Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Bumi Manusia, Lika-liku dan Perburuan

NOVEL Bumi Manusia akhirnya muncul dalam layar perak. Film tersebut dirilis pada 15 Agustus 2019, berbarengan dengan Perburuan. Dua karya legendaris Pramoedya Ananta Toer itu digarap rumah produksi Falcon Pictures, yang menggandeng sutradara Hanung Bramantyo (Bumi Manusia) dan Richard Oh (Perburuan). Produksi dua film tersebut ibarat “pecah telur” berbagai upaya mengusung karya-karya Pramoedya ke jagat sinema sejak puluhan tahun silam. Sebelum akhirnya jatuh ke pelukan Falcon dan Hanung, Bumi Manusia sempat berpindah tangan ke sejumlah produser dan sutradara. Simak juga reportase Tempo dari lokasi syuting Bumi Manusia dan Perburuan di Yogyakarta.

14 Agustus 2019 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Dok. Falcon

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SATU kawasan di Daerah Istimewa Yogyakarta ini menjelma menjadi “Wonokromo”, kecamatan yang membawahkan enam kelurahan di Jawa Timur. Sudut itu berada di Studio Alam Gamplong, Moyudan, Kabupaten Sleman. Sutradara Hanung Bramantyo menyulap lahan 2 hektare itu untuk aneka rupa bangunan. Kawasan ini digarap sejak 2017 atas inisiatif bos Mustika Ratu, Mooryati Soedibyo. Di sini pula dulu Hanung mengambil gambar film biopik Sultan Agung: Tahta, Perjuangan, Cinta (2018).

Selama 52 hari sejak Agustus tahun lalu, Studio Gamplong kembali beralih wujud. Kali ini Hanung memanfaatkannya untuk syuting film Bumi Manusia. Di area ini berdiri rumah Nyai Ontosoroh, tokoh sentral dalam Bumi Manusia, novel pertama Tetralogi Buru karangan Pramoedya Ananta Toer. Di rumah itu Ontosoroh (diperankan Sha Ine Febriyanti) dikisahkan tinggal serta mengelola bisnis perkebunan dan pabrik susu Boerderij Buitenzorg. Sebagai nyai alias gundik, ia hidup bersama orang kaya Belanda, Herman Mellema, tanpa pernikahan sah. Dengan Herman, Ontosoroh melahirkan Robert dan Annelies (Mawar Eva de Jongh). Putrinya itu kemudian menikah dengan Minke alias Tirto Adhi Soerjo (Iqbaal Ramadhan).

Dok. Falcon

Kisah Bumi Manusia ini digarap rumah produksi Falcon Pictures sejak 2014. Falcon tak hanya mengerjakan Bumi Manusia, tapi juga memproduksi karya Pram lain, Perburuan, dengan sutradara Richard Oh (Koper, Terpana). Bumi Manusia dan Perburuan tayang perdana serentak pada 15 Agustus 2019. Perburuan mengisahkan Hardo, seorang shodanco atau pemimpin kompi Pembela Tanah Air. Hardo diceritakan memberontak terhadap Jepang, yang ketika itu masih menjajah Nusantara. Saat perlawanan gagal, Hardo menjadi buron Nippon sekitar enam bulan. Selama itu pula ia ngumpet dari ladang ke ladang, makan dari alam hingga tubuhnya ceking dan dipanggil “kere” oleh orang-orang.

Adapun film BumiManusia diawali perkenalan Minke muda dengan Annelies pada akhir abad ke-18, perkawinan keduanya yang tak diakui hukum Belanda, hingga rentetan represi yang mendera Ontosoroh sampai semua anaknya tiada serta hartanya ludes tak bersisa. Bukan hanya jalan cerita dan dialog, latar tempat dan mode para pemain pun dirancang Hanung semirip mungkin dengan isi novel Bumi Manusia. 

Kediaman Ontosoroh, misalnya, direka menyerupai deskripsi dalam novel yang terbit pertama kali pada 1980 itu. Rumah itu jembar, berlantai dua, dan punya banyak jendela di tubuh bangunannya. Bagian bawah fasad rumah ditempeli batu kali dengan pepohonan jati yang menjulang di sekitarnya. “Di rumah inilah dialog penting para pemain Bumi Manusia banyak muncul,” kata Koordinator Pengelola Studio Gamplong, Heri Bagor, akhir Juli lalu.

Bila mengacu pada naskah buku, luas area rumah Ontosoroh mencapai 100 hektare. Tapi, karena lahan Gamplong hanya 2 hektare, tim Hanung menyiasatinya dengan permainan kamera dan teknik computer-generated imagery untuk menghasilkan pencitraan tiga dimensi. Ini membuat kita menangkap Wonokromo lebih luas sekaligus detail. Misalnya hutan di dekat kediaman Ontosoroh, rumah penduduk di Wonokromo, perkebunan, serta pekarangan rumahnya sendiri.

Menurut Bagor, sekitar 85 persen latar film Bumi Manusia diambil dari Studio Gamplong. Termasuk rumah kos -Minke serta rumah bordil atau suhian milik Babah Ah Tjong, yang berada tak jauh dari kediaman Ontosoroh. Selain itu, pengambilan gambar Bumi Manusia berlokasi di Taman Budaya Yogyakarta serta Gondang dan Ambarawa, Jawa Tengah. Adapun syuting kompleks hunian Belanda dilakukan di sekitar Terminal Joyoboyo, Surabaya.

Tim Hanung menciptakan semua bangunan itu. Di Studio Gamplong sendiri sudah ada bangunan semipermanen yang “berperan” sebagai gerbang Keraton Karta Kerajaan Mataram, Pendopo Alit Keraton Karta, Benteng Batavia, Kampung Mataram, juga Kampung Pecinan abad ke-16 untuk syuting Sultan Agung. Untuk membangun kediaman Ontosoroh, Hanung melirik sebuah rumah tua di Surabaya. Rumah itulah yang konon menginspirasi Pramoedya dalam menggambarkan tempat tinggal sang nyai.

Agar meyakinkan bertampang uzur, rumah itu dicat kuning mentah dan merah tua serta dibubuhi properti lawas yang sebagian besar berumur ratusan tahun. Di antaranya tempat tidur, meja makan, kursi, vas bunga, dan lampu. “Tim Hanung berburu barang-barang itu di Solo dan Sidoarjo,” tutur Bagor. Namun tak semua properti syuting adalah barang anyar. Untuk pakaian para bangsawan, misalnya, ritsleting produk masa kini digunakan. Hal itu semata demi memudahkan proses syuting.

Sedangkan untuk pakaian Ontosoroh, Hanung berkreasi dengan warnanya. “Karena ini fiksi, boleh dong kami berkreasi,” ujar Hanung. “Rumahnya (Ontosoroh) kami cat, kotanya pun penuh warna. Lalu jaritnya kami pilih batik pesisir utara yang warna-warni, bukan wiron (salah satu ujungnya dilipat-lipat seperti kipas).”

Dari seluruh proses syuting di Gamplong, yang menyulitkan adalah gangguan suara. Studio itu berada di perkampungan padat penduduk. Konsekuensinya, banyak suara kendaraan bermotor berseliweran, juga bunyi pesawat terbang dan kereta api. Walhasil, syuting lebih banyak dilakukan malam hari hingga subuh. Pernah suatu hari proses syuting terusik suara tetesan air dari sebuah keran. Hanung lalu meminta Bagor menelusuri ke rumah-rumah warga, tapi sumber suara tak kunjung ditemukan. “Saya menyerah dan syuting lalu disetop sementara. Adegan itu akhirnya disulihsuarakan,” ujar Bagor.

Bumi Manusia & Perburuan

Tak jauh dari Gamplong, Richard Oh, sutradara film Perburuan, memanfaatkan sebuah gua sebagai tempat persembunyian Hardo (diperankan Adipati Dolken). Gua Payaman seluas 6 x 6 meter itu berada di tengah hutan rakyat yang dipenuhi pohon jati, mahoni yang jangkung, serta semak belukar nan rindang. Saking rimbunnya, tetumbuhan di sana sampai menutupi gua. Sesuai dengan deskripsi di novel Perburuan, yang sudah diterjemahkan ke 12 bahasa. Bedanya, gua ini berada di Dusun Kepuhan, Argorejo, Sedayu, Bantul, sekitar 16 kilometer dari Kota Yogyakarta. Untuk menuju gua ini, orang mesti melewati jalan setapak yang disesaki perdu dan dedaunan kering. 

Produser sekaligus pendiri Falcon Pictures, Frederica, mengatakan timnya memilih lokasi syuting Bumi Manusia dan Perburuan di luar daerah aslinya atas sejumlah pertimbangan. Di Blora, Jawa Tengah, misalnya, logistik kurang mumpuni untuk pengambilan gambar Perburuan, yang memakan puluhan hari. “Kami sempat survei ke sana, tapi support produksinya susah,” katanya. Walhasil, tim Falcon blusukan ke kota lain, sampai akhirnya menemukan banyak titik di Yogyakarta yang bisa menjadi latar film Perburuan. “Kami menemukan ladang jagung yang seperti di novel, juga sekolah Ningsih (diperankan Ayushita Nugraha) dan Gua Payaman.”

Alih wahana Bumi Manusia dan Perburuan melalui proses panjang dan berliku. Ini yang membuat putri sulung Pramoedya Ananta Toer, Astuti Ananta Toer, tak kuasa menahan haru saat mahakarya ayahnya itu kelar juga difilmkan. Ia ingat, rencana membuat film Bumi Manusia sudah ada sejak 1981, setahun setelah novel tersebut terbit. Ketika itu, Bola Dunia yang melamar Pramoedya untuk menggarap film Bumi Manusia. Walau Pram sepakat, nyatanya Bola Dunia keder juga. Sebab, ketika itu ada pelarangan edar dari Kejaksaan Agung untuk karya Pram, yang dianggap menebarkan paham Marxisme-Leninisme. “Setelah itu, tak ada kabar dari Bola Dunia,” kata -Astuti saat ditemui awal Agustus lalu.

Menurut Astuti, Pram ketika itu masih bersabar. Bahkan Pram sempat mengultimatum Bola Dunia lewat surat. Dalam surat itu, Pram menegaskan bakal menarik lisensi novelnya bila Bola Dunia tak kunjung memulai produksi. Namun gonjang-ganjing situasi politik membuat Bola Dunia urung memfilmkan Bumi Manusia. Pinangan juga datang dari Oliver Stone, sutradara asal Amerika Serikat (Platoon, Wall Street, JFK), yang membawa uang mahar US$ 1,5 juta. Namun pengalaman Stone tak cukup menggedor pendirian Pram. Pria kelahiran Blora, Jawa Tengah, 6 Februari 1925, itu hanya mau sineas Indonesia yang mengerjakan film dari buku-bukunya.

Setelah menolak Stone, Pram menerima lamaran satu rumah produksi Tanah Air untuk Bumi Manusia serta novel larisnya yang lain, Gadis Pantai dan Perburuan. Namun lagi-lagi iktikad itu terempas waktu. Maju-mundurnya para produser itu disebut Astuti sempat mengerem niat keluarganya menyerahkan lisensi novel-novel Pram. “Walau sudah gonta-ganti (rumah produksi), sayangnya belum ada hasilnya,” ujar Astuti. Sampai akhirnya, pada 2004, Elang Perkasa milik pengusaha Hatoek Soebroto (almarhum) datang menunjukkan keseriusan kepada keluarga Pram. Didampingi Astuti, Pram ketika itu meneken kontrak senilai miliaran rupiah.

Hanung Bramantyo. TEMPO/Ratih Purnama

Di tangan Elang Perkasa, Bumi Manusia semula digarap “trio Ada Apa dengan Cinta?”, yakni Mira Lesmana (produser), Riri Riza (sutradara), dan Jujur Prananto (penulis skenario). Mira ketika itu menganggarkan Rp 20 miliar untuk mendanai film. Namun, nyatanya, jumlah itu tak cukup sebagai ongkos produksi. Sastrawan Agus Noor menyebutkan film Bumi Manusia paling tidak menelan duit Rp 40 miliar. Mundurnya Mira dan kawan-kawan menjadi pintu masuk bagi sineas lain. Hatoek kali ini menunjuk Deddy Mizwar sebagai produser. Adapun yang menjadi sutradara adalah Garin Nugroho dengan Armantono sebagai penulis naskah.

Menurut Armantono, ketika itu Garin memberinya novel Bumi Manusia serta skenario lama bikinan Jujur untuk dipelajari. Berbekal itu, ditambah hasil riset J.B. Kristanto, Armantono mulai menggarap naskah filmnya. Draf naskah itu bahkan sudah delapan-sembilan kali melalui penggodokan dan revisi. “Memang enggak mungkin membikin naskah itu persis dengan novelnya,” tutur Armantono. Namun baik Deddy maupun Hatoek tak memprotes soal itu. “Saya bebas saja menulis naskahnya, tidak ada arahan khusus.”

Tapi tulah seolah-olah masih bercokol. Tim ini juga gagal merampungkan film Bumi Manusia. Menurut Armantono, penggarapan film tersebut memang sempat mandek lama, tapi kemudian kembali berlanjut. “Sempat tak ada kabar, sampai kemudian saya dipanggil lagi untuk melanjutkan proses produksi. Namun tak lama kemudian Pak Hatoek sakit dan berobat di Singapura. Nasib Bumi Manusia kembali menggantung,” katanya. 

Astuti mengklaim keluarga sejatinya tak merecoki proses produksi film adaptasi novel-novel Pram. Sebab, ia meyakini nama besar Pram sudah membikin para sineas tak semena-mena memperlakukan naskah Bumi Manusia dan novel lain. Bilapun ada pesan khusus, itu hanya permintaan tetap setia pada jiwa dan materi novel. “Jangan sampai intisari novel-novel Pram, yang menyuarakan kemanusiaan, keadilan, dan kebenaran, lenyap di filmnya.” Begitu pun untuk skenarionya. Astuti menganggap gaya bertutur Pram dalam novel sebenarnya sudah memudahkan sineas untuk mengolahnya.

Astuti Ananta Toer, putri Pramoedya Ananta Toer. TEMPO/Nurdiansah

Itu pula yang dipegang teguh keluarga Pram ketika pada 2014 tim Falcon Pictures bertandang ke rumah Astuti. Kala itu, dua bos Falcon, H.B. Naveen dan Frederica, datang dengan sutradara Richard Oh untuk membeli lisensi novel Gadis Pantai. Namun, alih-alih menerima tawaran itu, Astuti malah menyodorkan novel Perburuan untuk dipelajari. Astuti menjelaskan, karya itu dia pilih karena merupakan tonggak awal proses kreatif Pram saat menulis di penjara. Pram mendekam di bui karena menyebarkan pamflet gerakan bawah tanah saat Agresi Militer Belanda I pada 1947. Novel itu dulu dikirimkan H.B. Jassin ke Balai Pustaka dan memenangi sayembara pada 1949.

Frederica mengaku tak kecewa walau Falcon belum berkesempatan menggarap Gadis Pantai. Sepekan setelah ditawari Perburuan, Falcon kembali sowan ke rumah Astuti untuk membeli lisensinya. Yang tak disangka-sangka, Astuti dalam pertemuan berikutnya menawari Falcon menggarap Bumi Manusia. “Rasanya seperti kejatuhan berlian. Kalau mengingat lagi proses mendapatkannya, saya masih merinding. Terbayang banyak pembuat film memperebutkan judul ini, tapi keluarga Pak Pram justru menawari kami menggarapnya,” tutur Frederica, yang biasa disapa Erica.

Falcon, tentu saja, langsung menerima tawaran emas itu. Namun mereka tak bisa langsung tenang lantaran masih menunggu pemegang lisensi lama memastikan tak memperpanjang kontrak Bumi Manusia. “Kami menunggu, dan di saat yang sama Bu Astuti sebulan pikir-pikir. Rasanya sangat deg-degan. Tapi, setelah deal biaya dan lisensi, semua proses berjalan lancar,” ucap Erica. Ketika itu, pesan Astuti hanya satu. “Kata Ibu, ini enggak boleh ditawar (lisensinya).”

Menurut Astuti, keluarganya mantap menyerahkan lisensi Bumi Manusia kepada Falcon karena seia-sekata dengan cara pandang H.B. Naveen dan Erica. Astuti mengungkapkan, selama ini kebanyakan produser yang datang kepadanya berbicara soal hitung-hitungan duit untuk menggarap Bumi Manusia. Ini berbeda dengan Naveen, yang dalam sejumlah pertemuan membahas hal personal, seperti keluarga dan agama. “Setiap kali ada yang membahas urusan untung-rugi, saya rasanya ingin menarik diri karena takut yang lebih ditonjolkan dalam film nantinya unsur percintaannya. Sedangkan Pak Naveen tidak pernah bicara soal itu,” ujar Astuti. 

Produser sekaligus pendiri Falcon Pictures, Frederica. TEMPO/Nurdiansah

Erica sadar tanggung jawab dan beban besar bercokol di Falcon setelah memegang Bumi Manusia dan Perburuan sekaligus. Karena itu, Falcon tak mau gegabah dalam memutuskan sekecil apa pun detail kedua film. Sementara untuk kostum Falcon mempercayakan riset kepada desainer Retno Ratih Damayanti, bagian artistiknya digarap Allan Triyana Sebastian, yang karyanya banyak memenangi penghargaan. Adapun posisi sutradara diisi Anggy Umbara (Comic 8, Warkop DKI Reborn) sebelum pada akhirnya sampur berpindah ke Hanung Bramantyo.

 Begitu pula soal naskah dan deretan aktornya. Skenario digarap Salman Aristo selama dua tahun, dengan penajaman dari sana-sini. Kalau ada yang dianggap melenceng oleh script doctor dan ahli sejarah, naskah itu akan diperbaiki lagi. Di antaranya adegan dalam novel yang tidak dijelaskan Pram secara spesifik. Misalnya ketika Nyai Ontosoroh disidang di Pengadilan Putih atas tuduhan bersekongkol meracuni suaminya di rumah bordil Babah Ah Tjong. Di novel tak tertulis apakah Ontosoroh berjongkok atau duduk di ruang sidang. Salman lantas mendapati bahwa Ontosoroh mesti jongkok. Sebab, dia adalah nyai, yang derajatnya paling rendah di masyarakat pada masanya.

 Adapun untuk lini pemain, Falcon tidak melakukan seleksi terbuka. Erica menyebutkan sejak awal pihaknya hanya menimbang aktor kelas atas untuk peran di Bumi Manusia dan Perburuan. “Tapi semua calon pemain harus screen test dulu, karena kami sangat hati-hati dan enggak boleh salah pilih,” tuturnya. Untuk pemeran Nyai Ontosoroh, nama besar seperti Christine Hakim dan Happy Salma sempat muncul. Tapi pada akhirnya pilihan Falcon jatuh pada Sha Ine Febriyanti. Adapun untuk tokoh Minke, Falcon semula menimbang Reza Rahadian dan Adipati Dolken. Namun, karena usia keduanya terpaut jauh dari sosok Minke di novel, yang masih 19 tahun, Iqbaal Ramadhan-lah yang akhirnya terpilih. Tak tertutup kemungkinan, kata Erica, aktor lain akan memerankan Minke untuk judul novel lain Tetralogi Buru karya Pram.

 Menurut Erica, hampir semua yang terlibat syuting Bumi Manusia merasakan energi sekaligus memikul tekanan dalam memfilmkan novel tersebut. “Ini film kami yang prosesnya paling panjang, dan sampai detik terakhir pun kami masih terus berjuang. Yang saya tangkap, semua orang dalam tim seperti takut salah,” ucapnya. “Tapi, bagaimanapun, kami tak bisa memuaskan semua orang.”

Mengusung karya sastrawan sekaliber Pramoedya Ananta Toer juga menjadi beban bagi Richard Oh, yang mengarahkan film Perburuan. Ia menuturkan, unsur patriotisme dan kemanusiaan yang mengakar di buku itu sedapat mungkin diadaptasi di filmnya. “Materi buku itu sendiri menantang. Walau semula menginginkan Gadis Pantai, pada akhirnya saya menyadari Perburuan lebih sesuai dengan gaya penyutradaraan saya,” ujarnya.

Sutradara Richard Oh saat peluncuran poster film Perburuan di Jakarta, Juni 2019. TEMPO/Nurdiansah

 Richard menjelaskan, kesulitan terbesarnya dalam meracik film ini adalah soal latar tempat dan pencahayaan. Terlebih sekitar 80 persen adegan Perburuan berlangsung di luar ruangan dan saat petang. Di beberapa adegan, mengemukakan emosi dalam dialog lewat visual terasa sulit. Begitu pun taktik menyuguhkan gambar yang retro dengan alat rekam modern.

 Perkara bahasa menjadi tantangan lain. Dalam novel Perburuan, Pramoedya menulis dialog dengan bahasa Indonesia baku 1940-an yang kadang terdengar janggal. Apalagi sosok Hardo kaku dan tak terlalu ekspresif. Walhasil, para pemain mesti seluwes mungkin melafalkan percakapan agar terdengar pantas di kuping. “Soal bahasa ini jadi kesulitan buat banyak pemain,” kata Adipati Dolken, pemeran Hardo.

 Proses reading naskah sendiri memakan waktu hingga sepuluh pekan. Salah satu sebabnya beberapa dialog dalam satu adegan sangat panjang. Misalnya saat Hardo bertemu dengan Lurah Kaliwangan. Juga ketika Hardo menemui bapaknya, yang mantan wedana, di sebuah gubuk. Adipati menyebutkan ada satu adegan yang menuntutnya hafal 13 lembar naskah. “Saya baca naskahnya ratusan kali, sambil makan, sebelum tidur, kadang sampai bengong sendiri,” ujar Adipati, lalu tergelak.

Hal serupa dirasakan Hanung Bramantyo, yang menjadi “Pramis” alias penggemar karya Pram sejak duduk di sekolah menengah atas. Hanung mengaku sempat ditawari Hatoek Soebroto dan Deddy Mizwar menggarap Bumi Manusia setelah sukses menyutradarai film Ayat-Ayat Cinta (2008). Ketika itu pun dia mengajak Salman Aristo terlibat, tapi ditolak karena penulis naskah Sang Penari (2011) tersebut tak berani mengadaptasi novel Pram. Namun, karena satu hal, Hanung batal menggarap Bumi Manusia. Sisi positifnya, momen itu mendekatkan Hanung kembali pada novel Pram. Ia kembali membaca Bumi Manusia, dan mendapat sensasi berbeda. Setelah membacanya beberapa kali, Hanung merasa lebih rileks dan tak berjarak dengan novel itu.

Adegan film Perburuan di Gua Payaman, Argorejo, Bantul, Yogyakarta. Dok. Falcon

Hanung mengungkapkan, dulu ia merasa Bumi Manusia adalah novel sejarah. Tapi akhirnya Hanung sadar novel tersebut fiksi, antara lain dari jarak kediaman Ontosoroh dengan rumah bordil Babah Ah Tjong yang tak sampai 1 kilometer. “Ini metafora, bahwa ada tempat prostitusi legal, tapi ada juga seorang gundik yang hidup dengan lelaki Belanda tanpa perkawinan sah,” katanya. Itulah yang kemudian membuat Hanung memilih berfokus pada karakter-karakter dalam film Bumi Manusia. “Saya tularkan pikiran ini ke para pemain. Jangan lihat sosok Pram-nya, tapi karakternya saja. Lupakan bahwa ini novel legendaris.”

Untuk pengembangan naskahnya, Salman Aristo tak sendiri. Total ada delapan orang ditambah Hanung yang memasak skenario Bumi Manusia. Falcon pun memfasilitasi sejumlah diskusi dengan para ahli sejarah agar naskah garapan Salman lebih komprehensif. Total naskah dipersiapkan selama dua setengah tahun. Salman menyebut kedalaman dan luasnya cakupan cerita Bumi Manusia sebagai musabab timnya lama merumuskan skenario.

Karena itu, Salman memfokuskan satu cerita dari beragam ranting kisah dalam novel. Yang ia pilih adalah kisah cinta Minke dengan Annelies. “Kisah mereka adalah tulang punggung Bumi Manusia. Bayangkan kalau keduanya tidak jatuh cinta. Nah, dari situlah baru muncul soal penindasan, perlawanan pada penjajah, juga kisah Nyai Ontosoroh,” ucap Salman.

Lokasi syuting film perburuan di gua payaman. Dok. Falcon

Sha Ine Febriyanti mengatakan, dalam mendalami skenario Salman, dia tidak hanya membaca ulang Bumi Manusia. Dia juga berupaya menyelami batin Ontosoroh, yang kontradiktif dengan kesehariannya. Menurut Ine, karakter Ontosoroh yang berlapis-lapis—menyimpan dendam tapi juga bijaksana—berkebalikan dengan hidupnya yang “lurus”. Hal itu diakali Ine dengan hidup soliter di lokasi syuting dan “menjadi nyai” di tengah kru. “Saya harus memompa emosi dengan tidak berbicara dengan orang lain di lokasi syuting,” tuturnya. Iktikad itu semula berat karena syuting film berlangsung putus-sambung, berbeda dengan teater yang selama ini menjadi dunianya.

Setelah Bumi Manusia dan Perburuan nongol di bioskop, keluarga Pramoedya belum memastikan rencananya menjual lisensi novel lain. Begitu pula Falcon, yang masih menunggu respons masyarakat terhadap dua film itu untuk melamar novel Pram lain. “Tapi kali ini kami enggak menghitung untung-rugi karena sudah mendapat rezeki dari film-film kami sebelumnya,” kata Erica.

ISMA SAVITRI, AISHA SHAIDRA (Surabaya), SHINTA MAHARANI (YOGYAKARTA)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Isma Savitri

Isma Savitri

Setelah bergabung di Tempo pada 2010, lulusan Ilmu Komunikasi Universitas Diponegoro ini meliput isu hukum selama empat tahun. Berikutnya, ia banyak menulis isu pemberdayaan sosial dan gender di majalah Tempo English, dan kini sebagai Redaktur Seni di majalah Tempo, yang banyak mengulas film dan kesenian. Pemenang Lomba Kritik Film Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan 2019 dan Lomba Penulisan BPJS Kesehatan 2013.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus