Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Pasir Hilang, Pulau Terbilang

Perusahaan pemegang konsesi reklamasi Teluk Jakarta diduga mengeruk pasir dari Kepulauan Seribu. Dilaporkan ke Mabes Polri.

1 Juni 2015 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TIGA bulan terakhir, warga Pulau Pari kerap melihat kapal superbesar melintas tak jauh dari pantai mereka. Kapal berbendera Luksemburg dengan nama Cristobal Colon itu melintas pelan di bagian barat dan selatan pulau—dari arah Kamal di pantai Jakarta menuju Pulau Tunda, segugus daratan di Laut Jawa yang masuk wilayah Kabupaten Serang, Banten.

Dalam sehari, kapal hitam-putih setinggi 30 meter itu empat kali mondar-mandir melewati Pari—pulau terbesar di antara 110 pulau di Kabupaten Kepulauan Seribu di Teluk Jakarta. Saking besarnya, setiap kali melintas, laju kapal ini menimbulkan ombak setinggi dua meter. "Awal Mei lalu, ada turis tergulung ombak ketika sedang snorkeling," kata Wahyudin, warga pulau, pekan lalu.

Wahyudin bersama tetangganya, para nelayan, melarikan turis tersebut ke puskesmas. Paha sang tamu berdarah karena menghantam karang saat sedang berenang di Area Perlindungan Laut milik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia di sebelah barat pulau. Ketika itu, jam menunjukkan sekitar pukul 14.00. Menurut Wahyudin, Cristobal biasanya melintas pukul 10.00 dari arah Pelabuhan Kamal dan kembali empat jam kemudian.

Para nelayan sudah melaporkan keberadaan Cristobal kepada Bupati Tri Djoko Sri Margianto. "Kami resah karena jalur yang dia pakai sebetulnya tak boleh dilewati kapal besar," ujar Nurhayat, Ketua Rukun Tetangga 04 Pulau Pari. Di barat dan selatan pulau, laut cenderung tenang dengan kedalaman hanya 20 meter. Jalur kapal besar, kata Nurhayat, ada di utara, yang menjadi jalur resmi kapal dari Kalimantan menuju Tanjung Priok.

Menurut Nurhayat, ia pertama kali melihat Cristobal pada November 2014, sekitar pukul delapan pagi. Seumur hidup baru kali itu ia melihat kapal raksasa yang, saking besarnya, ketika melintas menimbulkan ombak deras ke arah darat. Ketika kapal itu pertama kali lewat, kata Nurhayat, warga Pari takjub dan cuma menonton dari bibir pantai.

Ketakjuban warga Pari sirna ketika Cristobal menjauh dan mereka bersiap melaut. Di Pari, penduduknya biasa memanen rajungan dan mengangkat bubu pada pagi hari. "Kami kaget karena terumbu dan bubu yang kami pasang sudah tak ada," ujar Nurhayat. Setiap nelayan di pulau ini rata-rata menebar 50 bubu. Sekitar 300 keluarga mengandalkan hidup dari melaut dan pariwisata di pulau seluas 41,3 hektare tersebut.

Kecemasan warga Pari kian menjadi ketika pada Januari dan Februari lalu gundukan pasir di pinggir pantai menghilang, berganti air laut. Melihat terumbu karang yang ikut hancur, Nurhayat menduga Cristobal melintas sambil menyedot pasir. "Soalnya, sambil melintas, kapal mengeluarkan belalai," katanya.

Tangkapan nelayan berkurang karena ikan-ikan di Pulau Lancang, yang tak jauh dari Pari, ikut raib sejak hari itu. Nurhayat lalu mengajak Muhammad Syahuri, tokoh masyarakat di sana, melaporkan hal itu ke Kepolisian Resor Kepulauan Seribu. Kepolisian meminta mereka membuat laporan resmi tentang kapal itu dan kerugian yang mereka alami. "Kami meneruskan laporan tersebut kepada Bupati," ujar Komisaris Mustakim, Wakil Kepala Polres Kepulauan Seribu.

Tri Djoko lalu mengadu ke Gubernur Jakarta Basuki Tjahaja Purnama. Basuki belum menanggapi laporannya ketika Tri Djoko mendapat panggilan telepon dari nelayan bahwa Cristobal Colon melintas lagi dan parkir di daerah Kamal. Memakai perahu motor berlogo pemerintah Kepulauan Seribu, Tri Djoko mengejar kapal itu ditemani seorang asisten.

Benar saja, kapal itu sedang buang sauh di Pelabuhan Kamal Muara, tak jauh dari pelelangan ikan. "Belalainya turun, menurunkan pasir," kata Tri Djoko. Wilayah itu merupakan konsesi reklamasi Pulau A, B, C, D, dan E yang sedang dibangun PT Kapuk Naga Indah, anak usaha raksasa properti Agung Sedayu Group milik taipan Sugianto Kusuma alias Aguan, yang mengantongi izin reklamasi pada 2007.

Tahu ada kapal mendekat, kata Tri Djoko, anak buah kapal yang memenuhi anjungan terlihat masuk ke geladak. Belalai pasirnya pelan-pelan terangkat. Djoko sempat memotret kapal besar itu dari boat-nya yang cuma seukuran ujung belalai Cristobal Colon. Ketika kapal Djoko mendekat, laut tiba-tiba berontak. Ombak membesar karena mesin kapal dihidupkan. "Kami hampir terbalik," ujarnya.

Djoko balik badan. Tapi foto-foto hasil jepretannya menguatkan laporan masyarakat tentang aktivitas kapal pengeruk pasir. Ia kembali melaporkan temuannya itu kepada Gubernur Basuki. Awal Maret lalu, Basuki membahas dugaan pencurian pasir bersama kepala dinas dan wali kota se-Jakarta. Ahok—demikian Basuki biasa disapa—mendukung Djoko yang melaporkan Cristobal ke polisi. "Kami buat laporan ke Markas Besar Polri pada 9 Maret," katanya. "Tapi belum ada tindak lanjut sampai sekarang."

Menurut Djoko, pencurian pasir tak sekali ini saja terjadi. Sejak 1970, setidaknya lima pulau di Kepulauan Seribu raib. Dalam catatan pemerintah Kepulauan Seribu, ada 15 lokasi yang pasirnya diangkut kapal-kapal pencuri yang diduga disewa perusahaan reklamasi. Ia memperkirakan sekitar 2 juta meter kubik pasir hilang—setara dengan seperseratus kebutuhan pasir untuk membuat 17 pulau baru di Teluk Jakarta.

* * * *

IZIN kapal Cristobal Colon melayari perairan Indonesia terbit pada 19 November 2014. Menteri Perhubungan Ignasius Jonan memberikannya kepada PT Energy Marine Indonesia, perusahaan angkutan laut yang menyewa Cristobal. Jonan hanya memberi izin kapal milik Dredging and Maritime Management SA di Belgia itu berlayar hingga 31 Desember 2014.

Wilayah kerjanya berada di koordinat 1060–43'–33.048" E hingga 60–05'–25,398" S. Ini adalah koordinat di wilayah Kamal di dekat Kapuk, Jakarta Utara, tempat parkir Cristobal ketika hendak didatangi Bupati Djoko. Pelabuhan yang boleh disinggahi Cristobal adalah Sunda Kelapa, Karangantu, Tanjung Priok, Kepulauan Seribu, dan Marunda. Kapal khusus pengeruk ini berkapasitas 46 ribu meter kubik pasir dengan bobot mati 46.373 ton.

Membawa 37 awak, kapal buatan 2008 berkode panggilan LXZP itu dipimpin Kapten Goedknegt Cornelis. PT Energy Marine mengontraknya sejak 21 Agustus 2014 hingga 30 April 2015 buat mengangkut pasir untuk reklamasi oleh PT Kapuk Naga Indah. Pasir yang dibawa sedianya berasal dari Pulau Tunda, pulau 300 hektare di wilayah Serang, yang konsesinya dimiliki PT Moga Abadi Cemerlang.

Berdasarkan izin Bupati Serang Deddy Setiadi pada 31 Juli 2012, PT Moga mengantongi izin menambang pasir di 13 area. Setiap area luasnya 500-1.000 hektare, dengan izin menambang pasir maksimal setebal dua meter. Kontraknya diberikan kepada Direktur PT Moga, Adil Prananda. "Kami mengambil pasir dari kedalaman 40-50 meter di bawah permukaan laut," ujar direktur PT Moga yang tak ingin disebut namanya.

Menurut direktur itu, perusahaannya memiliki konsesi pasir di Pulau Tunda sejak 2006. Waktu itu, tak ada batasan luas konsesi penambangan pasir. Belakangan, pemerintah mengatur luas maksimal per titik yang boleh ditambang tak lebih dari 1.000 hektare. Izin cukup dikeluarkan bupati, kata dia, karena tata ruang diatur pemerintah kabupaten. Dengan mengeruk dasar laut setebal dua meter, area 1.000 hektare itu menghasilkan 1,7 juta meter kubik pasir. "Kami memasok pasir untuk PT Kapuk Naga Indah," ujar direktur itu.

Kapuk Naga memiliki izin menguruk Teluk Jakarta untuk membuat lima pulau seluas 1.331 hektare, konsesi terluas dibanding yang dimiliki sembilan perusahaan lain. Total area reklamasi di Teluk Jakarta adalah 5.153 hektare, terpecah dalam 17 pulau. Untuk menguruk lima pulau itu, Kapuk Naga membutuhkan setidaknya 840 juta meter kubik.

PT Kapuk harus menguruk laut sedalam delapan meter untuk menghasilkan pulau yang akan menjadi permukiman, perkantoran, dan pusat bisnis baru di Jakarta Utara. Reklamasi diperkirakan selesai pada 2020 dan bisa dihuni sepuluh tahun kemudian.

Direktur PT Moga ragu Cristobal Colon berani mengambil pasir di Pulau Pari—kawasan terlarang karena masuk kawasan cagar alam. Menurut dia, terlalu naif jika bisnis besar reklamasi direcoki "urusan kecil" pencurian pasir. Kapten Goedknegt Cornelis tak membalas surat elektronik permintaan klarifikasi yang dilayangkan Tempo ke alamat yang ia cantumkan dalam manifes.

Lagi pula, kata dia, untuk keperluan reklamasi, dibutuhkan pasir khusus yang diambil dari laut dalam, bukan pasir perairan dangkal yang tercampur karang dan sampah laut. Meski begitu, dia tak membantah, Cristobal melintas di jalur ilegal. "Untuk menghemat biaya," ujarnya. Perihal laporan penduduk bahwa Cristobal merusak terumbu karang, dia mengatakan, "Enggak mungkin, karena selesai menyedot, belalainya terangkat lagi."

Untuk mengklarifikasi laporan Djoko, pada Kamis pekan lalu, Gubernur Basuki memanggil para kontraktor pasir ke kantornya. Dalam pertemuan tertutup itu, mereka menyangkal telah mencuri pasir. Menurut mereka, kapal canggih seperti Cristobal akan mudah diketahui ketika mencuri pasir karena dilengkapi global positioning system. "Cek saja GPS mereka, pasti terlacak," kata Basuki menyetujui alibi para kontraktor.

Dipimpin Nono Sampono—anggota Dewan Perwakilan Daerah yang gagal menjadi wakil gubernur berpasangan dengan Alex Noerdin dalam pemilihan 2012—PT Kapuk Naga Indah urung menjawab permintaan klarifikasi Tempo. Awalnya, Nono menyatakan berniat berkunjung ke kantor Tempo untuk menjelaskan segala tudingan. Belakangan, dengan alasan sibuk, ia membatalkan kunjungan itu. Lewat stafnya, Nono mengatakan belum waktunya menjelaskan dugaan pencurian pasir oleh Cristobal Colon, kapal yang disewa perusahaannya.

Bagja Hidayat, Hussein Abri Yusuf


1985

  • Izin reklamasi untuk PT Taman Harapan Indah dan PT Pembangunan Jaya Ancol membuat Pulau Mutiara.

    Juli 1995

  • Presiden Soeharto menerbitkan Keputusan Presiden Nomor 52 Tahun 1995 tentang Reklamasi Pantai Utara Jakarta.
  • Isinya, kavling 17 pulau yang menyatu dengan daratan Jakarta. Soeharto membentuk dua perusahaan, PT Manggala Krida Yudha, yang dipimpin anaknya, Mamiek Soeharto, dan PT Jaladri Kartika Ekapaksi di bawah Hutomo Mandala Putra. Keduanya mendapat hak reklamasi Pulau I, L, dan M. Berikutnya izin untuk PT Kapuk Naga Indah, PT Muara Wisesa (anak usaha Agung Podomoro), dan PT Intiland.

    Agustus 1995

  • Pemerintah Jakarta menerbitkan Peraturan Daerah Nomor 8 Tahun 1995 tentang Penyelenggaraan Reklamasi dan Rencana Tata Ruang Kawasan Pantura Jakarta.

    September 2000

  • Keputusan Gubernur Jakarta Nomor 138 Tahun 2000 tentang Tata Cara Penyelenggaraan Reklamasi Pantai Utara Jakarta tentang 17 pulau reklamasi seluas 5.135 hektare oleh sepuluh perusahaan.

    Februari 2003

  • Menteri Lingkungan Hidup menerbitkan Surat Keputusan Nomor 14/2003 yang melarang kegiatan reklamasi dan revitalisasi pantai. Keputusan ini digugat perusahaan pemegang hak reklamasi.

    Juli 2007

  • Terbit Undang-Undang Nomor 27 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil.

    Januari 2012

  • Pemerintah Jakarta menerbitkan Peraturan Daerah Nomor 1 Tahun 2012 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah 2030.

    September 2012

  • Terbit Peraturan Gubernur Nomor 121 tentang Penataan Ruang Kawasan Reklamasi Pantai Utara Jakarta. Gubernur Fauzi Bowo mengubah desain reklamasi dengan memisahkan pulau selebar 200-300 meter dari daratan Jakarta. Pengembang menjadi: PT Pelabuhan Indonesia II, PT Manggala Krida Yuda, PT Pembangunan Jaya Ancol, PT Jakarta Propertindo, PT Muara Wisesa Samudra, PT Jaladri Ekapaksi, PT Kapuk Naga Indah.

    Desember 2012

  • Terbit Peraturan Presiden Nomor 122 Tahun 2012 tentang kewenangan memberikan izin dari Kementerian Kelautan dan Perikanan.

    Juli 2013

  • Terbit Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 17/Permen-KP/2013 tentang Perizinan Reklamasi di Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil.

    23 Desember 2014

  • Gubernur Basuki Tjahaja Purnama memberikan izin reklamasi kepada PT Muara Wisesa Samudra.

    Maret 2015

  • Keputusan Gubernur Basuki memberi izin kepada Muara Wisesa digugat ke Pengadilan Tata Usaha Negara.

    Desember 2017

  • Batas waktu izin reklamasi Muara Wisesa. Izin akan ditinjau ulang.
  • Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    Image of Tempo
    Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
    • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
    • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
    • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
    • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
    • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
    Lihat Benefit Lainnya

    Image of Tempo

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    >
    Logo Tempo
    Unduh aplikasi Tempo
    download tempo from appstoredownload tempo from playstore
    Ikuti Media Sosial Kami
    © 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
    Beranda Harian Mingguan Tempo Plus