Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Cindy, Misteri 'Paragraf Setan', dan Tuduhan CIA

Untuk pertama kalinya Cindy Adams, setelah sekian puluh tahun, memberikan wawancara kepada wartawan Indonesia. Dia menceritakan proses di balik penulisan otobiografi Sukarno yang dibuatnya. Namun dia tak tahu bahwa dalam terjemahan edisi Indonesia pernah ada paragraf yang dipersoalkan para sejarawan. Tentang Sukarno yang menafikan kontribusi Hatta saat proklamasi. Paragraf yang oleh Yayasan Bung Karno juga dianggap aneh dan disebut "ayat-ayat setan".

29 Desember 2014 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Terakhir ia datang ke Jakarta pada 1983. Tiap kali datang, ia selalu terkenang Sukarno. Ia saksi tahun-tahun menjelang kejatuhan Sukarno. Ia saksi bagaimana Sukarno di Senayan berpidato menyerukan yel-yel "Ganyang Malaysia, Ganyang Amerika". Ia saksi bagaimana Sukarno pada usia tuanya di Istana kadang seperti anak kecil, manja, dan suka main tebak-tebakan. Umurnya kini 89 tahun. Masih terlihat sehat. Betapapun kerut-merut mewarnai parasnya, ia masih tampak begitu muda untuk perempuan seusianya. Ia sama sekali tak terlihat letih, betapapun baru dua hari menjejakkan kaki di Jakarta.

Ia tiba di Jakarta dari New York menjelang Natal dan tinggal di apartemen milik Kartika Sukarno, putri Ratna Sari Dewi, di bilangan Dharmawangsa. Sebuah apartemen mewah, yang dihiasi pajangan lukisan Le Mayeur. Ia tampak sangat akrab dengan Kartika. Ia menyebutkan mengenal Kartika semenjak masih berusia di bawah lima tahun. Kartika sendiri seolah-olah menganggap wanita itu ibu baptisnya.

Dialah Cindy Adams. Pengarang buku legendaris Sukarno: An Autobiography as Told to Cindy Adams (Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia). Inilah wanita jurnalis Amerika Serikat yang dipercaya Sukarno menuliskan perjalanan hidupnya. Sesuatu yang zaman itu membingungkan banyak orang, karena pers Amerika kala itu dikenal ganas kepada Sukarno, sementara Sukarno sendiri tengah galak-galaknya mengumandangkan anti-imperialisme.

Tapi justru kepada bekas cheerleader di Andrew Jackson High School, St Albans, Long Island, ini Sukarno seolah-olah tak menyembunyikan segala sesuatu, termasuk hal-hal personalnya. Mulai masa kecil sampai istri-istrinya. Mulai pengasingan-pengasingannya, perasaannya dituduh sebagai kolaborator Jepang, sampai kegembiraannya mengunjungi Hollywood. Sebuah buku yang kemudian terbukti sangat populer. Membentuk citra Sukarno sampai hari ini. Sukarno yang pencinta wanita, Sukarno yang marhaen, Sukarno yang penuh selera tinggi pada kesenian. Seorang Sukarno yang penuh warna.

Antara 1961 dan 1964, Cindy Adams menginap di Hotel Indonesia sebagai tamu negara. Dan tiap pagi ia ke Istana, melakukan wawancara seraya menikmati kopi tubruk. "Saya dijemput mobil, saya lupa mereknya, Maxwell atau apa, tapi pokoknya berwarna biru." Cindy ingat tanya-jawabnya berlangsung santai, jauh dari formal. "Saya saat kecil waktu itu sering ngintip kalau Cindy mewawancarai Bapak. Dia kerap memakai baju merah. Lady in red. Dia rapi. Cantik elegan. Bolpoinnya saja bergambar bunga merah," Sukmawati Sukarno mengenang.

Menurut Sukma, tempat berlangsungnya wawancara itu sesungguhnya teras Istana, yang biasa dipakai Sukarno sarapan. "Teras itu dekat kamar Mas Guntur. Bapak suka di situ, karena adem dan bisa melihat rerumputan. Lama-lama tempat itu dipakai kantor, banyak tumpukan map," katanya. Sukma paham bila Sukarno memilih Cindy sebagai penulis riwayat hidupnya. "Bayangin, setiap hari Bapak harus ngobrol curhat sama seseorang. Kalau laki-laki, ya, wegah-lah. Kalau wanita cantik internasional kan semangat, ya."

Buku itu terbit pada 1965, sebulan setelah peristiwa 30 September. Penerbitnya The Bobbs-Merrill Company Inc, New York. Setelah penerbitan itu, Cindy pernah ke Indonesia, tapi hanya dua kali, yaitu pada 1974 dan 1983. "Saya masih agak takut karena saya dianggap Sukarnois," ujarnya kepada Tempo, yang siang itu mengunjunginya.

Setelah buku Sukarno, dia tak menulis buku biografi tokoh politik lain. Ia dikenal dekat dengan Imelda Marcos, dan pernah mewawancarai Shah Iran, tapi tak pernah membuat buku keduanya. Sejak 1979, ia malah dikenal sebagai kolumnis gosip di New York Post. Ia menulis skandal-skandal dan hal-hal picisan artis. Kalangan media sampai menjulukinya "ratu gosip New York". Ia misalnya pernah bermasalah dengan aktris Nicole Kidman karena menulis pernah melihat Kidman di belakang panggung minum wine saat hamil, sesuatu yang dibantah sang aktris. Betapapun demikian, kolom gosipnya sampai kini terus mengalir.

Dibanding tulisan-tulisan lain, mungkin Penyambung Lidah Rakyat tetap magnum opus-nya. Buku itu satu-satunya buku otobiografi Sukarno hingga kini. Pada 1950-an memang ada biografi Sukarno yang ditulis Mualif Nasution, tapi tipis. Mualif adalah pegawai sekretariat Istana. Dia dikenal sebagai orang yang menuliskan ceramah-ceramah dan mengumpulkan artikel Sukarno untuk buku Di Bawah Bendera Revolusi dan Sarinah.

"Sebetulnya Sukarno pernah menginginkan Willem Oltmans, sahabatnya, sejarawan dari Belanda, untuk menuliskan biografinya, tapi Oltmans tak menggarapnya," kata Peter Kasenda, sejarawan peneliti Sukarno. Oltmans sendiri kemudian menerbitkan buku Mijn Vriend Sukarno.

Menurut Peter, Howard Jones, Duta Besar Amerika saat itu, memiliki andil untuk meyakinkan Cindy agar menjadi biografer Sukarno. Itu diakui Cindy. "Howard Jones menghubungi saya. Saya kaget saat itu," ujar Cyndi. Kepada Tempo, Cindy mengatakan, sepanjang wawancaranya dengan Sukarno, tidak ada hal yang dilarang dipublikasikan oleh Sukarno—tidak ada untold story.

Harus diakui, sampai kini, buku Cindy menjadi rujukan bagi buku yang membahas Sukarno berikutnya. Bahkan anak-anak Sukarno, seperti dinyatakan Sukma, mempelajari ayahnya dari buku itu. Menurut sejarawan Taufik Abdullah, kelebihan utama buku Cindy Adams itu adalah betul-betul dapat mengungkapkan ego Sukarno. "Buku itu mampu menyajikan bagaimana Sukarno melihat dirinya sendiri. Dalam buku itu, Sukarno seperti mengatakan 'inilah saya'," kata Taufik. Menurut Taufik, bagian terbagus adalah bagian pendahuluan. Di bagian itu, Sukarno secara kuat mengatakan "inilah saya". "Baca paragraf pertamanya saja, akan terlihat betapa kuatnya Sukarno menyatakan diri."

Sukarno di paragraf pendahuluan itu mengatakan demikian:

"Cara yang paling mudah untuk melukiskan tentang diri Sukarno ialah dengan menamakannya seorang yang maha pecinta. Ia mencintai negrinya, ia mencintai rakyatnya, ia mencintai wanita, ia mencintai seni—dan melebihi daripada segala-galanya—ia cinta kepada dirinya sendiri."

l l l

Saat buku itu terbit, bukan tidak ada yang mempersoalkan akurasinya. Meski Cindy Adams mengaku telah melakukan check and balance, tampak ia menuliskan apa saja yang dituturkan Sukarno. Abu Hanifah, salah seorang tokoh dalam peristiwa Sumpah Pemuda, misalnya, dalam buku Tales of a Revolution mempertanyakan uraian Sukarno seputar Sumpah Pemuda. Dalam buku Cindy, Sukarno seolah-olah melukiskan diri memiliki peran yang sangat penting dalam Sumpah Pemuda. Ia ikut merumuskan Sumpah Pemuda. Menurut Abu Hanifah, peran Sukarno tidak sebesar itu. Hanifah menulis, tatkala Sukarno berada di sana, Sumpah Pemuda telah dinyatakan dan lagu Indonesia Raya telah diperdengarkan. Tidak ada bukti Sukarno berada di tengah-tengah gelanggang.

"Sesungguhnya ingatan Sukarno saat itu bisa kita persoalkan. Sukarno cenderung mengingat apa yang ingin dia ingat," ujar Peter Kasenda. Sukarno saat itu sudah tua dan sakit-sakitan. "Buku itu sebenarnya babad, karena ditulis saat Sukarno lagi berkuasa." Menurut Peter, riwayat Sukarno, misalnya, tidak bisa ditelan mentah-mentah. "Sukarno mengaku keturunan Sultan Kediri. Tapi belum dicek benar apakah benar demikian," kata Peter. Cindy sendiri mengaku banyak menemui tokoh untuk melakukan cek silang. "Tentu saja saya juga bertemu dengan Hatta dan Sjahrir saat itu," ujar Cindy. Tapi, seperti dikatakan Taufik Abdullah, pemikiran kedua tokoh tersebut di buku itu nihil. "Di buku tak terasa."

Terjemahan ke dalam bahasa Indonesia juga memiliki problem. Buku itu oleh penerbit Gunung Agung diluncurkan pada 1966. Yang menerjemahkan adalah Mayor TNI Angkatan Darat Abdul Bar Salim, atas restu Menteri/Panglima Angkatan Darat Letnan Jenderal Soeharto. Buku itu sendiri ketika Soeharto menjadi presiden pada Maret 1967 tidak diterbitkan lagi. Pada saat itu pemerintah Orde Baru gencar melakukan "de-Sukarnoisasi". Buku tersebut muncul lagi pada 1980-an. Banyak sejarawan yang membaca buku hasil terjemahan tahun 1966 itu melihat ada yang "tak beres" pada halaman-halaman yang menceritakan proklamasi di Jalan Pegangsaan Timur 56, Jakarta.

"Di buku terjemahan itu seolah-olah Hatta tidak memiliki peran dalam proklamasi," kata Taufik Abdullah. Dalam buku versi terjemahan Mayor Abdul Bar Salim itu, Sukarno mengatakan demikian:

"Tidak ada yang berteriak. 'Kami menghendaki Bung Hatta.' Aku tidak memerlukannya. Sama seperti juga aku tidak memerlukan Syahrir yang menolak untuk memperlihatkan diri di saat pembacaan Proklamasi. Sebenarnya aku dapat melakukannya seorang diri, dan memang aku melakukannya sendirian. Di dalam dua hari yang memecahkan urat syaraf itu maka peranan Hatta dalam sejarah tidak ada.

Peranannya yang tersendiri selama masa perjuangan kami tidak ada. Hanya Sukarnolah yang tetap mendorongnya ke depan. Aku memerlukan orang yang dinamakan 'pemimpin' ini karena satu pertimbangan. Aku memerlukannya oleh karena aku orang Jawa dan dia orang Sumatra dan di hari-hari yang demikian itu aku memerlukan setiap orang denganku. Demi persatuan aku memerlukan seorang dari Sumatra…."

"Dua paragraf itu—kami menyebutnya ayat-ayat setan—sudah ada sejak edisi terjemahan pertama tahun 1966," kata Giat Wahyudi, Kepala Divisi Kepustakaan dan Penerbitan Yayasan Bung Karno. Kedua alinea tersebut sama sekali tak ada dalam buku asli Cindy. Menurut Giat, pada 1980-an sejarawan Abdurrahman Surjomihardjo sudah mengingatkan soal itu. Tapi, karena situasi masih dalam Orde Baru, Yayasan Bung Karno belum begitu berani. "Pak Abdurrahman mengingatkan agar kami memeriksa naskah asli," ujar Giat.

Setelah reformasi, tepatnya pada 2001, menurut Giat, sejarawan Syafii Maarif juga pernah marah-marah di hadapan keluarga Bung Karno saat acara peringatan 100 tahun Bung Karno. Kata Buya Syafii, Bung Karno mengecilkan peran Bung Hatta. "Mas Guntur saat itu mengatakan, sepengetahuan beliau, Bung Karno tak pernah menjelekkan kawan-kawan ataupun lawan politiknya."

Akan halnya Peter Kasenda menduga kedua alinea tersebut ditambahkan sendiri oleh Mayor Abdul Bar Salim. "Dia mungkin intelijen," ucap Peter. Cindy sendiri ternyata juga tak mengetahui adanya dua paragraf itu dalam edisi Indonesia. "Sama sekali tidak ada kalimat demikian muncul dari Sukarno," kata Cindy. Ia baru tahu masalah itu ketika Tempo melakukan wawancara dengannya. "Saya sungguh baru tahu sekarang," ujarnya.

Benarkah Mayor Abdul Bar Salim menambahkan dua paragraf itu? Sayang, sang Mayor telah meninggal. Namun putranya, Erwin Salim, 56 tahun, membantah hal itu. "Dua paragraf itu jelas bukan dari bapak saya. Bapak saya bukan intelijen, sama sekali tak pernah berdinas intelijen," katanya. Erwin mengatakan bapaknya dipilih untuk menerjemahkan karena memang kemampuannya dalam menerjemahkan tinggi. "Bapak saya sebelumnya, tahun 1961, mengalihbahasakan buku K'tut Tantri, Revolt in Paradise, yang diterbitkan Gunung Agung. Semenjak itu, bapak saya kenal Haji Masagung, pemilik Gunung Agung. Bapak saya kemudian disuruh membantu Yayasan Idayu, yang didirikan Masagung," ujar Erwin.

Menurut Erwin, saat buku Cindy Adams terbit, Masagung meminta bapaknya menerjemahkan buku tersebut. "Mungkin karena terjemahan Bapak, Revolt in Paradise, laku keras," kata Erwin. Selama tiga bulan Mayor Abdul Bar Salim kemudian suntuk menerjemahkan otobiografi Sukarno itu. "Ibu saya bantuin buka-buka kamus."

Erwin menambahkan, saat menerjemahkan itu, ayahnya sudah berhenti dari tentara. Dinas terakhir ayahnya adalah di Pusat Sejarah Militer Angkatan Darat. Ayahnya pensiun dini, ketika berumur 38 tahun, pada 1964. "Saat tahun 1965 itu bapak saya sudah memakai pakaian sipil ke mana-mana," ujar Erwin. Jadi, menurut dia, dugaan bahwa bapaknya intelijen sangat tak beralasan. "Dua paragraf itu jelas bukan bahasa terjemahan bapak saya. Bahasa itu terlalu menggebu-gebu, meledak-ledak, sementara terjemahan bapak saya indah. Bapak saya, misalnya, menerjemahkan judul Revolt in Paradise menjadi Revolusi di Nusa Damai. Surga diterjemahkan menjadi nusa damai."

Erwin juga menganggap sama sekali tak mungkin apabila dua paragraf itu ditambahkan oleh orang-orang di penerbit Gunung Agung. "Setahu saya, di Gunung Agung banyak orang Minang. Masak, orang Minang mau jelek-jelekin Bung Hatta?" Erwin bahkan mengatakan editor buku terjemahan bapaknya di Gunung Agung adalah seorang penyokong Hatta. "Editor buku itu namanya Pak Ali Amran, orang Minang, Payakumbuh. Dia Hattais betul. Sayang, dia sudah meninggal."

Yang juga banyak orang tak tahu, menurut Erwin, bapaknya sekampung dengan Bung Hatta. Bapaknya adalah orang Agam dan sekolah di Bukittinggi. "Bapak saya tentara, tapi orang Minang. Orang Minang itu lebih mengutamakan Minangnya daripada tentara. Mana mungkin Bapak berani mendiskreditkan Hatta," katanya. Apalagi, menurut Erwin, terjemahan bapaknya juga dibaca Sukarno. Tentu, jika ada kesalahan, langsung dikoreksi. "Masagung waktu itu mempertemukan bapak saya dengan Sukarno dan Cindy Adams. Kalau ada kesalahan, tentu Sukarno tahu," ujarnya.

Pada 2007, atas inisiatif Yayasan Bung Karno, diterbitkan terjemahan baru untuk meluruskan berbagai kekeliruan. "Kami menugasi Syamsu Hadi, seorang wartawan senior, menelisik naskah aslinya," kata Giat Wahyudi. Buku itu kemudian diterjemahkan ulang oleh Syamsu Hadi. Dan dua paragraf kontroversial tersebut dihapus. Edisi revisi 2007 itu diterbitkan Media Pressindo. "Kami tidak sampai menginvestigasi siapa yang memasukkan paragraf itu. Kami hanya tahu penerjemahnya dulu adalah Abdul Bar Salim. Apakah dia yang memasukkan atau orang lain setelah proses penerjemahan, kami tidak menginvestigasi ke sana," ujar Giat.

l l l

Penerbitan edisi Indonesia sebuah buku mengenai Sukarno memang bisa sensitif. Bukan buku itu saja, agaknya. Dua tahun setelah menerbitkan Sukarno: An Autobiography as Told to Cindy Adams, Cindy meluncurkan buku lain tentang Sukarno. Judulnya agak "seram": My Friend the Dictator (1967). Penerbitnya juga Bobbs-Merrill Company. Buku ini merupakan catatan "behind the scenes" Cindy Adams saat melakukan wawancara dengan Sukarno.

Bagian penting buku ini adalah saat Cindy mengisahkan pertengkarannya dengan Sukarno menjelang penerbitan buku Sukarno: An Autobiography as Told to Cindy Adams. Sukarno mendadak berubah pikiran setelah membaca manuskrip otobiografinya. Ia tidak ingin buku itu ditulis dengan model penulisan kalimat "saya", yang berarti dia sendiri yang secara langsung mengisahkan riwayatnya kepada pembaca.

"Saya sudah putuskan saya tak menginginkan otobiografi ini. Aku ingin sebuah biografi. Tulis ulang!" kata Sukarno. "Itu tidak mungkin," ujar Cindy. Dia beralasan, sejak awal, mereka telah sepakat menulis otobiografi. Dia juga sudah menandatangani kontrak dengan berbagai penerbit dunia untuk sebuah buku otobiografi. "Butuh waktu enam bulan siang dan malam menulis di rumah untuk manuskrip yang kuserahkan kepada Anda," kata Cindy.

Sukarno berkeras agar Cindy mengubah manuskrip itu, tapi Cindy tetap menolak. "Aku tak akan membahas ini lagi. Ini yang terakhir. Itu ditulis ulang sebagai biografi atau tak akan terbit sama sekali," ujar Sukarno. Cindy naik pitam dan menggebrak meja. "Ini bukan akhir," katanya. Dua-duanya sama-sama keras kepala. Pertengkaran terus berlanjut sampai akhirnya Cindy mengaku bahwa dia khawatir akan kehilangan muka di hadapan para penerbit. Sukarno pun melunak, bahkan atas desakan Cindy hari itu pula Sukarno menandatangani surat persetujuan penerbitan buku otobiografi tersebut.

Buku My Friend the Dictator memang bisa melengkapi pembacaan siapa pun atas buku Sukarno: An Autobiography as Told to Cindy Adams. Buku ini sendiri dibuka dengan kisah bagaimana awalnya Cindy pada 1961 berkunjung ke Jakarta. Saat itu ia bekerja di NANA—North American Newspaper Alliance. Ia ikut rombongan kesenian Amerika yang dipimpin suaminya, Joey Adams, komedian yang ditunjuk John F. Kennedy mengepalai kunjungan seni keliling Asia. Di Istana Bogor, ia pertama kali bertemu dengan Sukarno.

Buku itu kemudian menceritakan bagaimana Sukarno menulis surat pribadi memintanya ke Jakarta untuk menulis buku. Dan bagaimana tatkala ia meminta visa, Zain, Duta Besar Indonesia di New York, saat itu sangsi bahwa Sukarno menunjuk Cindy sebagai biografer. "Tidak mungkin, Madame. Presiden kami tak akan membuat biografi selagi ia masih hidup."

Dalam "behind the scenes" tersebut, Cindy menulis, tak segan-segan Sukarno saat wawancara juga membicarakan hal-hal seperti Marilyn Monroe. "Saat saya di California, di Beverly Hotel, Marilyn Monroe menelepon saya, lalu dengan suara yang halus bagai bayi mengatakan: 'Halo, Presiden Sukarno, saya ingin ketemu Anda'," kata Sukarno seperti dituliskan Cindy. Sukarno juga mengisahkan hal-hal "jorok". "Kamu tahu bapak saya. Dia setengah muslim. Setengah theosophy. Kalau kami sakit, dia mengencingi kami!" Cindy secara blakblakan juga mengungkapkan Sukarno pernah menginginkan dia mengenakan kebaya saat wawancara. Sekali waktu Sukarno juga meminta Cindy mengecat rambutnya karena dia ingin rambutnya hitam kebiru-biruan seperti rambut Cindy.

Cindy juga mengisahkan pengalamannya menapaktilasi tempat-tempat bersejarah Sukarno, dari Surabaya, penjara Bantjeuj dan Sukamiskin di Bandung, Ende, sampai Tampak Siring di Bali. Ia bertemu dengan Inggit Garnasih, Fatmawati, Hartini, Ratna Sari Dewi, sampai Yurike Sanger. Ia juga mewawancarai Roeslan Abdulgani, Soebandrio, Ibrahim Adji, dan lain-lain.

Yang menjadi pertanyaan dari seluruh perjumpaan penuh kehangatan itu, mengapa Cindy mencantumkan judul "diktator" untuk sahabatnya? "Bagi semua orang di negara saya, beliau adalah diktator. Tapi judul itu untuk orang-orang Amerika, bukan untuk orang Indonesia," kata Cindy kepada Tempo. Dalam buku itu sendiri ia menyebutkan jurnalis Amerika lain saat itu banyak yang menjuluki Sukarno sebagai Hitler Asia.

Buku itu diakhiri kisah bahwa sebelum pulang ke Amerika, Cindy dan suaminya, Joey Adams, menyempatkan diri mengunjungi Sukarno di Istana. Jakarta sudah dikuasai Soeharto. Kondisi Sukarno menyedihkan. Untuk menghibur Sukarno, Cindy main tebak-tebakan: "Siapa MM pirang?" Sukarno menjawab, "Marilyn Monroe." Ketika mobil yang akan membawa mereka ke bandar udara sudah datang, Joey Adams sempat melontarkan tebakan terakhir ke Sukarno: "JC actress?" Sukarno dengan air mata berlinang menjawab, "Joan Crawford."

Buku itu pada 1971 diterbitkan di Indonesia oleh Gunung Agung. Tapi, berbeda dengan Sukarno: An Autobiography as Told to Cindy Adams, buku ini tetap diedarkan dalam bahasa Inggris. Namun judulnya diganti: bukan My Friend the Dictator, melainkan Sukarno, My Friend. Cindy mengaku mengetahui pengubahan judul menjadi lebih lunak itu, tapi ia tak ambil pusing. Itu hak penerbit, katanya. Ia menerima.

Ada yang mengatakan Cindy masa-masa itu dimanfaatkan oleh Howard Jones, yang bagi banyak orang adalah duta besar yang dekat dengan Badan Intelijen Amerika (CIA). Kala itu terjadi krisis hubungan antara Sukarno dan Amerika. Howard Jones membutuhkan seorang Amerika yang bisa menyenangkan Sukarno dengan membuat otobiografinya. Ia juga dibutuhkan untuk melaporkan situasi terakhir Sukarno dari dalam Istana sendiri.

Dalam My Friend the Dictator, Cindy secara jujur mengatakan selama di Jakarta banyak tokoh yang menyangkanya agen CIA. Sebagai penulis biografi Sukarno, dia diberi keleluasaan dan akses untuk mengorek banyak tokoh politik. Tapi, diakui Cindy, ada beberapa yang tak mau karena menganggapnya agen CIA. Sukarni dan Achmad Subardjo di antaranya.

Ketika Tempo menanyakan apakah Cindy memang benar seorang agen CIA yang disusupkan Howard Jones, dahinya agak berkerinyut. Ia seolah-olah ingat masa lalunya di sini, tatkala sebagian orang mencurigainya sebagai kaki tangan CIA. Secara tegas dan cepat dia menjawab, "Itu hal yang paling mudah untuk diucapkan."

Seno Joko Suyono, Kurniawan, Kartika Candra

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus