Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Kisah Dua Ibu

Bumi Manusia menjadi penanda bahwa Indonesia masih bertahan sebagai negara dengan kebebasan berekspresi karena film ini tampil tanpa gangguan. Bagaimana dengan penggarapannya?

14 Agustus 2019 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Sha Ine Febriyanti dalam salah satu adegan film Bumi Manusia. Dok. Falcon

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ADA dua sosok ibu yang penting dalam Bumi Manusia, novel karya Pramoedya Ananta Toer yang masyhur. Pertama, ibunda Minke, perempuan Jawa yang anggun, bijak, dan penuh tutur kata lembut yang memayungi hati Minke saat anak lelakinya itu resah. Perempuan kedua adalah Sanikem atau lebih dikenal sebagai Nyai Ontosoroh, yang pada usia belia dijual ayahnya sendiri sebagai gundik untuk dikawinkan dengan Herman Mellema, seorang lelaki Belanda.

Dalam Bumi Manusia versi film karya Hanung Bramantyo yang beredar dan dirayakan dengan meriah pekan lalu, dua ibu itu diperankan Ayu Laksmi—sebagai ibunda Minke—dan Sha Ine Febriyanti, yang meniupkan roh ke dalam sosok Nyai Ontosoroh yang perkasa.

Para ibu ini saya pilih menjadi pusat pembicaraan karena dua hal. Pertama, merekalah yang membentuk karakter protagonis Minke (Iqbaal Ramadhan) dari seorang lelaki remaja yang gelisah hingga akhirnya menjadi penulis yang bersinar-sinar. Kedua, apa boleh buat, penampilan kedua perempuan inilah yang paling meyakinkan dalam film itu.

Bumi Manusia, sebagai bagian pertama dari Tetralogi Buru karya Pramoedya Ananta Toer, adalah sebuah karya sastra Indonesia yang tidak hanya dianggap sebagai berlian di Indonesia yang dikubur puluhan tahun oleh pemerintah Orde Baru, tapi juga dijadikan bahan analisis para pengamat asing. Begitu pada 1998 Soeharto mengundurkan diri sebagai presiden, berbagai momen demokratisasi terjadi, termasuk kebebasan berbicara, berpolitik, serta menerbitkan dan mengedarkan buku-buku yang dulu dilarang Kejaksaan Agung. 

Mereka yang membaca Bumi Manusia tahu bahwa karakter Minke terinspirasi dari bapak pendiri jurnalisme Indonesia, Tirto Adhi Soerjo, yang dikagumi Pramoedya-—kekaguman itu juga ia tunjukkan melalui buku Sang Pemula. Minke- kemudian tampil sebagai seorang pemuda pribumi brilian yang mampu mengalahkan kemampuan akademis para murid Hogere- Burger-school, yang isinya didominasi orang Belanda dan Indo.

Dalam novel ini, Pramoedya sangat mempersoalkan perbedaan ras dan kelas, yang menjadi senjata utama pemerintah kolonial dalam mengatur kehidupan Hindia Belanda pada akhir abad ke-19. Diskriminasi ras dan kelas ini pula yang menjadi dasar persoalan hubungan Minke dengan Annelies Mellema serta tokoh-tokoh lain yang muncul dalam novel. Posisi minoritas protagonis Bumi Manusia yang menggerakkan cerita ini: bagaimana Minke menanggapi rasa cinta kepada seorang gadis Indo, Annelies, putri Nyai Ontosoroh dan Herman Mellema.

Begitu banyak plot dan subplot, begitu banyak tokoh (lebih dari 22 orang). Maka, ketika nama Iqbaal Ramadhan diumumkan, Internet meledak. Para pembaca fanatik dan analis karya Pramoedya tak habis-habisnya mempersoalkan film ini yang dianggap sudah jelas akan menjadi film komersial. Apalagi Hanung sudah menekankan sejak awal dalam berbagai wawancara bahwa “Bumi Manusia” adalah “kisah cinta Minke dan Annelies”.

Keriuhan sekaligus keingintahuan pembaca novel Bumi Manusia itu terjawab seusai gala premiere, yang diselenggarakan di Surabaya dan Jakarta. Pendekatan yang digunakan Hanung bukan sekadar “populer”. Bahkan segala yang rumit dalam novel dan karakter film ini pun sengaja tidak dijadikan wacana dan tidak digarap secara mendalam. Film ini jatuh menjadi sebuah film cinta remaja dengan persoalan kolonialisme sebagai latar belakang.

Dari sisi cerita, Hanung dan penulis skenario Salman Aristo mencoba memasukkan semua plot dan subplot yang dianggap penting karena, “Novel ini sudah berkisah drama tiga babak, sangat asyik mengadaptasikannya,” kata Hanung. Yang mereka terpaksa coret dari skenario adalah latar belakang kisah Robert Surhoff, kawan Minke yang memperkenalkannya kepada Nyai Ontosoroh dan Annelies, juga sejarah Jean Marais.

Tapi bukan pemotongan-pemotongan subplot itu yang membuat film ini menjadi karya yang, dalam beberapa hal, mengecewakan, tapi lebih pada soal penafsirannya. Pertama, dengan setting Boerderij Buitenzorg yang pada layar terlihat mulus dan mengkilap dengan cat baru kering bak hunian modern masa kini, rasanya buyar sudah bayang-bayang area rumah akhir abad ke-19 seperti yang termaktub dalam teks Pramoedya. Tentu menyaksikan film berarti harus menghargai medium baru yang menafsirkan teks menjadi gambar itu. Tapi, dari bangunan hingga tata artistik yang serba berkilau, bahkan sampai kebaya dan kain Nyai Ontosoroh yang—meski cantik—terasa “masa kini”, jelas efek yang diinginkan para sineas dan produser adalah sebuah cerita masa lalu yang disulap menjadi masa kini. 

Kedua, sosok Minke. Tentu kita harus jauh dari curiga. Meski Iqbaal Ramadhan telanjur lekat dengan sosok Dilan, kecurigaan terhadap kemampuannya menampilkan karakter penting itu harus disingkirkan. Tapi apa boleh buat. Minke versi Iqbaal adalah “Minke van Dilan”. Dia sudah mencoba berbahasa Belanda (yang dilakukannya dengan baik). Dia tetap terlihat cerdas (sebagaimana cerdasnya anak muda milenial). Dia juga berbahasa Jawa. Tapi gerak-gerik, bahasa tubuh, dan ekspresi Iqbaal dalam film ini tetap tidak berhasil meyakinkan sebagai seorang pemuda HBS yang menonjol. Simpati dan rasa kasih kita kepada Minke pada teks tak bisa berpindah ke Minke di layar lebar.

Ayu Laksmi dalam salah satu adegan film Bumi Manusia. Dok. Falcon

Ketiga adalah hal yang paling prinsipiil bagi saya. Annelies memiliki masa lalu yang kelam, yang menyebabkan dia menjadi gadis yang lemah, sakit-sakitan, manja, mudah menangis. Tapi, dalam kelemahan karakternya, Pramoedya menciptakan “pemberontakan” gaya Annelies. Dia gadis Indo, tapi lebih suka menjadi gadis Jawa yang mencintai Minke, si pribumi yang memiliki nama “Monyet”. Apakah itu sekadar pemberontakan terhadap kekejian kakaknya, Robert Mellema, atau karena memang dia mencintai Minke, atau dua-duanya? Harus diingat, dalam karya-karyanya, Pramoedya selalu menghargai posisi para tokoh perempuan dan membela ketertindasan mereka.

Yang saya persoalkan di sini adalah ihwal peristiwa kelam yang dialami Annelies yang merupakan upaya Robert memperlihatkan kuasa relasi secara beruntun: dia merasa superior karena lelaki, dia kakak kandung, dan dia merasa “lebih Belanda”. Ini situasi psikologis brilian Pramoedya yang tak mudah divisualkan dan sama sekali tak ditampilkan sang sutradara. Yang kemudian kita saksikan adalah Robert Mellema dengan karakter satu dimensi: berwatak keji. 

Keempat, ada momen-momen yang membuat penonton menyangka sedang keluar-masuk film Kartini, yang kebetulan juga disutradarai Hanung. Saat Annelies mengajak Minke “memasuki” dunia masa lalunya yang tragis, penonton seperti kembali melihat tokoh Kartini yang tengah “menjenguk” mimpi-mimpinya bertemu dengan Stella Zeehandelaar di Belanda. Tentu tidak berdosa seorang sutradara menggunakan teknik yang sama dalam film-filmnya. Namun film Kartini dan Bumi Manusia sama-sama film periodik, sama-sama melibatkan suatu pemikiran besar: Kartini tentang kesetaraan gender dan Bumi Manusia tentang kebangsaan. Artinya, penonton akan merasakan déjà vu yang tak menarik jika pengulangan adegan dilakukan pada kedua film tersebut. Repetisi jika dilakukan karena sebuah tujuan plot, misalnya untuk memperlihatkan kekuatan atau kelemahan tokoh, akan efektif. Tapi repetisi yang dilakukan dalam film ini lebih menunjukkan pengulangan belaka, nyaris pada keengganan mencari sesuatu yang baru.

Maka tibalah saatnya saya menyampaikan mengapa judul tulisan ini “Kisah Dua Ibu”. Ibunda Minke, meski hanya tampil sekejap, telah hadir dengan suara yang bijak dan lembut, menetap di benak dan hati. Ayu Laksmi adalah pilihan yang tepat dan pas, tak salah lagi. Adapun Nyai Ontosoroh yang diperankan Sha Ine Febriyanti adalah sosok dahsyat yang ditampilkan dengan dahsyat pula. Kekuatan, kelemahan, kerasnya hati, lembutnya cinta, semua karakter Nyai Ontosoroh terpancar dalam ucapan, gerak, dan sinar mata Ine yang tajam. Bahkan, dengan kebayanya yang tampak masih baru dan berkelap-kelip, yang sebetulnya mengganggu, Ine tetap bisa menguasai dan menampilkan Nyai Ontosoroh yang luar biasa. Ketika Nyai Ontosoroh akhirnya berucap, “Kita telah melawan, Nyo, sebaik-baiknya, sehormat-hormatnya,” saya kira Ine telah menyelamatkan segalanya dengan “sehormat-hormatnya”.

Tapi, sekali lagi, dengan segala kekecewaan saya (dan mungkin penonton lain), yang berharap banyak pada kebesaran novel Pramoedya, momen beredarnya film Bumi Manusia dan Perburuan tahun ini tetap menandakan bahwa Indonesia masih ingin mencoba menjadi negara yang mengutamakan kebebasan berekspresi. Film-film ini digarap dan beredar tanpa gangguan. Bagi saya, ini perlu kita rayakan.

LEILA S. CHUDORI

 


 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dok. Falcon

 

BUMI MANUSIA

Sutradara: Hanung Bramantyo

Skenario: Salman Aristo. Berdasarkan novel karya Pramoedya Ananta Toer

Pemain: Iqbaal Ramadhan, Sha Ine Febriyanti, Mawar Eva de Jongh, Ayu Laksmi, Whani Dharmawan, Jerome Kurnia, Donny Damara

Produksi: Falcon Pictures

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus