Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Comberan Raksasa di Utara Jakarta

Sampah, banjir, dan lumpuhnya usaha nelayan adalah dampak buruk proyek reklamasi. Selat antarpulau akan seperti kolam limbah.

1 Juni 2015 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PERAHU motor yang dikemudikan Maga Lotung tiba-tiba berhenti lima puluh meter menjelang Pelabuhan Kamal Muara, Penjaringan, Jakarta Utara. Asap mengepul dari mesin Mitsubishi Colt Diesel P 100 itu. "Ada pasir masuk ke knalpot dan mesinnya," kata Maga, Selasa pekan lalu.

Laki-laki 34 tahun yang tinggal di kampung nelayan itu turun dari kapal dan mendorongnya hingga dermaga. Hari itu, tiga bulan lalu, Maga baru mengantar wisatawan pelesir ke Pulau Onrust di Kepulauan Seribu. Sejak itu Maga berhenti melaut karena mesin kapalnya rusak dan harus ke bengkel, dengan ongkos perbaikan Rp 3 juta. "Selama tiga bulan saya kerja bantu teman," katanya.

Abdul Kadir Lamba, tokoh nelayan di sana, menambahkan, pantai pelabuhan Kamal mendangkal sejak awal 2015. Banyak nelayan yang memarkir kapalnya di bengkel karena mesinnya rusak. Para nelayan itu, kata Lamba, memaksa menerobos pasir untuk mengantar ikan dan tangkapan laut ke Tempat Pelelangan Ikan Kamal Muara.

Penyebabnya adalah pengurukan pasir oleh PT Kapuk Naga Indah. Anak usaha Agung Sedayu Group ini mulai membuat Pulau D, satu dari lima pulau yang izin reklamasinya telah mereka miliki, sejak akhir tahun lalu. Selain merusak kapal nelayan, kata Lamba, pasir reklamasi membuat harga ikan turun sejak itu. "Kapal telat merapat satu jam sehingga ikan tak segar lagi." Ikan bawal yang biasanya dijual Rp 40 ribu kini hanya Rp 30 ribu per kilogram.

Menurut Lamba, nelayan yang tinggal di kampung ini sejak 1964, kedalaman laut di pelabuhan tinggal satu meter dari tiga meter pada akhir 2014. Lamba dan rekan-rekannya pun melayangkan protes ke PT Kapuk Naga Indah. "Ihwal sedimentasi akibat reklamasi ini sudah lama diperkirakan," kata Widodo Setiyo Pranowo, peneliti Badan Penelitian dan Pengembangan Kelautan dan Perikanan Kementrian Kelautan dan Perikanan.

Kantor Widodo membuat studi tentang dampak pembangunan National Capital Integrated Coastal Development (NCICD) atau biasa dikenal sebagai Proyek Tanggul Laut Jakarta atawa Jakarta Giant Sea Wall. Hasilnya, 17 pulau reklamasi di Teluk Jakarta bakal menahan sedimen yang berasal dari 13 sungai.

Tahun lalu Balai Pengkajian Dinamika Pantai Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi juga membuat kajian pemodelan numerik terhadap Proyek Tanggul Laut Jakarta. "Konsentrasi sedimen bakal tersebar di badan sungai dan kanal, di antara pulau-pulau hasil reklamasi," kata Direktur Program Balai Pengkajian Dinamika Pantai Widjo Kongko, Rabu pekan lalu.

Laju sedimen akan meningkat bila sirkulasi arus laut berkurang dan daya flushing (pembilasan) dari pengaruh pasang-surut tidak ada lagi. Selama sekitar sepuluh hari, ujar Widjo, pertambahan ketebalan sedimen dasar laut lebih dari tiga sentimeter terjadi di daerah muara sungai.

Prediksi yang dibuat para ahli itu menjadi kenyataan. Lurah Kamal Muara, Roni Jarpiko, mengatakan Kali Kamal dan Pelabuhan Kamal semakin dangkal, yang membuat air sungai sulit mengalir ke laut. Pada musim hujan awal 2015, beberapa daerah seperti di Jalan Kamal Muara terendam banjir.

Dampak lain terlihat pada pencemaran logam berat di Teluk Jakarta. Sejak April sampai Agustus 2014, tim peneliti Balitbang KKP mengambil sampel air laut dan mengujinya di laboratorium. Hasilnya, kadar Pb (timah hitam) terlarut di perairan itu 0,001-0,005 ppm; Cd (kadmium) 0,018-0,026 ppm; Cu (tembaga) 0,005-0,007 ppm; Ni (nikel) 0,111-0,119 ppm; dan Zn (zinc) 0,001-0,041 ppm. Angka itu lebih tinggi dibanding riset sebelumnya yang dilakukan sejumlah ahli.

Penelitian Balai Pengkajian Dinamika Pantai BPPT menunjukkan penurunan kualitas air itu ditandai oleh perubahan parameter lingkungan. Antara lain kenaikan biological oxygen demand (BOD) lebih dari 100 persen, penurunan dissolved oxygen (DO) lebih dari 20 persen, dan penurunan salinitas air lebih dari 3 persen.

Hasil riset menunjukkan logam berat menjadi bahan racun bagi makhluk hidup. Biota dasar laut, seperti moluska, cacing, dan bentik, bakal mati. Logam berat, sedimentasi, dan sampah yang dibawa 13 sungai menjadi faktor kerusakan ekosistem terumbu karang di Kepulauan Seribu.

Indeks mortalitas karang (IMK) di Kepulauan Seribu selatan pun mencapai 0.75-1.00. Bahkan karang di selatan Pulau Untung Jawa pada kedalaman tiga meter memiliki IMK 1.0, yang menandakan semua karang telah mati.

Tim peneliti Balai Penelitian Kementerian Kelautan dan Perikanan menjelaskan, reklamasi menambah beban tekanan lingkungan sehingga mengancam lokasi terumbu karang di kawasan Kepulauan Seribu bagian utara. "Terjadi konflik antara upaya pengawetan dan perlindungan hutan bakau serta kehidupan liar di Suaka Margasatwa Muara Angke dengan reklamasi," ujar Deputi Tata Lingkungan Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) Imam Hendargo.

Dia mengutip kajian penilaian lingkungan cepat atau rapid environmental assessment yang dibuat konsultan DHI Water & Environment dan Kementerian Lingkungan Hidup. Reklamasi oleh PT Kapuk Naga Indah dan PT Jakarta Propertindo, kata Imam, akan mengubah periode retensi air dan menurunkan kualitas habitat mangrove, meski ada wilayah penyangga selebar 200 meter antara kanal reklamasi dan garis pantai.

Kepala Kelompok Peneliti Kerentanan Pesisir Kementerian Kelautan dan Perikanan Semeidi Husrin menjelaskan, hutan bakau membutuhkan sirkulasi air yang tak tawar dan tak terlalu asin. Jika proyek sudah jadi, masyarakat di pulau reklamasi bakal menghasilkan limbah air tawar. "Pertumbuhan mangrove bakal terganggu atau mati," katanya. Di Dubai, setelah reklamasi, bakaunya kerdil sehingga ikan-ikan sekarat.

Ancaman lain adalah amblesnya tanah. Penurunan permukaan tanah diperkirakan rata-rata 15 sentimeter per tahun di daerah reklamasi. Padahal kenaikan permukaan air laut di pesisir Jakarta hanya 7,3 milimeter per tahun. Walhasil, Jakarta semakin rentan banjir.

Riset yang dilakukan tim ahli Institut Teknologi Bandung mencatat penurunan tanah di kawasan Pluit, Muara Baru, dan Muara Angke pada 2000-2010 rata-rata 1,6 meter, bahkan ada daerah yang sudah turun hingga 4 meter. Andai kata tanggul laut jadi dibangun, wilayah pesisir dan Teluk Jakarta diprediksi bakal seperti kolam.

Lumpur dan sampah yang dibawa 13 sungai akan terjebak di kolam tersebut. Termasuk polutan berupa logam berat dan limbah industri lainnya. "Akhirnya selat reklamasi akan seperti comberan raksasa," kata Widodo.

Sebelum reklamasi selesai pun Ambo Upek sudah merasakan dampaknya. Warga Kelurahan Kamal Muara itu kini harus berjibaku menghadapi rob dan banjir pada musim hujan. Penghasilannya pun berkurang karena ternak kerang hijaunya di perairan Kamal Muara banyak yang mati tertutup pasir reklamasi. Pada 2013-2014, dia mendapat keuntungan Rp 7-8 juta per bulan. Sekarang, "Satu juta rupiah saja sudah alhamdulillah."

Untung Widyanto, Hussein Abri Yusuf

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus