Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Centang-Perenang Menara Pengawas

Jumlah pemandu udara minim pada saat penerbangan tumbuh pesat. Rawan tabrakan antarpesawat.

21 Mei 2012 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

LANGIT Jakarta tak berbeda dengan jalanan Ibu Kota: gile banget. Bayangkan: sekitar 2.000 penerbangan melintas di langit setiap hari. Separuh lebih dari jumlah itu—sekitar 1.100 per hari—mendarat atau meninggalkan Bandar Udara Soekarno-Hatta. Sementara itu, jumlah petugas pemandu di bandar udara terbesar se-Indonesia ini tak lagi memadai.

Pada jam-jam padat, pemandu lalu lintas udara bisa melayani 15-20 pesawat pada waktu bersamaan. Menurut data yang diperoleh Tempo, seorang petugas bahkan pernah melayani 30 pesawat pada saat yang sama. ”Untuk minum saja tidak sempat,” kata I Gusti Ketut Susila, Presiden Indonesia Air Traffic Controllers Association, Jumat dua pekan lalu.

Tugas pengatur lalu lintas udara sangat penting, antara lain mencegah tabrakan antarpesawat atau pesawat dengan obyek lain. Meski langit seolah-olah tanpa batas, pesawat memiliki ”jalan udara”, yang membutuhkan peran pemandu—di antaranya untuk memberi tahu pilot tentang posisi pesawat lain di dekatnya.

Di Bandar Udara Soekarno-Hatta, kontrol lalu lintas udara dibagi menjadi lima sektor: Lower North, Lower East, Terminal West, Terminal East, dan Arrival North. Setiap sektor seharusnya diawasi controller dan asisten. Kenyataannya, menurut seorang petugas, tidak pernah ada posisi asisten desk kontrol meski di log book tercantum namanya. Controller bekerja sendirian melayani lalu lintas yang sangat padat.

Pada saat Sukhoi Superjet 100 terbang dari Halim Perdanakusuma, Rabu dua pekan lalu, petugas di sektor Terminal West dan Terminal East hanya ada lima orang. Controller yang bertugas pada saat itu juga merangkap menjadi supervisor. Ia tidak didampingi asisten. Sebab, asisten yang tertulis dalam position log duty dan seharusnya mendampingi controller di Terminal East malah bertugas di Terminal West.

Menurut petugas lain, sehari sebelumnya, flight plan system di kontrol udara juga bermasalah. Jadi, setiap kali ada pesawat masuk ke sektor pengawasan, petugas harus mengunggahnya secara manual. ”Ini menambah beban air traffic control dalam memandu lalu lintas,” ia menambahkan.

Sistem pengatur lalu lintas udara di Soekarno-Hatta, Jakarta Automatic Air Traffic Control System, menggunakan teknologi 1997. Idealnya, menurut seorang praktisi pengaturan udara, setiap sepuluh tahun teknologi ini perlu dimutakhirkan. Karena ketinggalan zaman, menurut dia, sering kali sistem radar padam. ”Bisa sepekan sekali, atau bahkan dua kali,” tuturnya.

Ruwetnya pengaturan lalu lintas membuat pesawat perlu tambahan waktu untuk mendarat atau lepas landas. Mereka antre di taxi way sebelum terbang, atau memutar-mutar sebelum bisa mendarat. Suatu ketika, karena lamanya antre di udara, Kapten Pilot Megi Hudi Helmiadi memutuskan berbelok arah, menerbangkan pesawatnya ke Palembang. ”Bahan bakar saya habis karena tidak ada persediaan untuk memutar-mutar di udara,” kata pilot Boeing B737 dari maskapai penerbangan pelat merah itu.

Agar memperoleh prioritas, walhasil, perusahaan maskapai berusaha mendekati petugas kontrol. Mereka menyediakan aneka servis—dari tiket gratis buat sekeluarga, perjalanan ke luar negeri setiap tahun, termasuk uang saku dan akomodasi, hingga jatah bulanan. Prioritas yang diharapkan, misalnya, pesawat mereka tak perlu antre lama sehingga bisa menghemat avtur. ”Tanpa itu bisa lama antre,” kata seorang bekas manajer di maskapai lokal.

Tempo mengalami ”rebutan jalur pendaratan” ini pada 26 April lalu, ketika terbang dari Surabaya menggunakan Garuda GA-309. Pesawat hendak mendarat di Soekarno-Hatta. Saat aspal landasan semakin dekat, tiba-tiba pesawat menanjak lagi. Tak lama, dari pengeras suara, terdengar pilot meminta maaf kepada penumpang karena gagal mendarat. ”Karena ada pesawat dari maskapai berbiaya murah mendarat tanpa izin,” katanya, terdengar kesal, dalam dua bahasa, Indonesia dan Inggris. Pesawat baru bisa mendarat 20 menit kemudian.

Mantan Kepala Staf Angkatan Udara Marsekal Purnawirawan Chappy Hakim menilai, kemampuan mengontrol lalu lintas udara Indonesia jauh tertinggal dibandingkan dengan Malaysia dan Singapura. Penyebabnya, petugas dan peralatan yang digunakan tak sebanding dengan kepadatan lalu lintas udara.

Hanna Simatupang, mantan penyelidik Komite Nasional Keselamatan Transportasi, mengatakan kondisi serupa terjadi di semua bandara. Pada 2005, ia mencontohkan, pesawat Cathay Pacific (Cina) dan Qantas (Australia) nyaris bertabrakan di langit Makassar. Penyebabnya, pemandu udara salah mengatur ketinggian masing-masing. ”Jaraknya hanya 200 kaki atau sekitar 60 meter. Kedua pilot sudah teriak-teriak,” kata Hanna, yang menyelidiki insiden itu. Walhasil, pemerintah Cina dan Australia mengirim surat kecaman atas buruknya sistem lalu lintas udara itu.

Hanna juga mengiyakan soal balap pilot menjelang pendaratan. Ia pernah mendengar pembicaraan radio pilot dua maskapai yang saling mengancam karena rebutan jalur. ”Setelah ketemu di darat, mereka pukul-pukulan,” ujarnya, tertawa.

Menurut I Gusti Ketut Susila, kondisi itu diperparah dengan banyaknya bos yang mengatur menara pengawas. Paling tidak, ada empat provider pengatur lalu lintas udara: Angkasa Pura I dan II serta Unit Pelaksana Teknis Departemen Perhubungan. Satu lagi dikelola swasta, yakni di Papua. Akibatnya, rute perjalanan pesawat menjadi berkelok-kelok. Kadang pengatur di satu wilayah tak sigap saat pesawat dari wilayah lain masuk ke tempatnya.

Dengan satu provider, pengaturan lalu lintas udara lebih mudah dan efisien. Rute penerbangan bisa dipersingkat sehingga pesawat bisa menghemat bahan bakar. ”Ibaratnya, mesti ada jalan tol di udara,” kata Susila.

Deputi Senior General Manager PT Angkasa Pura II Mulya Abdi membantah ada salip-menyalip antarpesawat. Ia juga menyangkal adanya pemberian pelicin ke jajarannya. Prioritas lepas landas atau pendaratan diberikan ke pilot yang mengontak pengatur lebih dulu, bukan karena kongkalikong dengan maskapai. ”Tidak ada servis maskapai ke petugas kami.”

Fakta berbeda justru terungkap dari inspeksi mendadak Menteri Badan Usaha Milik Negara Dahlan Iskan. Pertengahan Februari lalu, Dahlan datang tiba-tiba ke menara air traffic control Angkasa Pura II, Soekarno-Hatta. Di salah satu ruang pengontrol, tujuh petugas tak menyadari kedatangan sang Menteri.

Bekas wartawan Jawa Pos, Siti Ita Nasyi'ah, yang mendampingi Dahlan, bercerita, satu petugas asyik merokok, mungkin tak mengenali wajah Menteri. Setelah Ita memberi tahu, ”Dia buru-buru mematikan rokok sambil meminta maaf.”

Sebelum masuk ke menara, Dahlan berkeliling ke berbagai ruangan. Ia menemukan sejumlah ruangan kosong. Di lantai dua, ada asbak tabung setinggi satu meter dan sejumlah tempat abu kecil di meja petugas. Ada juga Styrofoam bekas mi instan dan plastik sisa makanan. Padahal tertulis di pintu masuk: ruangan steril. Dahlan juga melihat sejumlah petugas memainkan telepon seluler, yang sebenarnya dilarang karena bisa mengganggu alat navigasi.

Di menara, Dahlan bertanya soal asbak dan puntung rokok di sebagian ruang pengontrol. Seorang anggota staf menjawab, tekanan kerja membuat staf mengalami stres dan harus merokok. Apalagi saat itu cuaca sedang buruk sehingga tekanan kerja makin berat. Saat mengalami stres, petugas biasa menggebrak-gebrak meja di ruang pengontrol. ”Kalau stres, jangan bekerja di sini. Kalau mau gebrak-gebrak, bikin saja orkes,” kata Ita menirukan ucapan Dahlan. Sang Menteri menyindir ruangan pengontrol tak ubahnya restoran yang menyajikan berbagai makanan.

Kepada Tempo, Dahlan mengaku kaget oleh kondisi ruang pengontrol lalu lintas udara. Ia menilai tekanan kerja tak bisa menjadi alasan para petugas merokok di dalam ruangan. Semestinya, setiap dua jam kerja, petugas beristirahat selama 45 menit. Ia langsung menghubungi direksi Angkasa Pura II. ”Saya kecewa,” ujarnya.

Mulya Abdi mengakui ada bawahannya ketahuan merokok saat Dahlan berkunjung. Tapi, menurut dia, saat ini tak ada lagi petugas makan di ruangan dan menggunakan telepon. ”Sekarang tidak ada lagi yang merokok. Steril,” katanya.

Pramono, Afrilia Suryanis

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus