SALAH satu akibat liberalisasi ekonomi Cina adalah munculnya "ekonomi alternatif". Wujudnya, antara lain yang disebut pasar bebas, misalnya pasar di dekat kampus Beida. Makanan yang dijual lebih banyak ragamnya dan lebih baik mutunya daripada yang dijual di toko-toko pemerintah. tentu saja, harganya pun hampir tiga kali lipat. Di pasar ini apa pun bisa dibeli asal ada uang. Ada akibat serius dengan berlakunya dualisme ekonomi tersebut. Yakni, para petani lalu lebih suka memelihara tanaman yang hasilnya laku di pasar bebas, seperti sayuran dan buah-buahan. Ini bisa berbahaya dalam jangka panjangnya, bisa menyulitkan perekonomian Cina. Bila sebagian besar petani tak lagi suka menanam padi atau gandum, cepat atau lambat Cina akan menghadapi kekurangan pangan. Para ekonom Cina sendiri tampaknya optimistis. Sebab, ada sistem yang disebut responsibilitas, yang mencegah kaum tani terjerumus terlalu jauh ke dalam konsumerisme. Sistem itu mengharuskan petani menjual beras, gandum, atau biji-bijian lain kepada pemerintah dalam jumlah yang telah ditentukan. Kalau itu sudah dipenuhi, barulah mereka diizinkan menanam tumbuhan yang hasilnya laku di pasar bebas. Akibat lain dari sistem ekonomi ganda itu munculnya korupsi. Harian Rakyat sangat sering memberitakan kasus penyelewengan besar-besaran yang dilakukan para pejabat tinggi partai dan pemerintah. Dalam kehidupan sehari-hari, gejala itu kelihatan juga. Setiap keluar dari hotel atau berjalan di keramaian kota, sering saya didekati oleh seorang pemuda yang berkata setengah berbisik sambil menggerak-gerakkan telunjuk dan jempolnya: "Foreign exchange." Mula-mula saya tergoda juga untuk menukarkan uang di pasar gelap. Kursnya memang cukup tinggi. Satu dolar AS kurs resmi 3,70 yuan. Di pasar gelap kurs itu bisa mencapai 5,50 yuan. Tapi saya tak punya nyali, khawatir justru kena tipu. Korupsi lain, kecil-kecilan, terjadi di kalangan sopir taksi. Caranya, itu tadi, dengan sistem borongan, tanpa argometer. Kabarnya, dengan cara itu seorang sopir taksi bisa mengantungi penghasilan tambahan 50-100 yuan atau sekitar Rp 25.000 sampai Rp 50.000 per hari. Itu suatu jumlah sangat besar, mengingat gaji seorang profesor saja rata-rata 100-140 yuan (Rp 50.000-Rp 70.000) setiap bulannya. Memang, kasus-kasus korupsi tak semengerikan kejahatan seperti pembunuhan dan perkosaan. Untuk jenis kriminalitas dua terakhir itu, biasanya, tak ada lagi ampun. Hukuman mati adalah ganjarannya. Dan di China, mereka yang telah dihukum mati diumumkan di papan pengumuman lengkap dengan fotonya. Mirip memasang koran gratis di papan di kantor penerangan. Akan halnya kaum muda China, tampaknya lebih banyak yang bersikap acuh tak acuh. Baik soal ekonomi ganda kini, maupun soal-soal "berat" yang lain, politik umpamanya. Mereka lebih suka santai dan pacaran dengan seru, tak kalah dengan muda-mudi Hong Kong. Di taman-taman di tengah kota, di rumpun-rumpun di kampus, di bawah jembatan bertingkat, sering terlihat remaja berdua-dua menyepi. Dan seks? Saya sempat ngobrol tentang seks dengan seorang mahasiswa. Baginya hubungan intim sebelum perkawinan, selama itu tak menyebabkan si wanita mengandung, bukan persoalan benar. Ketika saya tanya pernahkah ia tidur dengan pacarnya, mukanya merah dan menjawab malu-malu, "Mana ada kesempatan? Di rumah banyak orang. Di asrama, kami berenam menempati ruangan yang tak begitu besar." Memang, kepadatan benar-benar membuat sulit mereka yang hendak menyendiri di Beijing -- baik di rumah, tempat kerja, maupun di sekolah. Akibatnya, orang lebih suka berada di luar rumah. Untunglah, taman-taman atau lapangan banyak berserakan di Ibu Kota RRC ini. Di tempat terbuka itu pula kesempatan muda-mudi berkenalan. Saya diberi tahu seseorang bahwa salah satu sudut Tien An Men diberi nama julukan "sudut cinta". Fungsi sudut ini, bagi cowok atau cewek yang belum punya pasangan datang saja ke sudut itu, saling berkenalan. Bila ternyata ada kecocokan, perkenalan boleh ditingkatkan, boleh terus ke pelaminan. Saya tak beruntung menyaksikan acara "memancing dewi asmara" itu. Ketika saya datang, sudut itu sedang digunakan untuk pameran buku. Anak-anak muda itu umumnya tak mau tahu dan tak ingin tahu sas-sus politik, tentang adanya pertentangan antara "golongan reformis" dan "konservatif". "Ah, yang bertengkar itu 'kan orang-orang tua, biarkan saja," kata seorang pemuda. Malah seorang wartawan Xinhua yang ditempatkan di Hong Kong mengatakan pada saya, "Cina baru akan modern dan aman kalau orang-orang tua yang pada bertengkar itu sudah mati semuanya!" Mereka pun tak peduli soal "Kampanye Anti-Liberalisasi Borjuis" yang sedang angot-angotnya dan banyak ditulis di media resmi. Kabarnya kampanye itu hanya berlangsung di kalangan elite saja. "Dalam dunia universitas, katakanlah, gerakan itu menyangkut para pejabat sampai tingkat rektor saja," kata wartawan Xin Hua di Hong Kong. Arah dan juntrungan kampanye itu sendiri memang merupakan tanda tanya besar. Fang Lizhi -- itu profesor ilmu alam yang didepak dari keanggotaan partai karena kegiatannya yang mendorong demonstrasi mahasiswa dan pandangannya yang dianggap kelewat liberal -- malah memperoleh kedudukan lebih terhormat sebagai periset senior di Beijing. Namanya pun kian populer. Konon, ketika ia menuju Beijing dari Hefei dengan naik kereta api, di stasiun Beijing sudah menunggu sekitar 3.000 mahasiswa yang akan mengelu-elukannya, dengan membawa posterposter. Melihat gelagat itu, para petugas keamanan "membujuk" Fang turun di satu stasiun sebelum Beijing. Apa pun pendapat para pengulas Barat tentang naik daunnya golongan konservatif, pengaruhnya tak kelihatan di masyarakat. Lagu-lagu cengeng dari Hong Kong dan Taiwan masih terdengar, celana ketat dan blue jeans masih dikenakan anak-anak muda. Bahkan model sepatu pria hak tinggi, yang pernah populer di Indonesia sampai pertengahan 1970-an, kini sedang digandrungi. Meskipun demikian tak berarti tak ada yang tertarik menjadi anggota partai. Seorang mahasiswa mekanisasi pertanian bercita-cita menjadi anggota partai, lantaran itu akan mendorong karirnya. Saya pikir keadaan politik di Cina tak bedanya dengan situasi di Uni Soviet. Ada elite partai yang menggunakan ideologi sebagai dasar berkuasa di satu pihak, dan di lain pihak ada massa rakyat yang masa bodoh dengan partai, politik dan ideologi. Sikap orang terhadap ketiga faktor yang katanya penting di setiap negara komunis dan sosialis itu jadi utilitarian Artinya dianggap perlu kalau itu mendatangkan keuntungan pribadi. (Lihat juga: Biarkan Orang-Orang Tua Bertengkar)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini