Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ringkasan Berita
Lahan basah di sejumlah wilayah Ogan Komering Ilir, Sumatera Selatan, mengering lima bulan terakhir. Peternak kerbau rawa terkena imbasnya.
Dampak kemarau berkepanjangan merembet ke sumber pendapatan para ibu. Wujud nyata kelompok perempuan paling rentan terhadap efek perubahan iklim.
El Nino hanya memperparah keadaan. Nyatanya, rawa gambut di Ogan Komering Ilir telah lama terdegradasi oleh industri kehutanan, perkebunan sawit, dan proyek-proyek infrastruktur.
SERATUSAN kerbau rawa (Bubalus bubalis) bergegas keluar dari sebelas kandang di Pulau Tapus, Desa Bangsal, Kecamatan Pampangan, Ogan Komering Ilir, Sumatera Selatan. Mereka berbaris menuju Lebak Kuro, lalu menyebar dalam sejumlah kelompok. Sabtu pagi itu, 11 November lalu, rerumputan yang baru tumbuh di rawa gambut tersebut sudah menunggu untuk disantap.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Hampir lima bulan rumput-rumput itu berangsur-angsur menghilang dari Lebak Kuro. Kemarau berkepanjangan sejak El Nino datang pada Juni lalu membuat lahan basah berupa rawa gambut dan sungai di Desa Bangsal mengering. Lebak Kuro, yang terbentang sekitar 100 hektare di sisi selatan Sungai Pampangan, turut meringkai.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Kemarin hujan turun. Makanya, sebagian rumput di lebak mulai tumbuh. Senang rasanya,” kata seorang peternak, Muhammad Sayuti.
Sayuti, 63 tahun, sudah hampir separuh abad menjadi peternak. Dia punya dua kandang yang menjadi rumah bagi 68 ekor kerbau pampangan—begitu nama rumpun kerbau endemik Sumatera Selatan ini. Kerbau-kerbau itu dilepasgembalakan setiap pagi di rawa gambut yang mengelilingi Pulau Tapus—disebut pulau karena berupa daratan besar di tengah sungai.
Setelah memastikan puluhan kerbau rawa miliknya pergi ke lahan penggembalaan, Sayuti mengambil cupak, canting berukuran 750 mililiter. Dia kembali masuk ke salah satu kandang. Di sana, seekor kerbau rawa masih terikat. Betina itu tengah menyusui anaknya yang baru berusia 6 bulan.
Perlahan Sayuti menjauhkan si gudel, lalu meraih puting susu sang induk. Dia memerahnya selama lebih-kurang tiga menit. Jika pakannya cukup, seekor kerbau rawa yang tengah menyusui menghasilkan paling sedikit empat cupak—sekitar 3,25 liter—susu per hari. “Sekarang tidak lebih dari 1,5 liter per hari,” ujarnya.
Peternak, Sayuti, memerah kerbau rawa miliknya di Pulau Tapos, Desa Bangsal, Kecamatan Pampangan, Ogan Komering Ilir, Sumatera Selatan, 11 November 2023. TEMPO/Taufik Wijaya
Produksi susu dari kandang kerbau Sayuti menurun bersamaan dengan mengeringnya lebak-lebak di Desa Bangsal. Rumput-rumput kumpai, kegemaran kerbau pampangan, semestinya tumbuh terendam di dasar rawa. Celakanya, musim kemarau kali ini tidak seperti pada tahun-tahun sebelumnya. Hujan, yang biasanya kembali membasahi rawa pada September, sudah dua bulan telat turun.
“Untung panen padi berlangsung sekitar Oktober lalu sehingga kerbau-kerbau kami dapat pasokan makanan berupa jerami padi," kata Sayuti. "Kalau tidak ada jerami padi, mungkin sudah ada kerbau yang mati kelaparan.”
Kerbau rawa di Desa Bangsal, Kecamatan Pampangan, memiliki kekerabatan dengan kerbau murrah dari Asia Selatan. Asal-usulnya melintang jauh pada awal abad ke-19, ketika Kesultanan Palembang mendatangkan indukan kerbau dari kawasan Teluk Benggala dan ditempatkan di Pampangan yang khas dengan rawa gambutnya.
Kerbau-kerbau dari India itu kemudian kawin silang dengan kerbau lokal sehingga mengalami perkembangan genetik dan menjadi hewan endemik yang kini dikenal sebagai kerbau pampangan. Pemerintah, melalui Surat Keputusan Menteri Pertanian Nomor 694/Kpts/PD.410/2/2013, menetapkan kerbau pampangan sebagai rumpun kerbau lokal dan kekayaan sumber daya genetik alias plasma nutfah ternak lokal Indonesia. Menteri Pertanian saat itu, Suswono, juga menetapkan bahwa kerbau pampangan harus dilindungi dan dilestarikan.
Hingga November lalu, populasi kerbau rawa di Desa Bangsal sebanyak 577 ekor. Ratusan kerbau rawa tersebut tersebar di sejumlah wilayah kandang, seperti Pulau Tapus, Ulak Kuto, Darat, dan Ujung Kuro. Produksi susu hanya dilakukan oleh peternak-peternak di Pulau Tapus. Sedangkan kebanyakan peternak di Ulak Kuto, Darat, dan Ujung Kuro berfokus membesarkan kerbau rawa untuk dijual ke peternak-peternak lain di Kecamatan Pampangan.
Kandang kerbau rawa di Pulau Tapos, Desa Bangsal, Kecamatan Pampangan, Ogan Komering Ilir, Sumatera Selatan, 11 November 2023. TEMPO/Taufik Wijaya
Dua kandang milik Sayuti berjajar dengan kandang-kandang milik Amir Rozali, Faisal Arifa, dan Arifin Abu di Pulau Tapus. Sepanjang musim kemarau tahun ini, hanya kandang Sayuti yang masih memproduksi susu kerbau rawa.
Amir punya 54 ekor kerbau pampangan. Ketika rumput kumpai berlimpah pada musim hujan, seekor kerbau yang tengah menyusui di kandang Amir bisa menghasilkan sekitar tujuh cupak susu. Namun pria 47 tahun itu sengaja tak memerah kerbau-kerbau rawa betina miliknya yang tengah menyusui. Seperti kerbau Sayuti, kerbau-kerbau Amir juga kesulitan mencari makan selama musim kemarau tahun ini yang berkepanjangan.
"Saya takut anak-anak kerbau saya pertumbuhannya terganggu jika susu induknya diambil," kata Amir. Ia punya 54 ekor kerbau rawa.
Begitu pula Faisal, yang sudah lima bulan tak memproduksi susu dari kandang miliknya yang berisi 24 ekor kerbau rawa. "Selain faktor makanan berkurang, kerbau saya yang menyusui cuma seekor,” kata pria 43 tahun ini.
Kerbau rawa yang dipelihara warga Desa Bangsal bukan untuk diperjualbelikan sebagai sumber ekonomi. Kerbau rawa yang dipelihara hanya dimanfaatkan susunya untuk kemudian dijual ke sejumlah kelompok usaha pembuat gula puan—bahasa lokal yang berarti gula susu. Peternak hanya menjual kerbau mereka jika membutuhkan biaya yang cukup besar, seperti untuk sekolah, pernikahan, ataupun berobat.
Pendek kata, kerbau rawa semacam tabungan keluarga bagi warga Bangsal. Seekor gudel yang berumur sekitar satu tahun dihargai Rp 7-8 juta. Adapun kerbau dewasa yang beratnya sekitar 200 kilogram biasa dilego Rp 20 juta per ekor.
Dan “tabungan” Sayuti, Amir, dan Faisal terus menyusut selama musim kemarau tahun ini. Karena pendapatan dari penjualan susu berkurang atau bahkan menghilang, tiga peternak bertetangga itu terpaksa menjual kerbau-kerbau mereka lebih banyak dibanding pada tahun-tahun sebelumnya. “Setiap tahun kami pasti menjual kerbau. Tapi hanya satu atau dua. Tahun ini mungkin bisa lebih dari empat,” kata Sayuti.
Sayuti sudah menjual empat anak kerbau miliknya dalam lima bulan terakhir. Pada waktu yang hampir bersamaan, Amir melego lima ekor anak kerbau. Sedangkan Faisal empat ekor. Gudel-gudel itu dibeli oleh peternak lain dari desa tetangga, seperti Desa Kuro dan Desa Menggeris.
Anak sungai Pampangan surut akibat Kekeringan di Lebak Kuro, Desa Bangsal, Kecamatan Pampangan, Ogan Komering Ilir, Sumatera Selatan, 10 November 2023. TEMPO/Taufik Wijaya
Banyak yang Terkena Getahnya
Stasiun Klimatologi Kelas I Sumatera Selatan telah menyalakan alarm bahaya sejak awal Maret lalu. Unit Pelaksana Teknis Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) itu memperingatkan tentang anomali cuaca akibat fenomena iklim tahun ini, termasuk El Nino, yang bisa berdampak pada sejumlah sektor ekonomi-sosial masyarakat.
Kala itu, BMKG memperingatkan musim kemarau di Sumatera Selatan akan dimulai pada Mei, lebih awal dibanding pada tahun-tahun sebelumnya, dan mencapai puncaknya pada Juni-Agustus. Kemarau di sebagian besar wilayah diprediksi bersifat di bawah normal alias lebih kering dibanding rata-rata 30 tahun terakhir.
Analisis terbaru yang dirilis pada Oktober lalu menggambarkan kondisi yang sebenarnya. Data Stasiun Klimatologi Kelas I Sumatera Selatan menunjukkan, hingga September 2023, hari tanpa hujan di sebagian besar wilayah Sumatera Selatan ini bertambah panjang.
Selama musim kemarau, Ogan Komering Ilir dan Ogan Komering Ulu Timur menjadi kabupaten yang paling lama tak diguyur hujan serta masuk kondisi ekstrem—lebih dari 60 hari tanpa hujan. Hingga akhir September lalu, hujan sudah 70 hari tak kunjung turun di Ogan Komering Ilir. Sedangkan di Ogan Komering Ulu Timur, hujan absen 67 hari. Sebagai perbandingan, hari tanpa hujan di Ogan Komering Ilir tahun lalu paling lama hanya 32 hari. Itu pun terjadi pada periode Juni-Juli 2022.
Kecamatan Pampangan termasuk yang paling terkena dampaknya. Sepanjang September 2023, curah hujan di daerah ini tercatat hanya 1 milimeter per hari, jauh di bawah rata-rata curah hujan setiap September selama tiga dekade terakhir yang sebesar 64-87 milimeter.
Hasil analisis citra satelit menggambarkan bagaimana wajah Kecamatan Pampangan berubah drastis sejak El Nino memperparah kekeringan pada musim kemarau tahun ini. Rawa gambut di sekitar Desa Bangsal tak ubahnya padang tandus pada September lalu.
Berada sekitar 50 kilometer di sisi tenggara Kota Palembang, Bangsal tidak seperti desa lainnya di Kecamatan Pampangan yang mulai berkembang seperti permukiman di kota. Jangan berharap menemukan minimarket di desa sini. Kalau warung manisan ada tiga.
Sebagian wilayah Desa Bangsal masuk dalam Kesatuan Hidrologi (KHG) Gambut Sungai Burnai-Sungai Sibumbung. Kawasan gambut seluas 86,67 ribu hektare—hampir 1,5 kali wilayah DKI Jakarta—ini membujur dan mengiris enam kecamatan di Ogan Komering Ilir, dari Lempuingjaya di selatan hingga Pampangan di utara. Karena itu, kebanyakan warga Bangsal tinggal di rumah panggung yang terbuat dari kayu. Sedikit juga di antara mereka yang punya sepeda motor ataupun mobil.
Pembuat gula puan, Hena, mengolah susu kerbau rawa menjadi gula di Desa Bangsal, Kecamatan Pampangan, Ogan Komering Ilir, Sumatera Selatan, 11 November 2023. TEMPO/Taufik Wijaya
Roda ekonomi di desa ini tak hanya diputar oleh kaum pria. Hampir semua ibu rumah tangga di Bangsal juga melakukan aktivitas yang mendatangkan pendapatan bagi keluarganya. Mereka menjadi perajin gula puan, penyadap getah karet, ataupun pembuat kerupuk dan kemplang.
Walhasil, dampak kemarau berkepanjangan itu tak hanya dirasakan peternak seperti Sayuti, Amir, dan Faisal. Berkurangnya pasokan susu dari kandang-kandang kerbau rawa juga memukul Kelompok Usaha Gula Puan Desa Bangsal, perkumpulan pembuat gula susu yang dikelola ibu-ibu di Bangsal. Dari lima pembuat gula puan di kelompok usaha itu, hanya Hena yang masih bisa mengolah susu kerbau rawa menjadi gula.
Hena, 63 tahun, tak lain adalah istri Sayuti. “Saya masih beruntung karena kerbau rawa kami masih menghasilkan susu,” katanya.
Meski begitu, produksi gula puan Hena juga anjlok. Sebelumnya, dia bisa membuat 3 kilogram gula puan per hari. Satu kilogramnya akan dijual Rp 125 ribu. “Sekarang, sehari hanya menghasilkan setengah kilogram gula puan,” ujarnya.
Amblasnya pasokan susu kerbau rawa membuat Talha, Ketua Kelompok Usaha Gula Puan Desa Bangsal, bersusah hati. Siang itu, Ahad, 12 November lalu, dia menghabiskan waktu di rumahnya dengan menonton acara televisi. Dua anaknya sekolah. Sedangkan sang suami menggembala kerbau rawa. “Kerja saya sekarang banyak nonton TV. Saya penganggur,” kata Talha, terus tersenyum.
Selama musim kemarau berkepanjangan, rumah Talha mendadak sepi. Biasanya rumah kayu bercat hijau itu menjadi tempat ibu-ibu para perajin gula puan berkumpul untuk mengantarkan dagangan. Hampir delapan tahun, rumah itu dijadikan pusat pemasaran gula puan di Desa Bangsal sehingga kerap ramai pembeli.
Ketua Kelompok Usaha Gula Puan Desa Bangsal, Talha, menunjukan gula susu di Desa Bangsal, Kecamatan Pampangan, Ogan Komering Ilir, Sumatera Selatan, 12 November 2023. TEMPO/Taufik Wijaya
Dijelaskan Talha, kelompoknya biasa mengolah 10 liter susu kerbau per hari untuk dijadikan 4-5 kilogram gula puan. Tapi itu hanya ketika kerbau rawa di desanya tak kekurangan makanan. Sedangkan dalam beberapa bulan terakhir kelompoknya sulit mendapat susu kerbau. “Saya bae sudah tiga bulan tidak membuat gula puan,” kata perempuan 43 tahun itu.
Kelompok usaha yang dipimpin Talha tak hanya kehilangan potensi pendapatan dari gula puan, tapi juga minyak kerbau. Minyak sapi—begitu masyarakat setempat menyebutnya—dihasilkan dari lemak di permukaan susu kerbau yang didiamkan setidaknya selama satu jam. Enam liter susu kerbau sudah cukup untuk menghasilkan satu kilogram minyak sapi. “Biasanya kami jual Rp 200 ribu per kilogram,” kata Talha.
Angkut Joni, Kepala Desa Bangsal, pun ikut risau akan rentetan dampak dari hilangnya pendapatan warga desanya selama musim kemarau panjang ini. Sebanyak 184 keluarga, atau sekitar 450 jiwa, tinggal di kampung ini. Mayoritas di antara mereka hidup dari peternakan kerbau rawa, pertanian, perkebunan, dan perikanan.
Dalam penghitungan kasar Angkut, jika pakannya mencukupi, kerbau-kerbau pampangan di desanya bisa menghasilkan 300 liter susu dalam sebulan. Peternak menjual susu itu seharga Rp 20 ribu kepada pembuat gula puan.
Kelompok perempuan pembuat gula puan di Desa Bangsal bahkan merugi lebih besar lagi. Dari 300 liter susu kerbau yang mereka olah dalam sebulan bisa menghasilkan sekitar 150 kilogram gula puan dan 50 kilogram minyak puan. Jika per kilogram gula puan dihargai Rp 125 ribu dan minyak sapi Rp 200 ribu, selama kemarau bisnis pengolahan gula puan rumahan di Desa Bangsal kehilangan potensi pendapatan setidaknya Rp 28,75 juta per bulan karena stop produksi.
“Artinya puluhan juta rupiah hilang dalam beberapa bulan terakhir hanya dari susu kerbau rawa dan produk turunannya,” kata Angkut.
Penyadap getah karet upahan, Herman, meletakan wadah untuk tetesan getah karet di Desa Bangsal, Kecamatan Pampangan, Ogan Komering Ilir, Sumatera Selatan, 12 November 2023. TEMPO/Taufik Wijaya
Yang bikin Angkut tambah waswas, kemarau panjang tak hanya memukul para peternak kerbau rawa dan pembuat gula puan, tapi juga pekebun karet. Saat ini, total luas kebun karet milik warga Desa Bangsal sekitar 65 hektare. “Rata-rata warga pemilik kebun punya 2 hektare,” ujarnya.
Selama musim kemarau panjang kali ini, kata Angkut, produksi getah karet di desanya juga merosot tajam. Sebelumnya, setiap hektare kebun karet yang ditanami sekitar 500 batang bisa menghasilkan 320 kilogram getah karet per bulan. “Beberapa bulan terakhir hanya 200 kilogram,” ujarnya. Dengan asumsi harga Rp 6.500 per kilogram, getah dari setiap hektare kebun karet hanya menghasilkan Rp 1,3 juta per bulan, menyusut Rp 780 ribu dibanding sebelum kemarau datang.
Panjangnya buntut kemarau tahun ini memukul lebih kencang warga Desa Bangsal seperti Maliha, yang keluarganya tak punya kerbau rawa, kebun karet, juga sawah. Maliha, 34 tahun, saban hari menjadi buruh upahan penyadap getah karet di kebun seluas 1,5 hektare milik orang lain. Ibu dua anak ini biasa melakoninya bersama suaminya. Upah yang mereka dapatkan dihitung separuh dari hasil kebun tersebut.
Sebelum kemarau menerjang pada Juni lalu, keluarga Maliha masih bisa mengantongi penghasilan Rp 1,2 juta sebulan. “Empat bulan ini, upah kami hanya Rp 900 ribu per bulan,” kata Maliha. “Sekarang apo bae (apa saja) kami lakukan untuk hidup. Dari upahan panen padi atau mencari ikan.”
Wujud Bahaya Perubahan Iklim
Arfan Abrar, peneliti kerbau rawa dari Universitas Sriwijaya, memperkirakan kemarau panjang yang disertai El Nino tahun ini mempercepat laju penurunan populasi kerbau pampangan. Tanpa kemarau saja, kata dia, jumlah individu kerbau rawa di Ogan Komering Ilir, terutama di Kecamatan Pampangan, sudah menyusut.
“Penyebabnya adalah berkurangnya lahan penggembalaan tempat kerbau rawa mencari pakan dan berendam, perkawinan sedarah, serta sistem budi daya yang masih bersifat tradisional,” kata Arfan.
Badan Pusat Statistik (BPS) Ogan Komering Ilir mencatat penurunan populasi kerbau rawa di kabupaten kaya gambut tersebut. Pada 2017, ternak kerbau di Ogan Komering Ilir masih tercatat 11.150 ekor. Jumlah kerbau ini menyusut tinggal 7.727 ekor pada 2020. Penurunan terbanyak pada periode itu terjadi di Kecamatan Pampangan, dari semula 5.418 ekor menjadi 1.899 ekor.
Hasil survei terakhir yang dilakukan Arfan pada awal tahun ini menunjukkan kelangsungan kerbau rawa pampangan semakin mengkhawatirkan. “Tinggal sekitar seribu ekor di Kecamatan Pampangan,” katanya.
Menurut Arfan, kemarau panjang meningkatkan risiko kematian pada anakan kerbau rawa. Gudel yang berusia 4-6 bulan sangat membutuhkan susu induknya karena sistem pencernaannya belum mampu mencerna pakan hijau yang berserat kasar. Sementara itu, hilangnya rumput sumber pakan menyebabkan bobot sang induk menyusut. Produktivitas susunya pun berkurang pada masa laktasi.
“Induk kerbau rawa yang kurus tidak mampu memproduksi susu untuk gudel,” kata Arfan. “Pada akhirnya gudel banyak yang rentan terserang penyakit dan mati muda.”
Dian Maulina, pengajar di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Islam Negeri Raden Fatah Palembang, mengatakan bencana serupa terjadi di wilayah lain di kawasan-kawasan rawa gambut Ogan Komering Ilir. Penurunan produksi susu kerbau hanyalah salah satu wujud dampak kemarau berkepanjangan di wilayah tersebut. Dampak lainnya juga dirasakan oleh sektor perikanan air tawar akibat rusaknya gambut.
“Populasi ikan air tawar juga menurun sehingga berdampak pada produk kuliner turunannya, seperti kerupuk, kemplang, pempek, pekasam (fermentasi ikan), ikan asin, dan ikan asap,” kata Dian.
Seperti yang dialami oleh kelompok pembuat gula puan di Desa Bangsal, kata Dian, kemarau panjang selama El Nino tahun ini juga memukul para perempuan yang punya banyak andil dalam sektor ekonomi tersebut. “Ini mempertegas betapa rentannya para perempuan yang hidup di lahan basah terhadap perubahan iklim,” ujarnya.
Perkebunan sawit di rawa gambut di Desa Bangsal, Kecamatan Pampangan, Ogan Komering Ilir, Sumatera Selatan. Mongabay Indonesia/ Humaidy Kenedy
El Nino Hanya Memperparah
Malapetaka di Desa Bangsal sebetulnya tak semata karena cuaca. Rawa gambut di desa ini semakin terdegradasi ketika perkebunan sawit perlahan mulai memakan lahan basah di sejumlah desa tetangga, dua windu lalu. Sejak saat itu pula lebak-lebak di Bangsal mengering setiap musim kemarau datang.
“Kemarau yang disertai El Nino tahun ini memperparah kekeringan yang hampir terjadi setiap tahun,” kata Muhammad Husin, warga Bangsal yang aktif di Serikat Petani Indonesia Sumatera Selatan.
Husin mencontohkan sawit yang kini memenuhi rawang Pulo Johor di Desa Pulau Betung. Lahan basah pasang-surut itu dulunya juga tempat menggembala kerbau rawa dan menanam padi yang merupakan kesatuan ekosistem dengan rawa Ulak Kuto di Desa Bangsal. Ketika rawang Pulo Johor berubah fungsi menjadi perkebunan sawit, rawang Ulak Kuto mulai terganggu. “Pada musim kemarau mengalami kekeringan, pada musim hujan terjadi banjir,” kata Husin.
Ancaman akibat meluasnya perkebunan sawit ini tak hanya dirasakan ketika musim kemarau. Pada musim hujan, limpasan air dari perkebunan juga turun ke rawa dan sungai, membawa serta aneka pupuk kimia. “Airnya membuat banyak ikan mabuk, mungkin beracun,” ujarnya.
Sebagian wilayah Desa Bangsal juga turut terbakar ketika El Nino memicu lonjakan kebakaran hutan dan lahan pada 2015. Karena itu, desa ini menjadi salah satu target restorasi gambut. Melalui program ini, pemerintah membantu masyarakat setempat mengembangkan ikan asap, menanam pakan kerbau rawa, dan memproduksi gula puan. Desa Bangsal juga terbebas dari kebakaran tujuh tahun terakhir.
Namun, menurut Husin, semua program itu tak menuntaskan persoalan utama berupa lahan-lahan basah yang terus terdegradasi akibat meluasnya perkebunan. Rusaknya rawa gambut membuat populasi ikan menurun. “Rumput pakan kerbau rawa juga tidak tumbuh pada musim kemarau seperti yang terjadi beberapa bulan terakhir,” ucapnya.
Petugas dari Manggala Agni Daops OKI dan Daops Lahat melakukan pemadaman kebakaran lahan gambut di Desa Jungkal, Kecamatan Pampangan, Ogan Komering Ilir, Sumatera Selatan, 7 November 2023. ANTARA/Nova Wahyudi
Merujuk pada data Center for International Forestry Research (CIFOR), luasan gambut di Sumatera Selatan mencapai 1,73 juta hektare. Hampir separuhnya, yakni seluas 769 ribu hektare, berada di wilayah Kabupaten Ogan Komering Ilir. Sedangkan sisanya tersebar di Kabupaten Ogan Ilir, Kabupaten Banyuasin, Kabupaten Musi Banyuasin, dan Kabupaten Musi Rawas.
Degradasi lahan gambut di Sumatera Selatan sebenarnya telah dimulai pada 1970-an dengan kehadiran perusahaan-perusahaan pemegang izin hak pengusahaan hutan (HPH). Setelah itu, ekosistem gambut berangsur-angsur tertekan oleh program transmigrasi, perluasan kebun sawit, dan perizinan hutan tanaman industri (HTI). Belakangan pembangunan infrastruktur yang digeber pemerintah turut menggasak lahan basah ini.
Hutan Kita Institut (HaKI), lembaga lingkungan hidup di Sumatera Selatan, mencatat setidaknya 1,12 juta hektare rawa gambut telah rusak atau berubah fungsi. Sebagian besar di antaranya, yakni lahan gambut seluas 559 ribu hektare, terdegradasi karena diduduki oleh 17 perusahaan HTI pemasok pabrik-pabrik bubur kertas di Sumatera. Sebanyak 70 korporasi perkebunan kini juga menanam sawit di atas gambut seluas 231,7 hektare. Sisanya, lahan basah seluas 332 ribu hektare, menjadi permukiman, perkebunan rakyat, pabrik, dan jalan.
Yusuf Bahtimi Samsudin, peneliti lahan basah dan kandidat doktoral Universitas Oxford, menilai degradasi rawa gambut di Indonesia disebabkan oleh kekeliruan memandang ekosistem lahan basah. Perluasan industri kehutanan dan perkebunan telah diikuti pembangunan kanal-kanal raksasa yang justru mengubah fisik ekosistem rawa gambut serta membuatnya rentan terbakar.
Celakanya, pemangku kepentingan sekarang cenderung mengelola lahan gambut hanya pada urusan mitigasi bencana kebakaran. Belakangan, atas nama ketahanan pangan nasional, lahan gambut di Indonesia juga dirambah industrialisasi pertanian. “Mereka hanya melihat rawa gambut sebagai tanah kosong yang tidak dimanfaatkan dan tidak memberikan manfaat bagi kesejahteraan masyarakat,” kata Yusuf. Semestinya, menurut dia, pengelolaan gambut mengedepankan kearifan masyarakat setempat yang sudah lama memiliki tradisi dan budaya dalam memanfaatkan ekosistem lahan basah secara bijak.
Laporan khusus "El Nino: Cerita Dampak dari Tapak" ini merupakan hasil kolaborasi pendanaan peliputan Koran Tempo, Tempo Institute, dan Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Laporan khusus ini merupakan hasil kolaborasi Koran Tempo dan Tempo Institute.
Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan turut mendukung pendanaan peliputan pada sektor pertanian.