Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PARA pegiat menilai pernyataan Yusril Ihza Mahendra sebagai upaya pengkhianatan dan mengabaikan penuntasan kasus pelanggaran HAM berat. Padahal Tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat Masa Lalu, yang dibentuk pada era Joko Widodo, mengakui ada 12 kasus pelanggaran HAM berat, termasuk kasus 1997-1998.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pernyataan Yusril ini bisa menjadi pemicu pemerintahan Prabowo Subianto bersikap lepas tangan terhadap penuntasan kasus pelanggaran HAM. Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan mencatat pernyataan Yusril itu menguatkan dugaan bahwa pemerintahan Prabowo tak memprioritaskan penuntasan kasus pelanggaran HAM berat. Hal itu bisa dilihat dalam 8 misi Asta Cita pemerintahan Prabowo, yang tidak mencantumkan penuntasan kasus pelanggaran HAM berat sebagai program prioritas.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Para pegiat mendesak pemerintahan Prabowo bertindak progresif. Penuntasan kasus pelanggaran HAM berat tidak lagi secara non-yudisial. Penuntasan secara non-yudisial menyebabkan langgengnya impunitas negara. Maka penuntasannya harus melalui pengadilan HAM.