Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
LIMA hari sebelum libur Natal, Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan Megawati Soekarnoputri memanggil Djarot Saiful Hidayat ke rumahnya di Jalan Teuku Umar, Jakarta. Tanpa panjang-lebar, Megawati memerintahkannya maju sebagai calon Gubernur Sumatera Utara. Djarot meminta kesempatan mengetes "sinyal".
Mantan Gubernur DKI Jakarta itu kemudian mengajak istri dan anak sulung perempuannya berlibur ke Danau Toba. "Di Medan, di Danau Toba, banyak yang menyapa saya," kata Djarot, Jumat pekan lalu. "Saya ternyata terkenal di Indonesia." Hiruk-pikuk pemilihan Gubernur Jakarta pada 2016-2017 membuat nama Djarot diperbincangkan hampir setiap hari di media massa.
Djarot bukan satu-satunya calon Gubernur Sumatera Utara dari partai banteng. Dewan Pimpinan Daerah PDIP Sumatera Utara menyodorkan ketuanya, Japorman Saragih. Menurut Wakil Bendahara Fraksi PDIP di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Sumatera Utara, nama Japorman mengapung dalam rapat kerja daerah pada September tahun lalu.
Megawati tak sreg. Apalagi, di kubu seberang, koalisi Gerindra-Partai Keadilan Sejahtera-Partai Amanat Nasional sudah mendeklarasikan duet Edy Rahmayadi dan Musa Rajekshah. Edy, yang saat itu menjabat Panglima Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat dan Ketua Umum Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia, merupakan figur populer.
Lawan lain, Tengku Erry Nuradi, juga berat. Erry adalah gubernur inkumben. Saat sedang pusing-pusingnya mencari jago untuk diusung, Megawati, yang sedang bersama Sekretaris Jenderal PDIP Hasto Kristiyanto, tiba-tiba menceletuk. "Kenapa tidak cari orang di dekat kita?" katanya. Ini terjadi sebelum Megawati memanggil Djarot lima hari menjelang Natal.
Sebelum NasDem dan Golkar menarik dukungan pada pekan lalu, Erry sebenarnya berpeluang terpilih kembali. Ia naik menjadi gubernur karena gubernur sebelumnya, Gatot Pujo Nugroho, masuk penjara akibat korupsi dana bantuan sosial. Bila tak ada perubahan lagi, yang berlaga dalam pemilihan Gubernur Sumatera Utara tahun ini tinggal Jenderal Edy dan Djarot.
Meski Djarot bukan orang Sumatera Utara, 30 persen penduduk provinsi itu beretnis Jawa seperti dia. Selain itu, Djarot sudah "terkenal se-Indonesia", faktor yang mendorong Megawati memilihnya.
PDIP belum punya calon wakil. Pilihan jatuh pada Sihar Sitorus, anak pengusaha D.L Sitorus. Sihar, 49 tahun, dianggap memiliki sumber daya dan jaringan karena dikenal anak muda Sumatera Utara lantaran pernah mengurus klub sepak bola kebanggaan provinsi itu, PSMS Medan.
Di DPRD Sumatera Utara, PDIP hanya punya 16 kursi, kurang empat, sehingga harus berkoalisi. Sebelum Erry kehilangan tiket karena Golkar dan NasDem mengalihkan dukungan ke Edy Rahmayadi, Partai Kebangkitan Bangsa serta Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia, yang masing-masing punya tiga kursi, berada di belakang Erry.
Pilihan yang tersisa tinggal Partai Persatuan Pembangunan, yang punya empat kursi. Hasto Kristiyanto sudah bertemu dengan Sekretaris Jenderal PPP Arsul Sani dengan membawa nama Sihar Sitorus. PPP menolak karena Sihar beragama Kristen.
Setelah PDIP memutuskan mengusung Djarot, kedua partai bertemu lagi. Kali itu pertemuan bertempat di Hotel Acacia, Jakarta. PPP diwakili Arsul. Sedangkan utusan PDIP Trimedya Panjaitan. PPP kembali menolak karena calon wakil Djarot tetap Sihar. "Mereka mengajak berkoalisi," ujarnya.
Djarot mengatakan Sihar belum tentu menjadi wakilnya meski keduanya sudah bertemu. "Hanya membahas Sumatera Utara secara umum," kata Sihar. "Sedikit-banyak saya tahu permasalahan di sini."
Kini PDIP berpaling ke PKB dan PKPI. Soal siapa pendamping Djarot, Hasto memberi kisi-kisi: tokoh muda populer di Sumatera Utara dan pencinta sepak bola. Lho, kok, balik ke Sihar?
Anton Septian, Rusman Paraqbueq, Iil Askar Mondza
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo