Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Merespons banyaknya kasus penembakan warga sipil oleh aparat di sepanjang tahun 2024 kemarin, Amnesty International Indonesia meminta ada evaluasi besar terhadap penggunaan senjata api TNI dan Polri. Tahun 2024, kata dia, ditutup dengan 55 kasus pembunuhan di luar hukum dengan jumlah korban 55 yang pelakunya mayoritas berasal dari aparat kepolisian maupun militer.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kasus terakhir yang menjado sorotan masyarakat adalah penembakan bos rental mobil hingga tewas oleh prajurit TNI AL. Kasus ini semakin jadi sorotan, karena polisi dianggap lalai memberikan perlindungan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Sebanyak 10 pelaku berasal dari unsur TNI, 29 dari kepolisian, dan 3 berasal dari pasukan gabungan TNI-Polri,” kata Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid dalam keterangan resmi, Senin, 6 Januari 2025.
Dia juga menyayangkan minimnya upaya perbaikan dari para pemimpin lembaga TNI dan Polri dalam menyikapi kasus penembakan warga sipil oleh aparat tersebut. “Pembunuhan di luar hukum oleh aparat terus terjadi. Perbuatan mereka jelas melanggar hak asasi manusia,” ujar Usman.
Di awal tahun 2025, ia kembali mendapatkan laporan telah terjadi pembunuhan di luar hukum pada 2 Januari 2025, yang diduga melibatkan anggota TNI Angkatan Laut. “Pelaku harus diadili melalui peradilan hukum, bukan peradilan militer yang prosesnya cenderung tertutup dan tidak transparan,” kata dia.
Oleh karena itu, ia mendesak pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk segera melakukan reformasi sistem peradilan militer dengan merevisi Undang-Undang Peradilan Militer No. 31 Tahun 1997. Revisi ini harus memastikan bahwa pelanggaran hukum pidana umum yang dilakukan oleh personel militer dapat diproses melalui peradilan umum, sesuai amanat Undang-Undang TNI No. 34 Tahun 2004.
Hanya dengan langkah itu, kata Usman, masyarakat Indonesia dapat memastikan keadilan yang sesungguhnya bagi para korban dan mengakhiri impunitas yang telah berlarut-larut.
Dia juga berharap institusi seperti Polri maupun TNI harus berhenti menggunakan istilah ‘oknum’ jika ada anggotanya yang terlibat dalam kasus-kasus pidana atau pelanggaran HAM. Istilah tersebut cenderung digunakan untuk menghindari tanggung jawab institusi ketika ada anggotanya yang tidak menjalankan SOP dengan baik.
Institusi memiliki tanggung jawab terhadap segala tindakan yang dilakukan oleh anggotanya di lapangan terlebih jika mereka menggunakan senjata api untuk melakukan tindak pidana pembunuhan atau pelanggaran HAM lainnya.
Selain itu, kelalaian Polri dalam mencegah terjadinya penembakan bos rental mobil pada 2 Januari 2025 tersebut juga harus menjadi perhatian serius dari institusi kepolisian. “Kelalaian aparat yang berujung pada kematian warga sipil harus dipertanggungjawabkan secara pidana dan tidak hanya berhenti pada ranah etik.”
Pilihan Editor: Tolak Laporan Bos Rental Mobil, Kapolsek Cinangka dan 2 Polisi Piket Terancam Dipecat