesia. Ini terjadi kala sektor pertanian sudah mulai ditinggalkan tapi sektor industri manufaktur tidak mampu menampung mereka. "Akhirnya petani ke kota masuk ke sektor informal, jual gorengan, jadi pemulung sampah," ucapnya di Jakarta, Selasa pekan lalu. Jumlah mereka, menurut Faisal, ada jutaan orang.
Ketidaksesuaian kemajuan perekonomian dengan pangsa tenaga kerja, kata Faisal, merupakan salah satu faktor tingginya kesenjangan ekonomi di Indonesia. "Kontribusi sektor pertanian menurun, tapi jumlah petani tidak menurun."
Hal ini membuat sektor pertanian semakin jenuh. Mantan petani kembali ke sektor pertanian karena tidak punya pilihan. Tak mengherankan bila 78 persen dari 40 persen rakyat termiskin Indonesia menumpuk di perdesaan. "Mayoritas adalah petani," ujar Faisal.
Ironisnya, daerah-daerah pertanian merupakan kantong kemiskinan tertinggi. Data jumlah penduduk miskin yang dirilis Badan Pusat Statistik 2016 mencatat 4,78 juta penduduk miskin berada di Jawa Timur. Sebanyak 3,2 juta di antaranya berada di perdesaan.
Kondisi itu tak berbeda jauh dengan Jawa Barat. BPS mencatat, dari 4,48 juta penduduk miskin di provinsi ini, 2,7 juta berada di perdesaan. Di Lampung, 80 persen dari 1,1 juta penduduk miskin berada di perdesaan.
Kontribusi sektor pertanian terhadap produk domestik bruto telah menurun dari 30 persen pada 1970-an menjadi 23 persen pada 1980-an dan saat ini hanya tersisa 13,45 persen PDB. Hal ini seharusnya diikuti dengan menurunnya persentase penduduk yang bekerja di sektor pertanian.
Kenyataannya, sementara pada 1970-an pangsa tenaga kerja pertanian mencapai 62 persen, angka saat ini masih tergolong tinggi. "Pangsa tenaga kerja pertanian masih di atas 35 persen," kata guru besar Institut Pertanian Bogor, Bustanul Arifin, di Jakarta pada Selasa lalu. Idealnya, menurut Bustanul, pangsa tenaga kerja pertanian di level 20-25 persen.
Peneliti Centre for Strategic and International Studies (CSIS), Haryo Aswicahyono, mengatakan ada tiga penyebab kegagalan transformasi struktural. Pertama, akibat krisis ekonomi 1997-1998, Indonesia mengalami tren deindustrialisasi. "Industri padat karya ambruk dan tak kunjung bangkit lagi," ucap Haryo, Kamis dua pekan lalu.
Kedua, booming pasar komoditas hanya mendorong industri padat modal yang cuma berorientasi ekspor. Terakhir, pasar tenaga kerja yang semakin rigid dan upah minimum naik pesat. Akibatnya, banyak perusahaan mengurangi lowongan baru dan menekan jam lembur. Tak aneh bila kehadiran ojek online membuat buruh mencari penghasilan tambahan.
Untuk mengatasi persoalan ini, Faisal Basri menyarankan agar pembenahan dilakukan menyeluruh dimulai dari pinggiran. Menurut dia, kalau desa tidak dibenahi, penduduknya akan lari ke kota menciptakan kota-kota yang kumuh.
Pernyataan Faisal dikuatkan Bustanul Arifin. Ia yakin kalau pertanian dikelola dengan baik akan mengurangi ketimpangan. Masalahnya, mayoritas petani Indonesia adalah petani gurem dengan penguasaan lahan kurang dari 0,5 hektare.
Ini mencerminkan distribusi lahan yang memburuk. Jumlah petani berlahan sempit meningkat 54 persen per tahun. Menurut Bustanul, 23,7 juta petani hanya memiliki 21,5 juta hektare. Sebaliknya, 2.000-an perusahaan perkebunan menguasai 16 juta hektare. Sebanyak 304 perusahaan menguasai 26 juta hektare konsesi hutan. Sedangkan 13,57 juta petani tidak memiliki lahan alias menguasai nol hektare lahan.
Data di atas menunjukkan koefisien ketimpangan lahan di Indonesia sangat tinggi. Pada 2003, angkanya pernah mencapai 0,717 dan menurun ke level 0,64 pada 2013. Bustanul tidak menyangka ketimpangan pemilikan lahan di Indonesia bisa setinggi itu. "Kalau sudah di atas 0,5, itu dikhawatirkan akan terjadi kerusuhan sosial," katanya.
Ketua Dewan Nasional Konsorsium Pembaruan Agraria Iwan Nurdin mendesak pemerintah untuk serius mengatasi ketimpangan di sektor agraria. Ketimpangan sangat jomplang karena 0,2 persen penduduk menguasai 56 persen aset berupa tanah. "Muara ketimpangan itu adalah konflik agraria tak berkesudahan," ujar Iwan.
Kondisi itu diperparah oleh penyusutan lahan pertanian. Rata-rata hanya 40 ribu hektare sawah baru dicetak, sedangkan konversi lahan secara nasional mencapai 100 ribu hektare. Setiap satu menit, satu rumah tangga dan seperempat hektare lahan pertanian hilang di Indonesia. "Itu bukan masalah serius kalau industri mampu menyerap mereka. Tapi kenyataannya tidak," katanya.
Deputi Kepala Staf Kepresidenan Deni Puspa Purbasari mengakui kendala itu. Ketimpangan terjadi karena minimnya akses dan kesempatan. Solusinya adalah memastikan terciptanya lapangan kerja sebanyak-banyaknya. Transformasi sosial tidak berjalan lancar karena anak yang lulus sekolah banyak menganggur. Ini terjadi akibat minimnya pasar kerja.
Hal itu bisa terjadi karena banyak sebab, dari iklim bisnis tidak bagus, rendahnya pertumbuhan ekonomi, sampai minimnya investasi swasta. "Padahal swasta adalah motor untuk menciptakan lapangan kerja," ucapnya. Sementara itu, di tengah keterbatasan anggaran, sampai jungkir-balik upaya pemerintah tidak akan cukup menyerap tenaga kerja.
Ihwal kepemilikan lahan, Deni mengatakan pemerintah tengah merancang skema redistribusi lahan. Namun ia memastikan tidak ada maksud untuk membatasi pemilikan lahan. Yang bisa dilakukan adalah memastikan sistem perpajakan. "Yang penting itu tercatat. Kalau dia punya pendapatan dari situ, berarti kena pajak," katanya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo