Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

arsip

Bundengan Yang Ajaib

PADA 2017, Palmer Keen mengantar seorang peneliti dan konservator alat musik tradisional dari Australia ke Wonosobo, Jawa Tengah. Di sana, Palmer merekam dan membuat video tentang alat musik unik bernama bundengan.

11 Mei 2019 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dia menyebut alat musik dari Wonosobo ini ajaib. Itu lantaran alat musik petik berbahan kelopak dan bilah bambu bersenar tersebut seolah-olah bisa memunculkan bunyi banyak gamelan sekaligus.

Memang benar. Suara mirip bunyi gamelan bisa keluar saat Tempo bertandang ke Desa Muduretno, Kabupaten Wonosobo, dan mendengar alat musik itu dimainkan. Bentuk alat musik itu mirip kumbang kelapa raksasa. Buhori, satu dari sedikit pelestari bundengan di desa berlatar Gunung Sumbing itu, memainkan dengan khidmat alat musik tersebut.

Buhori menyadari instrumen yang ia mainkan itu nyaris punah. Karena itu, ia berusaha menyalurkan keterampilannya bermain bundengan kepada anak muda Dusun Ngabean, Desa Maduretno, Kali Kajar. Kelas Buhori biasa berlangsung di rumah Munir, pelestari bundengan lain di kampung itu. Munir adalah adik Barnawi, tokoh pelestari bundengan yang sudah meninggal. Menurut Buhori, dulu banyak orang, termasuk dari luar negeri, datang ke desa itu untuk belajar kepada Barnawi. “Barnawi yang membuat bundengan mendunia,” kata -Buhori.

Buhori dan Munir-lah yang kini melanjutkan peran Barnawi melestarikan bundengan. Keduanya aktif dalam kelompok seni tradisi Kambang Laras, yang didirikan Barnawi. Kambang Laras laris diundang mengisi berbagai acara seni budaya pemerintah. Pada akhir April lalu, utusan dari Kementerian Pariwisata datang khusus ke Dusun Ngabean untuk melihat Buhori dan Munir memainkan bundengan. Mereka datang untuk tujuan proyek promosi seni dan pariwisata Indonesia.

Bundengan berbahan kelopak ruas bambu yang diberi senar. Bunyinya mirip celempung, alat musik petik khas Jawa Barat. Dulu warga Wonosobo menyebut alat musik ini kowangan. Dinamakan bundengan karena bundeng berarti berdengung, seperti halnya bunyi yang dihasilkan alat musik ini. Bundengan dulu biasa dimainkan orang sembari angon bebek di sawah. Gawai ini juga berfungsi sebagai caping yang melindungi gembala bebek dari panas dan hujan.

Bundengan muncul dalam seni pertunjukan sejak 1990-an. Salah satunya saat pentas seni tradisional lengger. Juga saat peringatan hari jadi atau ulang tahun Wonosobo dan Kemerdekaan Indonesia. “Sebulan bisa enam-tujuh kali pentas ke luar Wonosobo,” ujar Buhori.

Instrumen setinggi 120 sentimeter dan lebar 60 sentimeter ini dimainkan dengan cara dipetik senarnya. Tangan kanan memetik senar yang menghasilkan bunyi mirip perangkat gamelan, seperti kenong, bende, dan kempul. Sedangkan tangan kiri memetik senar, yang menghasilkan bunyi mirip kendang. Dulu senar bundengan berupa ijuk yang direntangkan di bilah-bilah bambu. Mulai tahun 2000-an, Barnawi berinovasi menggunakan senar raket agar awet.

Buhori mengenal bundengan sejak bocah. Dia kerap melihat Damiri, ayah Barnawi, memainkannya saat menggembala bebek di sawah. Dari Barnawi-lah Buhori belajar memainkan bundengan. Kini ia mewariskan ilmu itu kepada pemuda kampungnya. Total ada sepuluh orang yang bisa memainkannya berkat Buhori. Dia juga menularkan kemampuannya ke sekolah-sekolah. SMP Negeri 2 Selomerto, Wonosobo, punya kegiatan ekstrakurikuler bundengan.

Sepeninggal Barnawi, bundengan dibawa mendunia oleh Lukmanul Chakim. Lukman adalah lulusan Jurusan Etnomusikolog Institut Seni Indonesia Surakarta. Dia mementaskan bundengan Wonosobo di Sydney University dan Monash University di Melbourne, Australia, pada 2018. Ia terlibat dalam proyek seni kolaborasi seniman Indonesia dan Australia bertajuk Bundengan Making Connection dan The Sounds of Shadows. Perjalanan bundengan di Negeri Kanguru diawali Profesor Margaret Kartomi. Dia membawa bundengan dari Wonosobo ke Australia pada 1972. Bundengan itu sekarang berada di Music Archive of Monash University.

Lukman punya strategi khusus untuk memantik minat anak muda pada bundengan. Selain mengelola situs tentang bun-dengan, yang beralamat di Bundengan.com, dia mengelola Woohoo Art-Space, wadah bagi anak muda untuk mengembangkan seni secara kreatif dan inovatif. Di situ mereka membuat video tentang bundengan dan diunggah di YouTube. “Kami ingin generasi milenial lebih mudah menerima informasi soal bundengan,” kata Lukman.

SHINTA MAHARANI

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus