Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Yang Muda yang Berburu Karya Seni

Beberapa tahun terakhir, muncul kelompok baru pembeli karya seni rupa. Sebagian besar masih muda. Mereka menganggap mengoleksi karya seni, meski harganya cukup mahal, adalah bagian dari gaya hidup. Konsumen baru seni itu terus tumbuh ketika Indonesia masuk daftar enam besar negara dengan tingkat kesenjangan ekonomi tertinggi di dunia.

20 Maret 2017 | 00.00 WIB

Yang Muda yang Berburu Karya Seni
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

LUKISAN-lukisan karya Affandi dipajang di salah satu ruang di lantai tiga Hotel Sheraton Grand, Gandaria City, Jakarta, Agustus tahun lalu. Dalam bursa seni rupa perdana Art Stage Jakarta itu, empat kolektor ternama Indonesia menggelar 17 karya Affandi bertajuk "The Human Face". Sebanyak 17 karya maestro kelahiran Cirebon, Jawa Barat, tersebut dipajang di sana. Semuanya koleksi pribadi Alexander Tedja, Caecil Papadimitrou, Rudy Akili, dan Dedy Kusuma.

Dua lukisan Affandi koleksi Alexander Tedja, pemilik kelompok Pakuwon, adalah Ayam Putih dan Balinese Dancer. Ayam Putih (1957), yang berukuran 137 x 82 sentimeter, bernilai Sin$ 384 ribu (dengan kurs saat itu Rp 2,3 miliar) saat terjual di balai lelang Sotheby’s pada 2007. Sedangkan Balinese Dancer (1964, berukuran 131 x 99,5 cm) terjual dengan harga HK$ 3,5 juta atau sekitar Rp 33,9 miliar di Sotheby’s pada 2011.

Di bursa seni yang sama, 15 ribu pengunjung Art Stage juga bisa melihat karya I Nyoman Masriadi, Serta Merta. Karya yang sebulan sebelumnya dipamerkan perdana di Paul Kasmin Gallery, New York, Amerika Serikat, itu kini menjadi milik Dedy Kusuma, pengusaha real estate. Masriadi pernah memecahkan rekor penjualan. Karyanya yang berjudul The Man from Bantul (The Final Round) terjual senilai US$ 1 juta (sekitar Rp 9,2 miliar) di Sotheby’s Hong Kong pada 2008. Pembelinya juga salah satu kolektor dari Indonesia.

Boleh dibilang Indonesia memiliki budaya koleksi seni terbesar dan paling signifikan di Asia Tenggara, bahkan mungkin di Asia. Singapura, yang kini berambisi menjadi pusat seni di Asia, bahkan giat mengumpulkan karya seni dari kolektor Indonesia. "Baik dibeli maupun pinjam dari kolektor Indonesia," kata salah seorang pelaku bisnis Indonesia. Menurut dia, ada beberapa koleksi National Gallery of Singapore yang merupakan pinjaman dari kolektor Indonesia. Salah satunya Ciputra.

Ciputra, yang menduduki peringkat ke-15 orang terkaya di Indonesia versi Forbes, memang dikenal sebagai kolektor seni. Pengusaha properti itu setidaknya memiliki 80 lukisan dan 50 sketsa karya Hendra Gunawan, maestro seni rupa modern Indonesia. Dia bersahabat dengan Hendra. Lukisan terakhir Hendra yang belum selesai, Wounded Diponegoro, dimiliki Ciputra.

l l l

TAPI belakangan ini seni rupa bukan hanya milik mereka yang bermodal besar di Indonesia, seperti Ciputra dan Dedy Kusuma. "Ada kelas menengah-atas baru dan profesional muda yang mulai paham serta punya minat terhadap seni rupa," ujar Amir Sidharta, pemerhati seni rupa.

Ketua Asosiasi Galeri Senirupa Indonesia Edwin Rahardjo membenarkan. Pemilik Edwin’s Gallery, Jakarta, ini menyebutkan bahwa kelompok profesional muda berusia 35 tahun ke bawah dalam tiga tahun terakhir meramaikan pasar seni rupa Indonesia. "Mereka memang beli yang tidak terlalu mahal. Tapi pertumbuhannya signifikan," ucap Edwin.

Manajer ROH Projects Fiesta Ramadanti juga menyebutkan tumbuhnya minat kelompok menengah-atas muda terhadap seni rupa. "Mereka biasanya beli di atas Rp 50 juta. Tapi masih di bawah Rp 500 juta," kata Fiesta. Di galerinya di kawasan bisnis Sudirman, Jakarta, karya-karya seniman senilai US$ 5.000-10.000 (Rp 65-131 juta) laku terjual.

Amir Sidharta, yang juga pemilik balai lelang SIDHartA Auctioneer, menyebutkan, dalam lelang seni rupa kategori art-fordable terakhir yang digelar pada Desember tahun lalu, pendapatannya mencapai Rp 900 juta. Itu meningkat jauh di atas rata-rata pendapatan lelang sepanjang 2015, sebesar Rp 600 juta. Art-fordable merupakan istilah Amir untuk mengkategorikan kelompok karya seni di harga terjangkau.

Kelompok menengah-atas baru pasar seni rupa ini menyukai karya yang mudah, fun, dan kekinian. Menurut Amir, lukisan seorang pria dengan kepala masuk kolam yang cenderung intrepretatif atau perempuan menangis tidak akan mereka sukai. "Begitu juga lukisan yang berat, yang bikin orang mikir, bakal mereka hindari," ujarnya.

Kecenderungan munculnya kelompok baru ini juga terlihat pada bursa seni rupa Bazaar Art Jakarta, yang digelar di Grand Ballroom The Ritz-Carlton, Pacific Place, Agustustahun lalu. Selama empat hari perhelatan, bursa seni rupa itu menyedot 43 ribu pengunjung dan mencatatkan omzet sebesar Rp 104 miliar.

Karya Yayoi Kusama di Galeri Ota Fine mencetak harga tertinggi. Patung labu kuning raksasa berdiameter sekitar 1 meter dengan khas totol-totol itu terjual dengan harga tertinggi, US$ 580 ribu (setara dengan Rp 7,69 miliar). Lukisan karya Agung Mangu Putra di Galeri Paskal disebut laku Rp 1 miliar. Tiga lukisan Richard Winkler di Galeri Zola Zolu juga ditandai laku masing-masing Rp 1,1 miliar.

Tapi sejumlah seniman juga membuat karya "murah" yang terjangkau kocek di bursa seni rupa itu. Di antaranya, gambar sepasang bebek karya Wenas Heriyanto dengan stroke timbul dan warna merah mencolok yang dijual Rp 800 ribu. Karya para seniman, terutama seniman muda, juga seperti diobral saat penutupan. Karya cetak di kaus, poster, sepatu, papan seluncur, helm, dan potongan kanvas dijual dan dilelang ke tangan para sosialita, profesional muda, serta peminat baru seni rupa. Semuanya laku.

Kelompok baru ini potensial. Kehadiran mereka juga ikut mengubah peta pasar seni rupa. Menurut Amir Sidharta, pembeli karya seni kini tak hanya membeli dari pameran-pameran di galeri. Mereka mulai bergeser ke pameran di bursa-bursa seni, yang lebih ramai dan lebih banyak pilihan. Hal ini pula yang membuat banyak galeri di Indonesia mengurangi frekuensi pameran di galeri dan menambah pergelaran pameran di bursa seni kawasan Asia Tenggara. Biasanya Art Stage Singapura dan Art Basel Hong Kong yang menjadi tujuan.

Meski begitu, menurut Amir, ada yang tetap sama dalam pasar seni rupa sepanjang masa: nilai prestisius. "Orang yang beli karya seni rupa akan punya prestise," ujarnya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus