Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Jalan Bui Reformis Saudi

Salman al-Awdah kerap berselisih dengan Kerajaan Arab Saudi karena sikap kritisnya. Ulama tenar dengan 13,4 juta pengikut di Twitter.

14 Agustus 2019 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Salman al-Awdah, ulama Arab Saudi, ketika memberikan ceramah di Kuala Lumpur, Malaysia, September 2016. Youtube/Sakeena TV

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ABDULLAH Alaoudh menyaksikan bagaimana waktu telah mengikis hubungan antara ayahnya, Salman al-Awdah, dan penguasa Kerajaan Arab Saudi. Tujuh tahun lalu, Awdah, ulama karismatis dengan banyak pengikut di negara itu, pernah menerima kunjungan Muhammad bin Salman di kediamannya di Riyadh.

Saat itu Salman baru 27 tahun dan belum menjadi putra mahkota. Adapun ayahnya, Salman bin Abdulaziz al-Saud, masih menjabat Gubernur Riyadh dan baru naik takhta tiga tahun kemudian. “Kami tidak menganggap kunjungan itu masalah besar,” kata Alaoudh mengenang pertemuan tersebut, Kamis, 25 Juli lalu.

Pria 35 tahun itu kini pakar hukum di Georgetown University, Washington, DC, Amerika Serikat. Ia mengatakan ayah-nya saat itu menerima Salman sebagai politikus pendatang baru dengan ambisi yang belum diketahui. Dalam kelas politik negara itu, Salman hanyalah salah satu anggota keluarga Kerajaan Arab Saudi yang jumlahnya ribuan orang. “Dia pangeran biasa,” ucapnya.

Menurut Alaoudh, pangeran yang belakangan dikenal dengan inisial MBS itu tampak antusias terhadap gagasan Awdah tentang perubahan Saudi. Dalam pertemuan tersebut dan setidaknya da-lam dua pertemuan lain—salah satunya dalam sidang kerajaan bersama calon raja Salman—Awdah, yang saat itu 55 tahun, memuji kebaikan reformasi dan pemerintahan yang inklusif bagi Saudi.

Lima tahun kemudian, Raja Salman mengangkat MBS sebagai putra mahkota. Sejak itu, situasi berbalik. Tiga bulan ke-mudian, Awdah ditangkap sebagai ba-gian dari tindakan keras pemerintah ter-hadap para pengkritik kerajaan. Se--lepas satu tahun menjalani penahanan pra-per-sidangan, Awdah dijerat dengan 37 dakwaan, termasuk menebar hasutan terhadap penguasa dan terlibat terorisme.

Dalam sebuah sidang tertutup pada Mei lalu, Jaksa Agung menuntut Awdah dengan hukuman mati. Namun Pengadilan Kriminal Khusus di Riyadh, yang se-ha-rusnya menjatuhkan vonis kepada Awdah pada Ahad, 28 Juli lalu, menunda sidang lan-jutan hingga Desember mendatang. “Ayah saya diancam dengan hukuman mati karena aktivismenya,” ujar Alaoudh seperti diberitakan Reuters.

Awdah satu dari puluhan ulama, aktivis, dan akademikus yang ditangkap sejak MBS menjadi putra mahkota. Seorang anggota keluarganya mengatakan kepada Human Rights Watch bahwa cendekiawan terkemuka itu ditahan karena menolak me-matuhi perintah pemerintah Saudi mem-buat cuitan di Twitter yang men-dukung blokade terhadap Qatar. Arab Saudi, Uni Emirat Arab, Bahrain, dan Mesir kompak memutus semua hubungan diplomatik dan ekonomi dengan Qatar sejak 5 Juni 2017 karena negeri itu tak mengikuti arahan kebijakan regional mereka.

Alih-alih mengecam Qatar, Awdah, yang memiliki 13,4 juta pengikut di Twitter, malah mencuit tentang kemungkinan re-konsiliasi Arab Saudi dengan negara te-tangga itu. Menurut Amnesty Inter-na-tional, ulama 62 tahun ini ditahan beberapa jam setelah menulis cuitan itu dan cuitan yang dianggap menghina kerajaan tersebut langsung dihapus.

Penahanan Awdah dua tahun lalu bukan yang pertama. Pada awal kariernya, dia berafiliasi dengan Al-Sahwa al-Islamiyyah, gerakan pembaruan Islam di Saudi yang diilhami Al-Ikhwan al-Muslimun di Mesir. Al-Sahwa menginspirasi perubahan sosio-politik yang kuat di kerajaan itu pada 1960-an dan 1980-an.

Gerakan ini tidak hanya percaya pada perpaduan agama dan politik, tapi juga integrasi nilai-nilai Islam dalam kehidupan sehari-hari serta pendidikan dan dukungan terhadap hak-hak perempuan. Para pe-mim-pinnya mulai mengambil peran da-lam sistem politik negara Saudi dan feno-mena itu mengancam banyak anggota ke-luarga kerajaan. “Secara tradisional, ula-ma Saudi menyerahkan urusan politik kepada (keluarga kerajaan) Al-Saud. Tapi para pemimpin Al-Sahwa mendorong pen-dekatan baru, seperti politik dan pe-mu-ngutan suara,” tutur Saad al-Faqih, peng-kritik Kerajaan Saudi yang berbasis di Inggris.

Awdah salah satu ulama Al-Sahwa yang terkemuka pada 1990-an. Dia dibui selama 1994-1999 setelah menyerukan reformasi di tanah airnya. Dia bersama tokoh berpengaruh Al-Sahwa lain, Safar al-Hawali, bahkan berunjuk rasa untuk mengusir tentara Amerika Serikat dari Saudi selama invasi Irak ke Kuwait. “De-kade 1990-an menjadi saksi bisu ini-siasi langkah politik matang pertama oleh Al-Sahwa dengan mempublikasikan 12 tun-tutan dalam sebuah surat kepada negara,” kata Faqih.

Tuntutan tersebut, termasuk pembagian kekuasaan, reformasi sistem peradilan, dan pemberantasan korupsi, dirinci dalam memorandum setebal 44 halaman setahun kemudian. Alih-alih memberikan respons hangat, pemerintah justru memberangus gerakan itu serta memenjarakan ratusan aktivis dan pemimpinnya, termasuk Aw-dah dan Hawali.

Setelah dibebaskan, Awdah melunakkan pendiriannya dan menikmati popularitas yang meluas karena pendapatnya yang cukup liberal tentang isu-isu sosial. Hu-bung-annya dengan penguasa perlahan pulih saat negara bergantung pada orang-orang seperti Awdah untuk melawan “eks-tremisme”, terutama setelah tragedi se-rangan teror 11 September 2001 di Ame-rika.

“Ketika ayah saya dibebaskan, jumlah pen-dukung dan pengikutnya terus tum-buh di Arab Saudi dan negara-negara sekitarnya,” ucap Alaoudh. Selama fase itu, Alaoudh menambahkan, ayahnya banyak membantu pemerintah Saudi dalam menyebarkan ajaran dan nilai-nilai Islam moderat.

Tapi hubungan itu kembali memburuk setelah meletus gelombang protes pro-de-mokrasi Musim Semi Arab pada 2011. Pu-luhan tokoh Al-Sahwa, termasuk Awdah, mendukung revolusi dengan me--nyerukan pemilihan umum dan pe-misahan kekuasaan, tuntutan yang di-ang-gap sebagai provokasi berbahaya bagi kerajaan. “Ayah saya bukan seseorang yang bisa dikendalikan,” ujar Alaoudh.

Awdah memang tak langsung ditahan atas aksinya saat itu. Tapi, di tangan Pa-ngeran Salman, rekam jejaknya itu di-ja-dikan bahan untuk mendakwanya. Dalam salinan berkas tuntutan yang diperoleh CNN, Awdah antara lain dijerat karena dukungannya terhadap Musim Semi Arab. Para jaksa menuduh Awdah memiliki hubungan dengan Al-Ikhwan al-Muslimun, yang dicap sebagai organisasi teror oleh Saudi pada 2014.

Dalam salah satu ceramahnya, Awdah pernah membantah tudingan bahwa dia ang-gota Al-Ikhwan al-Muslimun. Tapi Awdah juga menyatakan tidak percaya ke-lompok itu adalah organisasi teror. “Dia selalu sangat kritis terhadap rezim yang memanfaatkan Islam, tapi mereka tidak menjalankan apa yang mereka khotbahkan,” kata Carool Kersten, peneliti kajian Islam dan dunia muslim di King’s College London, Inggris.

Selama mendekam di penjara, Awdah menghabiskan hampir dua tahun dalam sel isolasi. Bahkan, dalam beberapa bu-lan pertama penahanannya, “Kakinya dibelenggu dan dia diborgol. Para penjaga penjara biasa melemparkan makanannya ke arahnya,” ujar Alaoudh, yang paspornya dicabut karena sering berbicara di berbagai stasiun televisi dan surat kabar tentang kondisi ayahnya yang mengenaskan.

Awdah dikurung tanpa komunikasi se-lama enam bulan pertama. Saat ke-luar-ga-nya akhirnya diizinkan mengunjunginya, dia memberi tahu mereka bahwa ia sering kurang makan dan tidur. Tekanan darah dan kadar kolesterolnya kerap melonjak hingga ia sempat dirawat di rumah sakit selama beberapa hari. “Rasanya seperti kematian yang perlahan,” tutur Alaoudh, menirukan ucapan sang ayah.

MAHARDIKA SATRIA HADI (MIDDLE EAST EYE, AL JAZEERA, TRUTHOUT)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Mahardika Satria Hadi

Mahardika Satria Hadi

Menjadi wartawan Tempo sejak 2010. Kini redaktur untuk rubrik wawancara dan pokok tokoh di majalah Tempo. Sebelumnya, redaktur di Desk Internasional dan pernah meliput pertempuran antara tentara Filipina dan militan pro-ISIS di Marawi, Mindanao. Lulusan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus