Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

”Saya Melafalkan Ayat Kursi”

Pengatur lalu lintas udara adalah mata bagi penerbang. Inilah pengalaman Kapten Pilot Ervin Adhitya, 35 tahun, yang dituturkan kepada Pramono dari Tempo.

21 Mei 2012 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

HALILINTAR berpijar-pijar di kejauhan, terlihat dari kaca kokpit. Kecepatan Boeing 737 NG yang saya terbangkan dari Bandara Ngurah Rai, Bali, pertengahan April lalu, sudah mencapai 180 knot atau 330 kilometer per jam. Ketinggian pesawat 4.000 meter.

Syukurlah, sebentar lagi pesawat tiba di CGK–Bandara Soekarno-Hatta. Kepada petugas air traffic control, saya meminta izin mendarat. Pukul tujuh malam termasuk jam sibuk di langit Jakarta. Saya harus antre, ada tiga pesawat di depan saya. ”Heading to one eight zero,” kata petugas mengarahkan.

Petugas meminta saya memutar moncong pesawat ke arah jam enam. Ternyata arah itu menuju medan halilintar. Saya melihat kilat begitu meriah, menerangi awan kumulonimbus. Masuk gumpalan awan ini berarti menghadapi badai besar. Radar cuaca di kokpit menunjuk warna magenta, menandakan awan di depan saya sangat pekat. Ini tak pernah diinginkan pilot mana pun, termasuk saya, yang sudah punya pengalaman 8.000 jam terbang.

Saya teringat penerbangan dari Jakarta menuju Banjarmasin, akhir tahun lalu. Pertemuan dengan kumulonimbus—biasa disebut CB—tak terhindari. Sama seperti sekarang, radar cuaca dipenuhi warna magenta. Saya meminta penumpang duduk dan mengencangkan ikat pinggang. Selama semenit berikutnya, pesawat melompat ke atas hingga 4.000 kaki, lalu dibanting dengan cepat di area turbulensi. Saya melafalkan Ayat Kursi, berusaha tak panik.

Pengalaman di Banjarmasin memberi saya banyak pelajaran. Di Jakarta, pesawat saya menghadapi risiko besar. Saya mengontak petugas lagi dan meminta perubahan arah menjadi 140 derajat. Radar menunjukkan jarak pesawat lain relatif jauh pada arah itu. Jawabannya di luar dugaan. ”Negatif. Tetap mengarah ke satu delapan kosong.”

Pesawat masih meluncur ke awan hujan. Setengah memaksa, saya meminta petugas mengizinkan perubahan arah karena sebentar lagi pesawat masuk awan hujan. Petugas diam. Satu, dua, tiga detik. Sadarkah dia, tiap detik sangat berharga bagi saya dan lebih dari 200 penumpang pesawat ini?

Detik berikutnya, baru petugas mengizinkan perubahan arah. Nyaris saja. Meski pesawat mulus mendarat, saya jengkel. Perdebatan, meski singkat, seharusnya tak perlu terjadi. Saya mafhum, tak semua bandar udara di negeri ini punya radar. Dan tak satu pun radar bandara bisa menangkap kondisi cuaca. Beda bener waktu saya terbang ke Singapura. Petugas setempat langsung meminta pesawat berubah posisi jika ada awan hujan.

Selama sepuluh tahun jadi pilot, saya sering kesal kepada pengatur lalu lintas udara. Pernah petugas memerintahkan perubahan posisi moncong ke titik X saat pesawat antre mendarat. Ternyata petugas lalai dan membiarkan pesawat lain melewati titik itu. Belakangan, petugas panik dan minta pesawat balik arah. Untung, belum kebablasan.

Pernah pula perintah perubahan posisi untuk maskapai lain masuk ke radio pesawat saya. Jika saya ikuti, bisa-bisa saya menabrak pesawat lain. Sekali lagi, untung.

Tentu pengatur tetap diperlukan. Ketika terbang dari Semarang ke Jakarta, saya masih kopilot, data komputer udara di pesawat rusak. Akibatnya, semua instrumen digital di kokpit mati. Di darat, ketinggian dan kecepatan pesawat juga tak terbaca radar. Saya dan kapten bergantung pada standby instrument analog untuk mengetahui posisi, ketinggian, dan kecepatan.

Untung, petugas memprioritaskan kami. Tak pernah mereka memutus komunikasi. Mereka membawa kami pulang dengan selamat. Bagi saya, keberhasilan petugas pengatur dibuktikan dengan suksesnya pendaratan pesawat.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus