Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Sepuluh tahun dirancang, proyek PLTA Kayan tak kunjung terwujud.
Nasib PLTA Kayan setelah peresmian Kawasan Industri Hijau Indonesia.
Warga desa di sepanjang Sungai Kayan bukan satu-satunya yang terancam.
LIMA kayu masih terpancang di tepi Sungai Kayan wilayah Desa Muara Pangean, Kecamatan Peso, sekitar enam jam perjalanan menggunakan perahu kencang dari Kecamatan Tanjung Selor, ibu kota Kabupaten Bulungan, Kalimantan Utara. Jumat, 21 Januari lalu, ukiran burung enggang juga masih bertengger di bagian atasnya. Delapan tahun lalu, lima batang ulin yang penuh ukiran motif Dayak itu ditancapkan dengan sebutan Tugu Lima, penanda dimulainya proyek pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) Kayan oleh PT Kayan Hydro Energy (KHE) pada 2014.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sejak saat itu, pembangkit raksasa yang dulu digembar-gemborkan bakal menjadi PLTA terbesar se-Asia Tenggara tersebut tak kunjung ada wujudnya. Di lokasi groundbreaking, selain tugu yang kini dikelilingi semak belukar tersebut, hanya ada lima kontainer berkelir biru tempat penyimpanan bahan bakar minyak dan satu rumah kecil untuk petugas jaga.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Seorang penjaga mengatakan lokasi pembangunan bendungan PLTA Kayan 1 berada sekitar 1 kilometer ke arah hulu Kayan dari lokasi peresmian proyek. Namun upaya menemukan lokasi persisnya seperti mencari jarum di tumpukan jerami.
Tanda keberadaan perusahaan di kawasan Sungai Kayan hanya plang di lokasi peresmian yang berisi informasi sederet izin pelaksanaan proyek. Sebenarnya, menurut Kepala Desa Long Peso, Pulinop Jaui, perusahaan juga telah memulai pembebasan lahan, termasuk untuk akses penghubung jalan poros yang dibangun pemerintah daerah.
Namun sejauh ini pembebasan lahan baru tuntas untuk tanah yang dipakai buat acara groundbreaking dan gudang bahan peledak. Bahan peledak kelak dibutuhkan untuk mengebom tebing-tebing sungai agar bisa menciptakan waduk besar guna menampung air dan menghasilkan riam pembuat setrum. “Masyarakat sempat meminta Rp 250 ribu per meter persegi, tapi perusahaan angkat tangan,” kata Pulinop. Harga yang diminta pemilik lahan itu jauh di atas tawaran KHE yang cuma Rp 3.000 per meter persegi.
Di tengah tak jelasnya kelanjutan proyek PLTA Kayan, warga desa di sepanjang tepi Sungai Kayan diliputi rasa waswas jika kelak proyek ini terealisasi. Ding, Sekretaris Desa Long Peso, menuturkan bahwa masyarakat khawatir jika dam PLTA Kayan 1 jebol. Berada di hilir bendungan, desa yang bersebelahan dengan Desa Muara Pangean ini akan menjadi desa pertama yang ketiban bala jika dam itu runtuh.
Ding masih ingat pengalamannya ketika diajak perusahaan, bersama sejumlah pejabat pemerintah, menengok Bendungan Tiga Ngarai di Yichang, Hubei, Cina, sepuluh tahun lalu. Di mata Ding, bendungan terbesar di dunia itu amat canggih. “Tapi kita tidak tahu apakah ini (bendungan PLTA Kayan) akan sama,” tutur Ding. Lagi pula, dia menambahkan, keahlian manusia membuat bendungan akan mengubah kondisi alam. “Kita tidak tahu sejauh mana kekuatan yang sudah disiapkan untuk menangkal kekuatan alam itu.”
•••
PROYEK Pembangkit Listrik Tenaga Air Kayan kembali menarik perhatian setelah Presiden Joko Widodo meresmikan dimulainya pembangunan Kawasan Industri Hijau Indonesia (KIHI) di pesisir selatan Kabupaten Bulungan pada 21 Desember 2021. KIHI bisa dibilang menjadi merek baru Kawasan Industri dan Pelabuhan Internasional (KIPI) Tanah Kuning-Mangkupadi, salah satu proyek strategis nasional yang digagas sejak 2017.
Sejak awal KIPI Tanah Kuning-Mangkupadi disiapkan menjadi kawasan industri hijau. Maksudnya, seluruh kebutuhan listriknya akan dipenuhi energi ramah lingkungan. PLTA Kayan, yang disiapkan sejak 2012, adalah calon pemasok utama setrum untuk kawasan ini. PLTA Kayan 1 hanya satu dari lima unit bendungan dan generator yang akan dibangun KHE sehingga total kapasitas semua pembangkitnya bisa mencapai 9.000 megawatt. Bendungan ini akan berjajar ke arah hulu Sungai Kayan yang sudah lama dinilai sangat potensial untuk pengembangan PLTA.
Desa Long Peliban, desa yang akan terendam kalau bendungan PLTA Kayan beroperasi. (foto:: Koalisi Masyarakat Sipil untuk Energi Terbarukan di Kalimantan Utara)
Seretnya pembangunan PLTA Kayan akhirnya disiasati PT Kalimantan Industrial Park Indonesia, pengembang KIHI, dengan menjalin perjanjian kerja sama dengan PT Kayan Hydropower Nusantara yang berencana membangun PLTA Mentarang berkapasitas 1.375 megawatt di Malinau, Kalimantan Utara.
Nasib PLTA Kayan pun kini penuh tanda tanya. KHE sebagai pengembang mengklaim telah menjalin komitmen dengan investor Cina. Sedangkan Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan sudah lama menyindir proyek ini, yang dianggap jalan di tempat.
Dua pekan sebelum peresmian KIHI, pada awal Desember 2021, Menteri Luhut kembali berbicara keras. “Orang yang pegang konsesi dari pemerintah sampai sebelas tahun tidak beroperasi, kita cabut perizinannya, kita berikan langsung ke yang bisa kerja,” ucap Luhut saat itu di Tanjung Selor. “Kita cari yang paling cepat, langsung ada duitnya, jangan omong-omong saja.”
Belakangan, survei lokasi memang dilakukan juga oleh Fortescue Future Industries Pty Ltd. Perusahaan di bawah Fortescue Metals Group milik konglomerat asal Australia, Andrew Forest, ini berminat mengembangkan potensi listrik di sungai yang sama.
•••
DI tengah ketidakpastian tentang kelanjutan proyek PLTA Kayan dan pengembangnya kelak, banyak masalah yang lebih dulu dihadapi masyarakat di desa-desa sepanjang Sungai Kayan. Sementara warga Desa Long Peso ragu terhadap kekuatan bendungan yang akan dibangun, warga Desa Long Lejuh dan Long Pelban sudah terombang-ambing oleh rencana proyek ini.
Kelak, jika dam jadi dibangun, Long Lejuh dan Long Pelban bakal ditenggelamkan karena berada di wilayah sebelum bendungan Kayan. Warga kedua desa ini akan dipindahkan. Namun rencana relokasi ini pun sama gelapnya dengan proyek bendungan, dari soal harga pembebasan lahan sampai lokasi tempat tinggal baru. “Saya mau saja direlokasi, tapi perlu kejelasan dulu," ujar Tegun, 56 tahun, Jumat, 21 Januari lalu.
Kepala Desa Long Lejuh, Irawan, menyebutkan warganya tidak menolak proyek PLTA. Bagaimanapun, kata dia, masyarakat Kalimantan Utara membutuhkan listrik. Apalagi KHE berjanji membangun kota kecil untuk warga yang direlokasi. “Jadi dengan ucapan itu kami senang. Tapi kelihatannya masih sebatas harapan,” ucap Irawan.
Mohammad Wahyu Agang, dosen Universitas Borneo Tarakan yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat Sipil untuk Energi Terbarukan di Kalimantan Utara, mengatakan kejelasan rencana proyek amat dibutuhkan warga di pinggiran Sungai Kayan. Rencana relokasi, misalnya, tidak hanya membuat masyarakat waswas mengenai kehidupan mereka kelak di tempat tinggal baru. “Sekarang juga mereka mau berladang jadi ragu, nanti jangan-jangan direlokasi,” tutur Wahyu, Kamis, 20 Januari lalu. “Artinya, ini tak hanya berdampak terhadap ekonomi masyarakat di masa mendatang, tapi juga sekarang.”
Pada 11 November 2021, Wahyu dan rombongan koalisi yang juga beranggotakan pegiat lingkungan kembali menggelar pertemuan rutin dengan warga sejumlah desa yang akan menjadi lokasi pembangunan PLTA Kayan 1-5. “Kami sekalian mengambil data lapangan tentang kondisi sosial, ekonomi, dan ekologi,” kata Antonius, Field Officer WWF Indonesia untuk Bulungan. “Koalisi melihat dampak rencana pembangunan proyek ini sehingga perlu menyiapkan masyarakat saat pembangunan berjalan dan setelahnya.”
Chrisandini, Energy Project Leader WWF Indonesia, juga mengungkapkan kekhawatirannya, yang lebih dari sekadar soal nasib masyarakat di sekitar Kayan. “Yang jarang terekspos adalah dampak proyek terhadap sungai itu sendiri yang tidak teridentifikasi, terutama terhadap keanekaragaman hayati di dalamnya," ujarnya.
Kegelisahan Chrisandini bukan tanpa alasan. Pada September-Desember 2019, saat musim hujan, sekelompok peneliti dari Universitas Kalimantan Utara dan Universitas Borneo yang dipimpin Abdul Jabarsyah Ibrahim, Rektor Universitas Kalimantan Utara, meneliti keanekaragaman perairan Sungai Kayan. Riset awal ini menunjukkan Sungai Kayan menyimpan sedikitnya 27 spesies ikan, tidak termasuk krustasea, reptil, dan burung.
Penelitian kedua yang digeber selama enam bulan pada 2020 mendapat temuan lebih banyak: 37 spesies dari 16 famili ikan dan 5-6 spesies udang. Di antara temuan itu, ada jenis ikan yang masuk daftar merah Uni Internasional untuk Konservasi Alam (IUCN) karena hampir punah, seperti kuyut (Bagarius yarelli), wader gua (Barbodes microps), dan cawing hidung (Schismatorhynchos heterorhynchos). Ketiga spesies ikan ini ditemukan di hulu dan anak-anak Sungai Kayan yang berair jernih dengan substrat berbatu.
Direktur Operasional PT Kayan Hydro Energy Khaerony mengatakan penentuan titik relokasi diserahkan sepenuhnya kepada warga desa. Dia mengklaim perusahaannya telah membuat kajian induk untuk merealisasi rencana ini. “Masyarakat sudah menentukan titik relokasi dan sudah disepakati dengan pemerintah daerah dan perusahaan,” kata Khaerony saat dihubungi pada Sabtu, 22 Januari lalu. Adapun ihwal dampak proyek terhadap lingkungan, dia menjawab singkat, “Sudah dikaji dalam amdal (analisis mengenai dampak lingkungan).”
AISHA SHAIDRA, NOORJANNAH (BULUNGAN)
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo