Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Hidup dan mati adalah hak prerogatif Tuhan. Begitulah kalau dibuat kalimat sederhana tentang siapa yang menentukan kematian. Manusia, yang hanya salah satu ciptaan Tuhan, tidak bisa menentukan kematian seseorang. Tentu saja ada perkecualiannya, jika ada undang-undang yang mengatur masalah itu.
Sepanjang undang-undangnya ada, kematian seseorang bisa ditentukan oleh "manusia" jika vonis itu sudah punya kekuatan hukum formal. Contohnya hukuman mati yang masih ada dalam hukum di Indonesia. Beberapa juru tembak bertindak sebagai eksekutor, dan dengan sekali dor…, berakhirlah kehidupan seorang manusia.
Bagaimana jika seorang pasien sudah sekarat, dan napasnya hanya bergantung pada pertolongan mesin-mesin buatan manusia, bolehkah dia "dibunuh" untuk mengakhiri hidupnya? Di sini ada dua istilah untuk menjelaskannya, eutanasia aktif dan eutanasia pasif. Yang aktif adalah memberikan, misalnya, suntikan mati kepada pasien sehingga kehidupannya berakhir dengan tenang. Yang pasif adalah mencabut alat-alat pertolongan yang diberikan kepada pasien sehingga pasien akhirnya akan mati juga. Tetapi keduanya tidak dibenarkan di Indonesia, baik atas nama etika kedokteran maupun atas nama agama. Dokter wajib memberikan pertolongan, dan dalam ajaran agama—agama apa pun—dikenal ada mukjizat Tuhan. Kalau Tuhan berkehendak lain, misalnya pasien itu disembuhkan, ya sembuhlah dia.
Masalah eutanasia mencuat tajam karena kasus Agian Isna Nauli. Ia kini dirawat di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) Jakarta. Selain karena koma permanen, pihak keluarganya tak mampu lagi membiayai pengobatan pasien. Suaminya, Hasan Kusuma, sudah menghabiskan Rp 70 juta lebih selama istrinya berada di RSCM. Itu belum utang Rp 14 juta di RS PMI Bogor tempat istrinya dirawat sebelumnya. Karena itu, Hasan Kusuma mengajukan niat ke pemerintah agar istrinya diberi suntikan mati.
Di daerah-daerah yang jauh dari liputan pers, kasus begini "mudah diselesaikan" dengan cara keluarga pasien mengambil si sakit untuk dibawa pulang dan "dirawat" di rumah. Umumnya alasan yang dipakai karena ketiadaan biaya dan tidak ada kemajuan apa-apa selama berada di rumah sakit. Pihak rumah sakit juga mengizinkan dengan alasan "rawat jalan". Apakah tindakan seperti ini tidak tergolong eutanasia pasif?
Yang membuat kasus Agian Isna Nauli muncul ke permukaan dan semua orang lalu ribut tentang tidak dibenarkannya eutanasia adalah proses masuknya Agian ke rumah sakit. Ada dugaan malpraktek di sini. Agian melahirkan anak melalui operasi caesar yang dipimpin oleh dr. Gunawan Muhamad, Sp.Og. di RS Islam Bogor. Setelah operasi caesar selesai, Agian tak kunjung sembuh lalu dirujuk ke RS PMI Bogor. Berdasarkan hasil CT Scan di RSUP Pertamina, ada kerusakan permanen di pusat saraf otak Agian. Setelah dua minggu terus terbaring di RS PMI Bogor, Agian dibawa ke RSCM Jakarta oleh LBH Kesehatan sampai sekarang.
Bagaimana mengurangi penderitaan Agian, dan terutama keluarganya yang sudah tak mampu lagi membiayainya? Keputusan harus diambil. Kalau malpraktek itu benar dan terbukti, pihak RS Islam Bogor harus bertanggung jawab dan tentunya menanggung biaya untuk perawatan Agian. Kalau malpraktek itu tak terbukti, pemerintah harus turun tangan dengan membebaskan segala biaya untuk pasien Agian. LBH Kesehatan bisa meneruskan bantuannya untuk menjadi mediator.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo