Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PESAWAT Sukhoi Superjet 100 nomor register RA-36801 melayang rendah di langit Bogor. Pilot Aleksandr Yablontsev telah melapor ke petugas di Tower East, Jakarta Approach, Bandar Udara Soekarno-Hatta, untuk menurunkan ketinggian dari 10.000 ke 6.000 kaki—atawa 3 menjadi 1,8 kilometer—dari permukaan laut. Pada pukul 14.26, Rabu dua pekan lalu itu, pesawat telah mengudara 14 menit dari setengah jam rencana penerbangan gembira.
”Jakarta…, Romeo Alfa Three Six Eight Zero One request descend from 10.000 feet to 6.000 feet,” pilot berkata, seperti dituturkan sumber Tempo yang mendengar rekaman percakapan di menara. Petugas berinisial ”N” itu menjawab, ”Approved.”
Yablontsev memutarkan pesawatnya sekali di atas Pangkalan Udara Atang Sendjaja, Bogor. Orbit berjalan mulus. Pesawat produksi 2009 ini mengangkut 37 penumpang—sebagian besar petinggi maskapai penerbangan dan lainnya wartawan.
Tak ada pertanyaan dari petugas tentang alasan pilot mengurangi ketinggian pesawat. Bisa jadi itu karena posisi pesawat dianggap aman, lantaran berada di training area Atang Sendjaja, wilayah persegi panjang yang terbentang dari barat ke timur sepanjang 50 kilometer. Area ini bersih dari bukit dan gunung. Pilot bisa menerbangkan pesawat serendah mungkin.
Petugas pemandu kembali sibuk melayani pesawat lain. Ketika itu, ia memandu 13 penerbangan pada saat yang sama, termasuk Sukhoi: menunjukkan arah 13 pesawat, menerima pemberitahuan 13 pilot untuk menyetujui atau menolak permintaan mereka. Asisten yang seharusnya membantu sang pemandu—namanya tertulis dalam log duty—malah bertugas di Terminal West.
Supervisor pemandu lalu lintas udara pada saat kejadian bahkan ikut serta dalam position log controller karena kekurangan personel. Sesuai dengan aturan, menurut seorang praktisi penerbangan, seharusnya supervisor mengawasi controller yang sedang bekerja di setiap sektor—Terminal East, Terminal West, Lower North, Lower East, dan Arrival North.
Posisi Sukhoi Superjet berada pada koordinat 06° 43' 08” Lintang Selatan dan 106° 43' 15” Bujur Timur. Jarum waktu di monitor menunjukkan pukul 07.28 UTC atau 14.28 WIB. Dua menit setelah pilot minta izin menurunkan pesawat, kecepatan terdeteksi 290 knot atau 537 kilometer per jam, separuh dari kecepatan maksimumnya.
Yablontsev terdengar berbicara dan memberitahukan akan berbelok ke kanan. Tak ada respons. Moncong pesawat menuju gunung. Tak ada suara dari petugas pemandu. Pilot bisa jadi tak sadar menuju bahaya—penyebabnya kelak diketahui dari rekaman di kotak hitam.
Lima menit kemudian, pada pukul 14.33, Sukhoi berhenti di layar radar Soekarno-Hatta. Petugas masih tak menyadari kejanggalan. Seseorang yang mengetahui detail pemanduan udara menyatakan sistem peringatan darurat di ruang kontrol lalu lintas udara tak berbunyi. Padahal semestinya alat ini menjerit-jerit jika ada pesawat hilang dari radar.
Waktu berlalu. Petugas yang sibuk masih belum sadar bahwa Superjet telah menghilang. Ia baru menyadarinya 19 menit kemudian. Segera ia bereaksi, memanggil-manggil. ”Calling Romeo Alfa Three Six Eight Zero One…. Calling Romeo Alfa Three Six Eight Zero One….” Tiga kali dipanggil, pilot Yablontsev tak juga menyahut.
Deputi Senior General Manager Air Traffic Control (ATC) Cengkareng Mulya Abdi menyangkal radar di menara tak memberi peringatan. ”Radar berfungsi. Karena itu, kami segera tahu ada pesawat hilang kontak,” ujarnya. Sembilan menit setelah pesawat berhenti di layar radar, kata dia, merupakan waktu yang digunakan petugas memanggil pilot Sukhoi Superjet.
Karena pilot tak kunjung menyahut, petugas di Cengkareng mengontak tower Halim, Bandung, dan Atang Sendjaja. Superjet yang sebelumnya terbang promo di Kazakstan itu resmi dinyatakan hilang empat jam kemudian, sesuai dengan persediaan bahan bakar dalam tangkinya. Tiga hari kemudian, tim evakuasi menemukan reruntuhan pesawat dan mayat penumpang di dasar jurang Gunung Salak.
DALAM rencana penerbangan di tower Halim yang diteruskan lewat teleks ke menara Cengkareng sebelum terbang, Yablontsev mengabarkan akan menyetir pesawat menggunakan instrument flight rules. Artinya, ia mengandalkan alat-alat navigasi di kokpit, bukan penglihatan kasat, ketika menempuh jalur terbangnya.
Pilot berencana menuju langit Pelabuhan Ratu, area tempat para pilot biasa melakukan uji pesawat. Dari tujuh kelas ruang udara, jalur Halim-Pelabuhan Ratu masuk kelas B. Di sini, penerbang boleh menggunakan visual ataupun instrumental.
Dalam prosedur penerbangan, sebelum lepas landas, pilot dan kopilot akan berembuk membahas jalur. Hasil rembukan itu dituangkan dalam dokumen rencana penerbangan. Pilot yang berencana menggunakan panduan instrumental menulis kode IFR di dokumen.
Penerbang juga dibantu ground proximity warning system (GPWS), yang mengarahkan ketinggian minimum pesawat dari halangan tertinggi di daratan. Pesawat asing yang terbang di suatu negara, menurut seorang instruktur penerbangan, seharusnya menginstal sistem itu untuk kondisi lokal. Dalam kasus Sukhoi, ia mengatakan, GPWS belum diinstal dengan jalur penerbangan Indonesia.
Itu pula sebabnya para pilot yang dimintai pendapat soal kecelakaan ini mengaku heran terhadap keputusan Yablontsev menurunkan pesawat hingga 6.000 kaki. Soalnya, menurut laporan Lembaga Antariksa dan Penerbangan, saat Sukhoi itu mengudara, di atas puncak Salak sedang melayang awan kumulonimbus.
Kondisi cuaca dilaporkan para petugas pemandu kepada semua pilot yang bercakap dengan mereka. ”Tak diminta pun setiap setengah jam cuaca dilaporkan, termasuk kondisi, jenis, dan keaktifan awan,” kata Mulya Abdi. Cuaca ditangkap radar Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika, yang letaknya bersebelahan dengan radar pengatur lalu lintas udara.
Semestinya Yablontsev tahu ada kumulonimbus di depannya. Awan padat itu menggumpal sepanjang delapan kilometer dengan tinggi lima kilometer. Para pilot akan menghindari awan yang menandai hujan segera turun disertai petir ini. ”Dengan alat yang ada, obstacle itu bisa terbaca dari jauh,” kata Budi Wuraskito, ahli pesawat dari PT Dirgantara Indonesia.
Cara menghindar yang lazim dilakukan para pilot, dan disarankan petugas menara pengawas, adalah terbang di atasnya. ”Menghindar dengan turun ke bawahnya itu jarang jadi pilihan,” kata Muhammad Hisyam, pilot Kementerian Perhubungan yang berpengalaman 12 tahun. Ia juga pernah menjadi petugas pemandu lalu lintas udara di Cengkareng.
Ketika salah arah melayang di ketinggian 6.000 kaki, posisi pesawat sekitar 14 kilometer dari puncak Gunung Salak. Dengan kecepatan 537 kilometer per jam, hanya 9,4 detik waktu pesawat menuju bahaya. Pesawat seberat 45 ton itu tak punya banyak waktu untuk menghindari tebing.
Hisyam menduga pilot mengabaikan GPWS. Ketika kemudian sistem mengabarkan bahaya, ia telah terlambat. Mendekati bahaya, sistem akan menjerit-jerit. ”Terrain… terrain….” Semakin dekat dengan benturan, sistem akan berteriak lebih keras dan semakin cepat: ”Pull up… pull up.”
Dari luka tebing yang tak jauh dari puncak, pilot diduga telah berusaha menaikkan kembali pesawatnya. Tapi tak cukup waktu. Perut pesawat membentur tebing, membuat Superjet komersial pertama buatan Rusia itu terjun ke jurang sedalam 400 meter.
Menurut bekas penyelidik Komite Nasional Keselamatan Transportasi, Hanna Simatupang, secara teori radar di ATC itu semestinya tahu ke mana arah pesawat. Apalagi ada percakapan petugas dengan Yablontsev, yang meminta turun. ”Petugas harus memberi tahu, lalu memandu pesawat kembali mengarah ke jalurnya,” katanya.
Mulya Abdi menolak berkomentar soal ini. Menurut dia, petugasnya sudah melakukan prosedur standar dalam komunikasi dengan pilot. ”Tak ada yang salah,” ujarnya. Dan soal ini masuk materi penyelidikan Komite Nasional Keselamatan Transportasi. Para penyidik di lembaga ini sudah mengambil rekaman percakapan untuk dicocokkan dengan kotak hitam yang ditemukan Selasa pekan lalu.
Hanna juga tak menganggap penerbangan pertama pilot di suatu wilayah sebagai persoalan. Jika GPWS tak diinstal, ada cara lain untuk menghindari buta medan, yakni mengajak pilot lokal mendampingi. ”Ini prosedur dalam joy flight, terutama bagi pilot asing yang belum pernah terbang di suatu wilayah,” kata pengajar ilmu penerbangan di Universitas Kristen Indonesia itu.
Marsekal Muda Purnawirawan Sunaryo, konsultan PT Trimarga Rekatama—rekanan Sukhoi di Indonesia—menolak berkomentar ihwal GPWS di pesawat dan apakah alat itu sudah diinstal jalur terbang. ”Kalau itu harus tanya Komite Nasional Keselamatan Transportasi,” ujarnya.
Ia memastikan pilot dan kopilot sudah membaca serta menganalisis jalur terbangnya. Hal itu dilaporkan dalam dokumen rencana penerbangan. ”Termasuk cuaca dan posisi Gunung Salak.”
Soal tak mengajak pilot lokal, menurut Sunaryo, itu bukan kewajiban dan tak dibahas dalam rapat sebelum terbang. Alasannya, pesawat itu milik Rusia dengan penerbang asal negara itu yang paham teknologi sedetail-detailnya. ”Jadi tak perlu didampingi,” katanya.
Dugaan salah komunikasi antara petugas ATC dan Yablontsev, yang beraksen Rusia ketika berbicara dalam bahasa Inggris, diragukan Hisyam dan Hanna. Dalam penerbangan, bahasa pilot itu spesifik dan ada kode tertentu untuk menghindari salah dengar.
Menilik situasi dan kejanggalan dalam penerbangan promosi Sukhoi ini, Hanna punya analisis, penyebab kecelakaan adalah ketidakhati-hatian pilot, kurang baiknya komunikasi di menara pengawas, dan tak berfungsinya sejumlah alat di pesawat.
Bagja Hidayat, Pramono, Afrilia Suryanis
Sudah Buta, Tongkat Tiada
KOTAK hitam Sukhoi Superjet 100 RA-36801 yang menabrak tebing Gunung Salak, Bogor, telah ditemukan. Tapi perlu waktu lama untuk mengetahui penyebab tragedi yang menewaskan 46 orang itu. Tempo mewawancarai sejumlah sumber yang mengetahui data penerbangan nahas pada Rabu dua pekan lalu itu.
1. Halim Perdanakusuma
Pukul 07.12 UTC (14.12 WIB):
Sukhoi Superjet 100 lepas landas menuju Radial 200°--sekira arah Pelabuhan Ratu. Pilot Aleksandr Yablontsev dipandu petugas pengatur lalu lintas ruang udara Terminal East, Jakarta Approach, di Bandara Soekarno-Hatta.
2. Atang Sandjaja
Pukul 07.26 UTC:
Petugas di Terminal East menjawab "approved" ketika pilot meminta izin menurunkan pesawat dari ketinggian 10.000 ke 6.000 kaki (3.048 meter ke 1.828 meter).
Pukul 07.28 UTC:
Pesawat mempertahankan ketinggian pada 6.000 kaki, memutar sekali di atas training area. Moncong pesawat tiba-tiba menuju gunung. Petugas tidak mengingatkan pilot.
3. Gunung Salak
Pukul 07.32 UTC:
Pesawat mendekati tebing dengan kecepatan 290-300 knot (537,1-555,6 kilometer per jam). Sistem komputer di kokpit memperingatkan: "Terrain…, terrain…," lalu "Pull up…, pull up." Pilot diduga berusaha menaikkan moncong tapi terlambat. Bagian perutnya menyentuh punggung tebing, pesawat jatuh.
4. Menara UTC Bandara Soekarno-Hatta
Pukul 07.33 UTC:
Target pesawat di radar tidak bergerak pada ketinggian 6.100 kaki (1.860 m). Petugas belum sadar.
Pukul 07.52 UTC:
Petugas baru menyadari hilangnya Sukhoi. Ia tiga kali melempar panggilan.
Ruangan Pengawas Udara
Pada Rabu 9 Mei 2012 siang, dua sektor, yakni Terminal West dan Terminal East, dilayani lima petugas. Mereka tidak didampingi asisten. Petugas yang memandu Sukhoi juga melayani 12 penerbangan lain.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo