Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SARDJONO Jhony Tjitrokusumo hampir saja ikut penerbangan gembira Sukhoi Superjet 100, Rabu dua pekan lalu. Arief Wahyudi, konsultan Trimarga Rekatama, yang mendatangkan pesawat baru buatan Rusia itu, terus meneleponnya. ”Supaya saya ikut,” kata mantan Direktur Utama Merpati Nusantara Airlines ini kepada Tempo, Senin pekan lalu.
Jhony menolak tawaran itu dengan alasan ”sibuk dengan urusan kantor”. Ketika penerbangan promosi itu dilakukan di Pangkalan Udara Halim Perdanakusuma, Jakarta, ia berada di ujung jabatannya. Senin pekan lalu, ia dicopot dari kursi Direktur Utama Merpati. Kesibukan di kantor ”menyelamatkan” dia. Sukhoi itu menabrak lereng Gunung Salak, Bogor, dan menewaskan semua penumpangnya, termasuk Arief Wahyudi.
Jhony merupakan pintu masuk Trimarga untuk memasarkan pesawat berkapasitas 98 orang itu. Trimarga mengincar perusahaan penerbangan pelat merah itu sebagai calon pembeli utama, selain Pelita Air Service. Pintu tak terbuka karena Jhony telanjur kepincut pada pesawat The Commercial Aircraft Corporation of China atau Comac ARJ21-700.
Manajemen Merpati memiliki dua alasan. Perawatan, suku cadang, dan pascajual Comac dinilai lebih mudah. Skema pembayarannya pun lebih murah dibandingkan dengan pesawat lain: 100 persen kredit dengan bunga 2,5 persen selama 20-25 tahun. Comac menyanggupi 40 persen komponen lokal dikerjakan PT Dirgantara Indonesia. Sedangkan Sukhoi hanya menawarkan 85 persen kredit komersial dan sisanya tunai.
Pada Singapore Airshow 2012 di Singapura, Februari lalu, Jhony menandatangani nota kesepahaman antara Merpati, Comac, Avic International Holding Corporation (perusahaan penerbangan Cina), dan PT Dirgantara Indonesia. Seseorang yang mengetahui persoalan ini bercerita, segera setelah itu, Sukhoi menawarkan paket lain: 100 persen kredit dengan bunga 2,5 persen. Perusahaan itu juga sanggup menyerahkan pembuatan 40 persen komponennya ke perusahaan lokal. Pendek kata, Sukhoi memberi penawaran yang serupa dengan yang diberikan Comac kepada Merpati.
Manajemen Merpati tetap memilih Comac. Sumber Tempo bercerita, Menteri Koordinator Perekonomian Hatta Rajasa sempat ikut campur. ”Dalam rapat koordinasi, Pak Hatta minta Merpati membatalkan pembelian Comac dan diganti dengan Superjet,” ia menuturkan. Dimintai konfirmasi, Hatta membantah. ”Sejak kapan Menko ngurusin pembelian pesawat?” kata Hatta melalui pesan pendek Rabu pekan lalu. Jhony tak mau berkomentar soal intervensi ini.
Jhony mengakui Superjet 100 merupakan pesawat canggih. Ia pernah naik pesawat ini, ketika Duta Besar Republik Indonesia untuk Rusia, Hamid Awaludin, menawarkan penjajakan ke Moskow. Hamid mengakuinya. ”Saya memang pernah mempertemukan Pak Jhony dengan Sukhoi,” katanya. Namun ia mengatakan tidak membantu menawarkan Superjet. Mantan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia itu menambahkan, ”Yang saya bantu mediasi cuma Merpati, kok.”
Jhony tahu Sukhoi diageni Trimarga, tapi ia tak mau berhubungan dengan Trimarga. Saat mencoba pesawat pun ia langsung datang ke pabrik Sukhoi, Knappo, di Rusia. ”Pak Djito (Sudjito Ng alias Ng Djin Tjong, pemilik Trimarga) tahu itu,” kata Jhony. Ini pun diakui salah satu petinggi di Trimarga. ”Merpati tidak mau lewat kami,” kata petinggi Trimarga itu, yang menolak menyebutkan namanya.
Sejak didirikan pada 1990, Trimarga banyak berkecimpung dalam bisnis pesawat tempur. Dengan bendera Trimarga pula pengusaha Djin Tjong mengegolkan pembelian sepuluh pesawat tempur Sukhoi tipe SU-27 dan SU-30 MK oleh TNI Angkatan Udara. Empat dibeli pada 2003, di masa pemerintahan Presiden Megawati Soekarnoputri. Enam dibeli pada masa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, 2007.
Konsultan Trimarga, Marsekal Muda Purnawirawan Sunaryo, menjelaskan, Djin Tjong tertarik pada bisnis pesawat komersial sejak sekitar empat tahun lalu. Pada saat itu, Sukhoi memproduksi pesawat komersial. Sukhoi meluncurkan pesawat komersial pertamanya, Superjet 100, pada September 2007. ”Memang Wahyudi yang membawa orang-orang Rusia menghadap petinggi-petinggi maskapai,” kata pensiunan bintang dua ini.
Untuk melobi, Trimarga kerap menawari manajemen perusahaan calon pembeli perjalanan gratis ke Rusia. Salah satunya manajemen PT Kartika Airlines. Tapi hal ini dibantah Komisaris Kartika Airlines Mayor Jenderal Purnawirawan Arifin Seman. ”Kami tak pernah pergi ke Rusia dibiayai Trimarga,” katanya. Arifin mengakui Arief Wahyudi merupakan kontak Kartika Airlines di Trimarga untuk pembelian Superjet 100.
Kartika Airlines merupakan pembeli perdana pesawat Superjet 100. Jauh sebelum kecelakaan terjadi, pada akhir 2009, menurut Arifin, Kartika telah tertarik pada Superjet 100. Baru pada Juli 2010, berbarengan dengan London Airshow, perusahaan itu menandatangani perjanjian pembelian 30 pesawat.
Sebagai agen, menurut Arifin, Trimarga menjadi mediator yang menyelesaikan urusan dengan Sukhoi. Misalnya mengatur pertemuan dengan pejabat Sukhoi, presentasi, dan negosiasi harga.
Fanny Febiana
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo