Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Mengantisipasi teror bom berlanjut, Kepala Badan Intelijen Negara (BIN), A.M. Hendropriyono, meminta agar lembaganya diberi kewenangan menangkap orang yang mereka curigai, tanpa bukti awal. Aksi penangkapan itu selama ini hanya bisa dilakukan oleh polisi. Permintaan disampaikan dalam rapat dengan Komisi Pertahanan DPR Kamis pekan lalu.
Hendro mengatakan intelijen ingin diberi wewenang untuk menangkap seseorang agar orang tersebut bisa dijadikan mata-mata untuk mengungkap rencana pengeboman. ”Pengertian menangkap itu bukan untuk dihukum, melainkan untuk dipakai menyusup,” katanya. ”Memang sering ada salah pengertian. Belum apa-apa (BIN) sudah dibilang represif.”
Menurut Hendro, semua anggota organisasi teroris harus ditangkap karena dari merekalah sumber intelijen bisa mengetahui rencana pengeboman. ”Mereka harus kita brain wash (cuci otak),” ujarnya. Mereka yang ditangkap itu akan dicuci otaknya selama empat hari sebelum kemudian dilepas lagi guna menyusup untuk mencari tahu anggota organisasi lain yang berniat mengebom. ”Dia nanti yang ngasih tahu kepada kita siapa yang mau merencanakan pengeboman. Begitulah kerja intelijen,” kata Hendro.
Menurut dia, Instruksi Presiden No. 5 Tahun 2002, yang memberi hak kepada BIN untuk mengkoordinasikan badan intelijen yang ada, tidak memberi banyak kewenangan kepada mereka.
Selesai di Dewan Pers
DEWAN Pers telah berhasil menyelesaikan kasus pemberitaan PT Toba Pulp Lestari dan majalah berita mingguan Tempo, Jumat dua pekan lalu. Perusahaan penghasil pulp di Sumatera Utara itu menganggap beberapa bagian berita dan foto di majalah Tempo edisi 5-11 Juli 2004, rubrik Selingan—dengan judul Selembar Ulos yang Sobek, Royan di Bona Ni Pasogit, dan Kisah Si Pongah dan Lapo Tuak—telah merugikan perusahaan itu. Maka, pada 10 Agustus 2004, PT Toba menempuh jalur yang sesuai dengan Undang-Undang Pers Nomor 40/1999, yaitu mengadukan majalah Tempo ke Dewan Pers—lembaga yang sesuai dengan UU Pers memiliki fungsi, antara lain, memberikan pertimbangan dan mengupayakan penyelesaian kasus-kasus pengaduan masyarakat atas pemberitaan pers. Pihak Toba Pulp meminta majalah Tempo meralat berita dan foto dan meminta maaf kepada perusahaan itu.
Dewan Pers bekerja dengan cepat. Setelah mendengar pengaduan pihak Toba Pulp dan penjelasan pihak Tempo, Jumat pekan lalu Dewan Pers mengundang Toba Pulp Lestari dan Tempo untuk mendengarkan rekomendasi Dewan Pers.
Rekomendasi yang dibacakan bergantian oleh anggota Dewan Pers, termasuk ketuanya, bekas Rektor UGM Yogyakarta Ichlasul Amal, menyatakan bahwa Dewan Pers menemukan kesalahan etik berupa ketidakakuratan dalam beberapa bagian berita dan foto pada Selingan itu. Namun Dewan Pers tidak menemukan kesengajaan Tempo untuk mencemarkan nama dan merugikan PT Toba Pulp Lestari. Karena itu, Tempo diwajibkan meminta maaf kepada Toba Pulp dan pembaca, serta memperbaiki pemberitaannya paling lambat 30 hari.
Selain memenuhi rekomendasi Dewan Pers, perbaikan itu penting untuk memenuhi hak informasi yang akurat dari masyarakat. Untuk itu, majalah Tempo akan sekali lagi mengirim wartawannya ke lokasi untuk mengecek ulang segala hal yang bersangkutan dengan keberatan PT Toba Pulp tadi. Hasil pengecekan lapangan itu, dan juga wawancara dengan pihak Toba Pulp, akan disampaikan kepada Anda, para pembaca, dalam artikel khusus yang merupakan hasil cek ulang Tempo di lapangan atas beberapa data dan fakta.
Solusi dari Dewan Pers ini, selain cepat (hanya memakan waktu kurang dari dua bulan), mempertimbangkan kepentingan dua pihak, juga merupakan bukti bahwa Dewan Pers bukanlah sebuah lembaga yang ”semata-mata membela kepentingan wartawan”. Dua pihak, PT Toba Pulp dan majalah Tempo, menerima keputusan ini.
Presiden Direktur Newmont Ditahan
Penyidikan kasus pencemaran Teluk Buyat mulai menjerat para petinggi PT Newmont Minahasa Raya. Kamis pekan lalu, Markas Besar Kepolisian RI menahan Presiden Direktur Richard B. Ness sebagai tersangka. Direktur V Tindak Pidana Tertentu Mabes Polri, Brigjen Suharto, memastikan bahwa langkah itu dilakukan dengan dukungan bukti yang cukup. ”Faktanya, Teluk Buyat tercemar. Tentunya (Richard) yang bertanggung jawab,” kata Suharto melalui telepon kepada Martha Warta dari Tempo.
Penahanan langsung dilakukan, katanya, sebagai bentuk penegakan hukum dan mempercepat proses penyidikan. Pihaknya tidak mau menunggu lama seperti saat mereka melakukan pemeriksaan awal terhadap Ness sebagai tersangka. ”Supaya prosesnya cepat dan segera dikirim ke pengadilan,” katanya.
Selain memeriksa Ness, polisi juga memeriksa manajer PT Newmont, Phil Turner (warga Australia). Sebelumnya, polisi juga menahan pengawas lingkungan Jerry Wenny Kojansow (warga Indonesia) dan pengawas pabrik pengolahan limbah Fp. Putra Wijayantri (warga Indonesia), serta Manajer Pemeliharaan dan Operasional William Raymond Long (warga Amerika Serikat). Total enam orang telah ditahan karena kasus ini.
Penganiaya Wartawan TV-7 Disidang
Dokter Daddy Samuel Carol, 30 tahun, dari Rumah Sakit Hasan Sadikin, terpaksa harus duduk di kursi terdakwa di Pengadilan Negeri Bandung. Ia didakwa melanggar Pasal 351 Ayat 1 KUHP karena melakukan pengania-yaan terhadap wartawan TV-7, Fredi Bangun, pada 19 Juli 2004 lalu. Tak hanya itu, Daddy juga menghadapi dakwaan alternatif kedua, yakni melanggar Pasal 335 Ayat 1 ke 1, tentang perbuatan tidak menyenangkan, terhadap Fredi.
Menurut Jaksa Sistoyo, kasus ini muncul saat Fredi dan sejumlah wartawan lain hendak meliput Turino, korban salah tembak di Stasiun Kereta Api Kiara Condong. Kebetulan, korban tengah dirawat di RS Hasan Sadikin. Fredi, yang tengah membawa handycam, bertemu dan mengarahkan kameranya ke posisi Daddy. Ternyata perbuatan Fredi ini membuat Daddy emosional. Sambil menanyakan surat izin peliputan dari Humas RS Hasan Sadikin, terdakwa langsung menepis kamera dan mengenai bibir bagian atas yang mengakibatkan luka-luka. ”Luka di bibir Fredi dikuatkan oleh visum dari Rumah Sakit Bhayangkara Sartika Asih, yang ditandatangani oleh Dr. Intan,” kata Jaksa.
Daddy, yang tengah menjalani tahanan kota, diancam hukuman maksimal penjara 2 tahun 8 bulan.
PBNU Kembali ke Tangan Hasyim
Hasyim Muzadi pulang kandang. Meskipun Komisi Pemilihan Umum belum menyatakan kekalahannya bersama calon presiden Megawati Soekarnoputri, Hasyim kini lebih asyik kembali mengurus jajaran Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), yang sudah empat bulan ditinggalkannya. Ia kembali aktif sebagai ketua umum organisasi massa itu sehari setelah pemilihan presiden putaran dua Senin pekan lalu.
Mengawali kepengurusannya, Hasyim sudah disibukkan oleh persiapan Muktamar NU, sekaligus agenda untuk merekatkan kembali hubungan para pengurus dengan tokoh NU dan kaum nahdliyin, yang selama masa pemilihan umum ini sempat renggang. ”Kita harus duduk rembukan bersama untuk melakukan rekonsiliasi setelah ada tarik-menarik pada pemilu presiden,” katanya di sela-sela acara pernikahan putra keempatnya di Jepara, Jawa Tengah, Rabu pekan lalu.
Tak hanya bicara, Hasyim gesit melakukan langkah-langkah awal. Ia, misalnya, datang menemui Ketua Syuriah NU, K.H. Sahal Mahfudz, di Margoyoso, Pati. Selain menyatakan kembali aktif di Pati, Hasyim juga menandatangani undangan untuk rapat gabungan antara pengurus Syuriah dan Tanfidliyah PBNU, yang akan dilaksanakan pada 29 September ini, serta undangan untuk rapat pleno PBNU pada 8-9 Oktober.
Darurat Sipil Aceh
Berlanjut Kehidupan di Aceh tampaknya belum bisa kembali normal dalam waktu dekat. Melalui rapat koordinasi bidang politik dan keamanan Rabu pekan lalu, pemerintah memutuskan melanjutkan status darurat sipil terhadap provinsi di ujung barat Indonesia itu. ”Sebagian besar penanggung jawab (Aceh) menyarankan perlunya melanjutkan status darurat sipil,” kata Sekretaris Menko Polkam, Laksamana Madya Djoko Sumaryono.
Djoko mengatakan, setelah tewasnya Panglima Gerakan Aceh Merdeka (GAM) wilayah Pereulak, Ishak Daud, secara umum kondisi di Aceh semakin baik. ”Intensitas kegiatan GAM menurun dan jumlah GAM yang menyerahkan diri meningkat,” katanya. Meski begitu, di lapangan, tewasnya satu orang GAM akan mengakibatkan penambahan anggota GAM baru.
Karena itulah, menurut Djoko, beberapa penanggung jawab operasi terpadu memberikan saran agar pemerintah mempertimbangkan dilanjutkannya darurat sipil di Aceh. ”Tidak ada pembahasan atau rekomendasi pencabutan status darurat sipil,” ujar Djoko. Rapat berlangsung sekitar tiga jam, dan dipimpin Menko Polkam ad interim Hari Sabarno. Hadir antara lain Panglima TNI Jenderal Endriartono Sutarto, Kapolri Da’i Bachtiar, Menteri Kesehatan Ahmad Sujudi, Menteri Pendidikan Nasional Malik Fadjar, KSAD Jenderal Ryamizard Ryacudu, dan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Jacob Nuwa Wea.
Y. Tomi Aryanto, TNR
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo