Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Film Pendekar Tongkat Emas dibuka dengan adegan puitis. Cempaka (Christine Hakim), seorang pendekar tua, berdiri dengan tongkatnya, dengan latar belakang matahari terbit yang bersinar keemasan. Suara paraunya membuka cerita, tentang kehidupan para jawara yang selalu diintai datangnya kematian. Membunuh atau dibunuh, hanya satu pilihannya.
Meski tampil tak lama dalam Pendekar Tongkat Emas, Christine bersinar paling terang dalam film ini. Sejak kemunculannya, ia adalah magnet layar, terutama dalam satu adegan kunci, yakni penyerahan tongkat emas kepada salah satu muridnya. Dalam adegan ini, ia menampilkan lapisan demi lapisan karakter Cempaka yang kompleks. Seorang "induk macan" yang paling mengenal anak-anaknya, seorang guru yang berwibawa, sekaligus manusia yang memikul beban masa lalu sendirian. Lewat Cempaka, Christine menunjukkan kelasnya.
Ketika ditemui Tempo sebelumnya dalam peluncuran Pendekar Tongkat Emas, Ifa Isfansyah, sutradara film ini, menyebutkan sejak awal Christine Hakim adalah tokoh yang "dikunci" untuk memerankan tokoh Cempaka. Didekati oleh Mira Lesmana, Riri Riza, dan Ifa, Christine rupanya tak mampu berkata tidak. "Karena diajak bekerja sama dengan sineas muda dengan prestasi seperti mereka adalah sebuah penghargaan bagi saya. Penghargaan kan tidak hanya diukur dari piala," ujarnya ketika ditemui di kawasan Jeruk Purut, Jakarta, pertengahan Desember lalu.
Bermain dalam film silat, tentu fisik Christine juga perlu digenjot, meski tak seberat yang dijalani para pemain utama, yang lebih banyak melakoni adegan laga. Untuk peran ini, selama tiga bulan ia mengikuti latihan ketahanan fisik, ditambah latihan koreografi. "Selain Tjoet Nja' Dhien, ini adalah film saya yang paling menguras secara fisik. Tapi kan Tjoet Nja' Dhien dibuat waktu umur saya masih muda banget," ucapnya, tertawa.
Dari pengalaman ini, Christine mengaku belajar banyak. Yang pertama adalah belajar tentang tubuhnya sendiri. Meskipun telah berusia 57 tahun, ia masih bisa menyelesaikan perannya dalam film ini. Selain itu, dalam proses produksi ini, ia belajar mendisiplinkan diri. Misalnya pukul delapan malam ia mewajibkan diri sendiri untuk sudah siap tidur. "Karena saya tahu besok syuting pasti akan berat dan menguras tenaga yang luar biasa," katanya.
Persiapan Christine jelas tak sebatas segi fisik. Ia juga betul-betul mematangkan karakter Cempaka. Apalagi peran sebagai pembuka film Pendekar Tongkat Emas membuatnya harus mampu menancapkan kesan mendalam di benak penonton. Yang langsung terpikir olehnya adalah bagaimana mengeluarkan suara Cempaka. "Sebab, kalau suara tidak saya ubah, karakter yang dulu-dulu saya mainkan bisa keluar semua," ujarnya.
Christine lalu mencoba merangkai masa lalu Cempaka. Tokoh ini dipercaya gurunya meneruskan perguruan, lalu menjadi seorang pendekar yang sejak muda harus membunuh untuk melawan kejahatan. Sendirian, ia juga membesarkan "anak-anak macan"—anak musuh-musuh yang telah dibunuhnya. "Coba bayangkan, seumur hidupnya ia membunuh. Ia geram, ia marah," katanya.
Geraman kemarahan ini kemudian menjadi modalnya menciptakan suara Cempaka. Kita menyaksikan wajah Christine dalam pembuka film memang tampak bagai seorang pendekar yang telah banyak makan asam-garam pertempuran. Suaranya parau, campuran antara geram dan kepedihan, tapi berwibawa. Christine berhasil memainkan karakter seorang pendekar sepuh yang sangat berhati-hati, ingin meninggalkan gelanggang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo