Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

arsip

Mengenang Vera

Pesantren Waria Al-Fatah memamerkan foto-foto dokumentasi kekerasan dan diskriminasi terhadap transgender. Ada foto waria yang dibunuh.

20 November 2021 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Dokumentasi pesantren tentang kekerasan dan diskriminasi terhadap transgender

  • Upaya menolak stigma, kekerasan, dan diskriminasi waria

  • Trauma healing untuk mengatasi kecemasan dan mengurangi trauma waria

VERA, waria yang dibunuh secara brutal, menyisakan kengerian bagi pemimpin Pesantren Waria Al-Fatah di Kotagede, Yogyakarta, Shinta Ratri. Untuk mengenang Vera, Shinta menempatkan dua foto waria itu di dinding samping beranda pesantren.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dalam foto itu, Vera sedang berpose bersama puluhan santri dan suster di depan sebuah gereja Katolik di Surabaya. Foto lain menunjukkan Vera mengenakan kopiah sedang duduk di depan aula. 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dua foto itu menjadi bagian dari 37 hasil dokumentasi Pesantren Al-Fatah yang dipamerkan di Kotagede selama 10-20 November 2021. Selain memajang foto, pesantren memamerkan kerajinan batik, wayang berbahan sampah daur ulang, kerajinan bunga, dan lukisan.  

Pameran perdana ini digelar untuk memperingati Hari Peringatan Transgender yang jatuh pada 20 November. Acara itu juga menjadi momentum untuk mengingat kembali berbagai bentuk kekerasan dan diskriminasi yang menimpa para transgender. 

Vera (kanan). Nico Haryono

Vera adalah waria yang dibunuh pada malam Idul Fitri pada Juni 2019. Pelaku menikam Vera dan membenturkan kepalanya hingga ia tewas. Selain menghabisi nyawa Vera di rumahnya di Kabupaten Klaten, Jawa Tengah, pelaku merampok perhiasan dan sepeda motor. “Di pengadilan, pelaku memfitnah Vera memaksa berhubungan seksual,” kata Shinta di Pesantren Waria Al-Fatah, Senin, 15 November lalu. 

Sejak peristiwa itu, santri waria pesantren saling mengingatkan agar berhati-hati ketika di jalan dan aktif berkabar. Pengalaman buruk lain para santri juga tergambar dalam foto-foto penyegelan pesantren oleh Front Jihad Islam.

Puluhan anggota organisasi kemasyarakatan di Yogyakarta itu menggeruduk dan menyegel pesantren seusai salat Jumat pada 19 Februari 2016. Satu foto memperlihatkan seorang polisi membawa senjata laras panjang berdiri di depan pintu pesantren. 

Foto-foto itu karya fotografer lepas Nico Haryono. Nico membantu mendokumentasikan peristiwa kekerasan yang dialami santri waria. Nico juga mengikuti kegiatan santri, misalnya ketika mereka berkunjung ke pesantren dan menemui ulama. “Selama 12 tahun saya memotret peristiwa dan kegiatan santri,” ujar Nico. 

Menurut Shinta, selain mengenang waria yang terbunuh, pameran itu menjadi ajang pemanasan untuk mengenalkan aktivitas dan karya santri waria. Dia mencontohkan, sembilan lukisan yang dipajang dalam pameran diciptakan santri setelah mereka mengikuti trauma healing oleh sejumlah psikolog. Gambar karya waria beragam, dari lanskap alam hingga wajah manusia. Di antara wajah-wajah itu, ada yang tampak murung dan datar tanpa ekspresi. 

Penyegelan Pondok Pesantren Waria Al-Fatah oleh Front Jihad Islam pada 2016. Nico Haryono

Pengurus pesantren, Rully Malay, mengatakan trauma healing penting untuk mengurangi kecemasan dan mengatasi trauma waria. Sepanjang hidup, tutur Rully, sebagian waria mengalami kekerasan. Mereka terpaksa hidup di jalanan, misalnya dengan mengamen dan menjadi pekerja seks, karena diusir keluarga dan kerabat. 

Selain itu, sebagian masyarakat kerap menstigma dan melabeli waria sebagai pendosa karena orientasi seksualnya. Stigma itu makin menebalkan diskriminasi terhadap waria. Dampaknya, mereka tidak berkesempatan mengakses layanan publik, seperti kesehatan, pendidikan, dan pekerjaan yang layak. 

Arus Pelangi, organisasi yang berfokus pada pemenuhan hak lesbian, gay, biseksual, dan transgender (LGBT), menempatkan Yogyakarta sebagai satu dari sembilan provinsi yang memiliki kasus persekusi terhadap LGBT. 

Sejak 2006 hingga 2018, organisasi tersebut mencatat 1.850 orang dari kalangan LGBT menjadi korban persekusi di sembilan provinsi di Indonesia. Sebagian besar korban adalah transpuan karena mereka adalah kelompok yang paling terlihat. Mereka mengalami perundungan seksual, penangkapan sewenang-wenang, penyiksaan, dan pembunuhan. 

Ketua Badan Pengurus Arus Pelangi Ryan Korbarri mengatakan kebencian terhadap komunitas LGBT tergambar dari kasus pembunuhan dan penganiayaan. Sebagian besar pelaku adalah orang tak dikenal. Kasus teranyar yang mengguncang komunitas waria terjadi pada 2020. Seorang transpuan di Cilincing, Jakarta Utara, tewas setelah dikeroyok dan dibakar. 

Vera (bawah, ketiga kanan). Nico Haryono

Puncak kekerasan terhadap transpuan terjadi pada 2016 melalui pernyataan pejabat publik yang bernada diskriminatif. Pernyataan itu mulai diterjemahkan dalam berbagai aturan, misalnya pasal pencabulan dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang menggunakan frasa “sesama jenis”. Di Yogyakarta, peraturan daerah tentang penanganan gelandangan dan pengemis berimbas pada transpuan. 

Menurut Ryan, petugas kerap menggelandang dan menangkap waria secara sewenang-wenang saat mereka mengamen. Selama masa pandemi Covid-19, pemerintah pun mengabaikan hak transpuan mengakses bantuan sosial. “Penanganan Covid-19 tidak ramah terhadap transpuan,” ucapnya.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus