Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
BEBUNYIAN mirip lengkingan harpa mulut bersahutan di gubuk bambu Sugimo di Dusun Duren, Desa Beji, Gunungkidul, Daerah Istimewa Yogyakarta, pertengahan April lalu. Bunyinya cukup meneduhkan, apalagi ditambah suara cericit burung yang hinggap di pepohonan rumah Sugimo. Suara melengking tapi lembut itu berasal dari dua rinding yang dimainkan Sugimo, 68 tahun, dan Palmer Keen, etnomusikolog muda asal Amerika Serikat.
Rinding terbuat dari bambu yang dipotong tipis. Sekilas bentuknya mirip penggaris dari kayu. Di tengah alat musik itu ada rongga-rongga udara tempat bebunyian mengudara. Sedangkan di bagian pucuknya terdapat benang. Rinding dimainkan dengan menjepitnya di mulut, lalu benang di sebelah ujung ditarik. “Memainkan rinding seperti bermeditasi, benar-benar memakai perasaan,” kata Palmer.
Palmer memiliki proyek pribadi yang menarik. Sejak 2013, ia berkeliling Nusantara untuk mendata berbagai jenis alat musik tradisi—yang kebanyakan sederhana tapi dianggapnya mengeluarkan bebunyian langka. Bermacam bunyi dan sejarah instrumen itu direkam dan dicatat Palmer dalam situsnya, Aural-archipelago.com. Situs berbahasa Inggris itu bagaikan sebuah oasis kecil tentang alat-alat musik tradisional Indonesia yang nyaris punah dan tidak banyak dikenal publik. Sesekali ia meng-unggahnya ke akun Facebook dan Instagram pribadinya. Internet dan media sosial, menurut Palmer, berpengaruh besar untuk menyebarluaskan keberadaan alat-alat musik langka Indonesia itu. “Internet membantu orang makin tertarik belajar kesenian tradisional,” ujarnya.
Sugimo (kiri) dan Palmer Keen bermain alat musik Rinding. TEMPO/shinta maharani
Palmer, 30 tahun, adalah warga Manhattan Beach, pinggiran Kota Los Angeles, Amerika. Hampir 30 provinsi ia jelajahi untuk mengenal lebih dekat musik tradisional Indonesia. Untuk perjalanan ini, Palmer menggunakan duit pribadinya. Sebagian duit ia kumpulkan dari hasil mengajar bahasa Inggris. Duit pribadi, kata dia, lebih memberi keleluasaan dan kebebasan ketimbang terikat atau bekerja sama dengan pemerintah atau kalangan swasta. Dia juga mengumpulkan donasi melalui situsnya.
Rinding hanya salah satu yang diinventarisasi Palmer. Saat ditemui Tempo di Yogyakarta pada April lalu, dia memamerkan sekitar 20 alat musik. Instrumen itu ia keluarkan dari dalam tas dengan hati-hati bak barang berharga. “Alat-alat musik ini hampir punah,” ujarnya. Sebagian alat musik yang ia tunjukkan adalah harpa mulut berbahan bambu dari berbagai daerah di Indonesia. Salah satunya bangkong reang. Palmer kemudian memainkan alat musik dari tanah Sunda tersebut. Bunyinya nyaring, mirip kodok bangkong atau katak sawah.
Untuk rinding, Palmer menjelaskan, alat musik serupa ada di Wonogiri, Jawa Tengah. Sedangkan di Jawa Barat, orang menyebutnya karinding. Warga Gunungkidul menjuluki instrumen tersebut rinding karena alunannya membikin bulu kuduk merinding. 
Untuk rinding, Palmer menjelaskan, alat musik serupa ada di Wonogiri, Jawa Tengah. Sedangkan di Jawa Barat, orang menyebutnya karinding. Warga Gunungkidul menjuluki instrumen tersebut rinding karena alunannya membikin bulu kuduk merinding. Tak ada yang tahu sejak kapan rinding muncul dan dimainkan warga Gunungkidul. Yang pasti, Sugimo mengatakan, ia dan orang-orang di kampungnya biasa memainkan rinding saat musim panen tiba. Kebiasaan itu menjadi bagian dari kearifan lokal bersih sadran. Saat menjalani ritual tersebut, warga Beji memanggul padi hasil panen ke bukit Wonosadi, sekitar 5 kilometer dari rumah Sugimo. Mereka juga membawa arak-arakan berisi nasi, sambal, dan pisang diiringi lagu Mboyong Dewi Sri. Lagu berisi pujian itu mengandung harapan agar alam lestari dan warga berkecukupan -rezeki.
Dewi Sri dalam mitologi Jawa adalah batari padi. “Dia sangat menyukai bunyi rinding ketika padi diangkut dari sawah menuju rumah-rumah penduduk,” ucap Sugimo. Rinding melekat dalam ingatan Sugimo sejak kecil. Ayahnya adalah pembuat rinding. Saat berumur 7 tahun, Sugimo mulai mengenal rinding. Ia berlatih membuat sekaligus memainkannya. Sugimo rutin memainkan rinding kendati perubahan zaman memaksa dia dan warga Beji lain mengganti bahan alat musik tersebut. Rinding dulu memanfaatkan bahan dari enau atau pohon aren. Namun, karena jumlah aren menipis, warga mulai terpikir bahan lain, seperti -bambu petung, ampel, dan manis. “Tak mudah memainkannya. Harus telaten dan punya niat kuat,” katanya.
Warga bermain Kadedek, alat musik Suku Dayak. Aural Archipelago
Rasa cinta Palmer Keen terhadap musik tradisional Indonesia bermula dari gamelan. Sewaktu kuliah di Jurusan Sastra Modern University of California, Santa Cruz, Amerika Serikat, Palmer berkesempatan belajar gamelan sebagai kegiatan ekstrakurikuler. Lulus pada 2011 dari kampusnya, dia kemudian merantau ke Indonesia. Perjalanan menggali alat musik tradisional di Indonesia ia mulai dari Bali, Nusa Tenggara Barat, sampai Nusa Tenggara Timur. Palmer menjelajahi pelosok desa di provinsi-provinsi tersebut melalui jalan darat. Di Lombok, NTB, ia bertemu dengan alat musik gendang beleq. Dia kemudian menyusuri Sumbawa, Flores, dan Pulau Rote, NTT. Di Pulau Rote, ia bertemu dengan alat musik sasando. Ia juga berkeliling Banyuwangi, Jawa Timur; Kalimantan Barat; dan Sumatera Selatan. Satu-dua pekan, Palmer biasa menghabiskan waktu di suatu tempat untuk mengeksplorasi musik tradisional.
Selain mempelajari alat musik tradisional langka, Palmer menggali sejarah alat musik itu serta prosesi dan ritual yang menggunakan alat musik. Di NTT, ia bertemu dengan nyanyian ratapan tanpa iringan alat musik. “Tak melulu alat musik yang nyaris punah, tapi juga lirik. Konteks dan keseluruhan musik tradisi,” ujarnya. Sebelum berkeliling dan berburu alat musik tradisional, Palmer mengawalinya dengan mencari segala informasi tentang alat musik tersebut di YouTube. Dari situs itulah ia menemukan deskripsi alat musik tersebut melalui video. Kolom komentar di YouTube juga berguna untuk mendapatkan informasi lebih, misalnya detail lokasi alat musik tersebut dimainkan. Palmer memperkenalkan diri dan mencari tahu orang yang bisa membantu dia menjalankan proyek Aural Archipelago. YouTube memudahkan Palmer menemukan para pegiat seni tradisi.
Aural Archipelago
Penjelajahan Palmer sampai juga ke Kalimantan, Sumatera, dan Sulawesi. Ia pergi ke Kalimantan karena penasaran terhadap kesenian karungut yang menggunakan alat musik kecapi. Alat musik mirip gambus atau sape Dayak ini digunakan untuk mengiringi lantunan puisi atau nyanyian. Di Kalimantan Barat, ia menemukan nyanyian tanpa iringan alat musik. Ia juga menemukan kadedek, instrumen musik dari Kabupaten Sintang, Kalimantan Barat. Alat berbahan bambu dan labu ini biasa dimainkan suku Dayak. “Ini nenek moyangnya harmonika dan akordeon,” kata Palmer. Dia mengenal kadedek dari buku Music in Java. Buku itu juga menyebutkan kadedek ada di relief Candi Borobudur, Magelang, Jawa Tengah.
Suatu ketika Palmer membaca buku tentang musik ghazal. Ia bepergian ke Sumatera Barat untuk mencari tahu lebih tentang musik tersebut. Musik ini dulu dimainkan keturunan India yang tinggal di Sumatera Barat. Alat musik harmonium mirip organ yang dimainkan secara akustik ini diperkirakan ada sejak 1950-an. Alat musik ini dimainkan bersama rebana untuk mengiringi nyanyian. Lagu-lagu yang dinyanyikan kental dengan lirik India. Palmer -mencari tokoh yang memainkan alat musik itu. Tokoh ini, menurut Palmer, satu-satunya yang tersisa di tempat itu. Tapi, sayang sekali, tokoh itu terkena stroke. Palmer tak mau memaksa orang sakit berbicara dengannya. “Tak semua keinginan terpenuhi sepanjang perjalanan,” ucapnya.
Di Palu, Sulawesi Tengah, Palmer terpesona oleh lalove, alat musik tiup tradisional suku Kaili. Masyarakat Palu punya kepercayaan alat musik berukuran 75 sentimeter itu menyimpan roh nenek moyang. “Kami percaya ketika lalove dimainkan bisa menyembuhkan orang yang sakit parah,” kata Saprin, pemain lalove. Saprin mengenal lalove dari ayahnya, Aksi Lamoali, pegiat alat musik berbentuk mirip seruling itu. Aksi pulalah yang mengajari Saprin meniupnya. Alat itu biasanya dimainkan untuk mengiringi syair lagu, misalnya Rete Rete Kandeanete, yang bercerita tentang panen padi. Juga lagu Matuvu Mosimpotove. Lagu tentang perdamaian itu kerap dimainkan dalam sejumlah -kegiatan di Palu. “Terutama untuk upaya -rekonsiliasi konflik di Poso,” -ujarnya.
Alat musik Lalove dari Sulawesi Tengah. Aural Archipelago
Demi melestarikan lalove, Saprin mendirikan Sanggar Pedati untuk anak-anak muda di sana. Sanggar seni ini tak berdiam diri. Para anggotanya masuk ke kampung-kampung untuk memainkan lalove dalam berbagai acara, seperti akikah (upacara potong kambing dalam Islam) dan pindahan rumah. Jika ada kesempatan, Saprin dan anak buahnya menyelipkan sejarah lalove.
Sesekali Saprin bertandang ke sekolah-sekolah di Palu. Kegiatan yang ia lakukan sejak 2016 itu berawal dari permintaan Wali Kota Palu Hidayat yang ingin lalove diajarkan ke 520 siswa sekolah menengah pertama di sana. Sesekali mereka mementaskannya di pinggir pantai. “Kami tak ingin lalove dilupakan,” katanya.
Jawa Barat juga memiliki sejumlah instrumen musik yang sama menariknya dengan lalove. Salah satunya tarawangsa, yang seperti rebab dan kecapi. Alat musik gesek khas Pasundan itu biasa dimainkan saat ngalaksa, acara tahunan di Sumedang. Dalam upacara adat Sunda tersebut, warga membawa padi ke lumbung sebagai bentuk syukur kepada Tuhan atas panen yang berlimpah. Ritual itu biasanya disertai suguhan tarawangsa semalam suntuk. Ritme tarawangsa yang indah dan magis kadang membuat pendengarnya seperti tersihir.
Endo menyebutkan alat musik seperti tarawangsa nyaris punah karena secara organik tidak ada yang mendukung ataupun memerlukannya. Nasibnya beda dengan alat musik tradisional Sunda lain, seperti karinding.
Palmer Keen tertarik pada tarawangsa. Suatu hari ia datang ke acara ngalaksa di Sumedang. Musiknya yang minimalis dan repetitif dimainkan semalam suntuk. Hampir semua orang yang ada di sana kesurupan atau mengalami trans. Saat ikut tarawangsa itulah Palmer merasakan suasana magis. Penduduk menyelampirkan selendang ke tubuh Palmer dan dia ikut menari. “Saking terlena menikmati musiknya, saya juga kesurupan,” ujarnya.
Tarawangsa sudah sering diteliti etnomusikolog kita. Etnomusikolog Endo Suanda menyebutkan nada dari tarawangsa tidak “manis”. Tapi seolah-olah menggiring kita untuk berimajinasi pada sesuatu yang purba atau kuno. Pun bila dimainkan di ngalaksa bersama jentreng, sejenis alat musik kecapi yang punya tujuh buah dawai. Itu yang membuat penari yang mengiringi tarawangsa kadang kesurupan karena larut dalam alunannya. “Tapi trance-nya sangat subtil,” kata Endo.
Meski begitu, para penari itu biasanya sembuh sendiri dari kesurupannya, lalu meminta maaf satu sama lain. Endo menduga itu karena mereka menari dan mencari koneksi dengan alam gaib melalui tarawangsa dan tarian dengan niat baik. Tarawangsa terbuat dari kayu. Dulu kebanyakan tarawangsa dibikin dari kayu kenanga, jengkol, atau dadap. “Sekarang lebih banyak varian kayu yang dipakai. Salah satunya albasia,” ujar Endo. Tarawangsa punya dua dawai dari kawat baja dan besi. Satu dawai dimainkan dengan cara digesek, sedangkan dawai lain dipetik dengan jari telunjuk tangan kiri.
Tarawangsa mirip rebab. Namun, untuk urusan usia, tarawangsa lebih sepuh daripada rebab. Alat berjulukan rebab jangkung ini, menurut Endo, sangat kuno hingga disebut sebagai instrumen paling tua di tanah Sunda. “Analisis saya, ia muncul sebelum rebab.” Saking uzurnya tarawangsa, alat musik ini sudah disebut dalam naskah Sewaka Darma, yang ada sebelum abad ke-15. Sedangkan rebab baru ada di Jawa se-abad setelahnya, sebagai adaptasi alat musik yang dibawa penyebar agama Islam dari Arab dan India.
Alat musik Tarawangsa dari abad ke-19. metmuseum.org
Menurut Endo, tarawangsa dulu ada di seantero Sunda. Bahkan ada juga yang dimainkan suku Baduy. Di kalangan orang Baduy yang masih memainkannya hingga kini, -tarawangsa disebut rendo. Sayangnya, di Jawa Barat, tarawangsa perlahan takluk oleh zaman. Hanya Sumedang dengan ritual ngalaksa-nya yang masih mempertahankan penggunaan tarawangsa. Adapun di daerah Jawa Barat lain, seperti Bandung, Garut, dan Tasikmalaya, tarawangsa nyaris “hilang” karena jarang dimainkan.
Endo menyebutkan alat musik seperti tarawangsa nyaris punah karena secara organik tidak ada yang mendukung ataupun memerlukannya. Nasibnya beda dengan alat musik tradisional Sunda lain, seperti karinding. Alat musik tiup ini masih eksis karena banyak anak muda tertarik mempelajarinya. Bahkan melodinya yang eksotis dan tak lazim juga dipakai untuk menghasilkan musik jazz hingga punk. Para pemusik muda itu mempertahankan bentuk asli karinding. “Tidak dimodifikasi, tetap dibuat dari pelepah kawung atau aren dan bambu,” ucapnya.
Lain lagi seruling dan kendang Sunda lawas. Menurut Endo, seruling dan kendang Sunda lawas sudah jarang. Dua alat musik kuno itu direproduksi dengan bentuk dan ukuran yang baru. Evolusi alat musik dianggap Endo lumrah karena zaman terus berubah. “Zaman dulu sepi sehingga orang berkreasi menciptakan alat musik untuk memunculkan bebunyian merdu yang mirip angin atau kincir air. Namun sekarang alat-alat itu tak lagi berfungsi, kalah bersaing dengan deru kendaraan yang berisik,” katanya.
SHINTA MAHARANI, ISMA SAVITRI
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo