SUNGAI terbesar di Jawa Barat ini tidak mati-mati. Tetapi ada yang berakhir. September yang baru lewat, sebuah bagian di sungai itu tidak lagi dapat digunakan untuk sebuah kesenangan anak-anak muda: olah raga arus deras. Waduk besar Cirata -- untuk menghasilkan listrik 1.000 MW, terbesar di Indonesia -- dibangun, dan meskipun baru akan rampung September tahun depan, telah membuat Citarum berubah. Untuk mengucapkan selamat tinggal, dengan cara yang khas, dua kelompok pecinta alam yang paling tangguh di Indonesia -- Wanadri dari Bandung dan Mapala dari Jakarta -- pun bersatu. Bagai tak ada lagi persaingan, awal Agustus silam, mereka bahu-membahu di perahu karet: bercanda di jeram Citarum menantang maut. Mereka berkumpul, berdoa, dan terjun. Untuk terakhir kalinya mereka tatap lembah di seputar perbukitan Cirata -- yang segera menjadi masa lampau. Di sana pernah ada hamparan sawah, seluas 6.000 hektar lebih, yang akan musnah. Di sana pernah ada 6.000 lebih keluarga, yang arus menyingkir. Tapi, dalam proses mengubah alam ke masa depan, memang selalu ada yang kehilangan, ada yang mendapat. Soalnya kemudian, siapa yang selayaknya menentukan mana yang memperoleh dan mana ang tidak. Jembatan tua itu seakan menjadi sesuatu yang terentang -- tak mencoba menjawab -- antara dua bagian itu, yang juga bagian masa lalu dan masa depan. Anak-anak muda yang datang dari kota itu pastilah penghuni masa depan. Ucapan selamat tinggal mereka -- dengan menerjuni arus deras Citarum -- mungkin sebuah ritus dari mereka yang menang, di dalam alam.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini