Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Mengikuti Protes Aleida

Kalangan anak muda dan punk Berlin menolak kebijakan Angela Merkel yang menyetujui bujet untuk mendukung perang Sekutu di Afganistan.

24 November 2008 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

”Stopt Militarismus und Krieg!”

SEKELOMPOK remaja berambut punk berdiri di dekat bekas tembok Berlin, Brandenburg. Seorang di antaranya mengibarkan bendera warna pelangi bertulisan ”Peace”. Seorang lain membawa poster antiperang. Di dadanya menempel pin bundar berdiameter tiga sentimeter, dalam bahasa Jerman yang menyeru: stop militerisme dan perang.

Mereka menjadi bagian dari ribuan orang yang berkumpul di gerbang timur dan barat Berlin, Sabtu pekan ketiga September lalu. Mereka membawa aneka atribut. Scarf, pin, bendera, poster, spanduk, dan kaus. Berbagai kelompok kiri dan organisasi antimiliterisme dari sejumlah negara tiba di sana. Suara mereka satu: menolak perang.

Demonstrasi besar-besaran ini berlangsung pada Sabtu, 21 September lalu. Di depan gerbang, pengeras suara berteriak. Orasi datang silih berganti.

Salah seorang dari mereka Aleida Guevara, putri tokoh revolusioner legendaris Che Guevara. Perempuan yang mengusung ideologi kiri untuk meneruskan gagasan ayahnya itu menolak perang di Afganistan, Palestina, Irak, dan Kongo. Ia menentang rencana Amerika Serikat menyerang Iran dengan alasan negeri Persia itu mengembangkan nuklir. ”Mesin perang telah membunuh manusia. Hentikan perang,” katanya.

Setelah berorasi di depan Brandenburg, Aleida dan rombongan demonstran berjalan kaki keliling kota. Dari gerbang, mereka menuju arah kiri, melintasi dekat memorial Yahudi yang berupa balok-balok semen raksasa yang membangun labirin. Selanjutnya, mereka terus berjalan menuju Unter den Linden. Ini sebuah kawasan kelas utama jalanan Berlin. Jalan dengan bulevar lebar berpayung rimbun pohon linden. Bangku-bangku taman menjadi penghiasnya. Di sini tersimpan sejarah Hitler sering menggelar pasukan.

Melintas satu setengah kilometer dari Unter den Linden, demonstran bergerak ke lapangan di halaman Universitas Humboldt. Kampus ini dulu berada di wilayah Jerman Timur. Di sinilah gerakan mahasiswa melawan militerisme tumbuh. Mahasiswa Universitas Humboldt menjadi pilar utama bagi gerakan menjebol tembok Berlin.

Dari alun-alun ini, demonstran kembali mengular melintasi jalan penting Berlin. Mereka berhenti di titik depan Konserthaus, alun-alun lain di Berlin. Di sini panggung telah berdiri. Mereka membuka layar besar di belakang panggung, menentang perang di Afganistan. Simbol yang mereka usung adalah gambar tiga tentara dalam lukisan hitam dihalang setrip merah dalam lingkaran merah.

Anak-anak muda bertato, dengan tindik di telinga, bibir, dan hidung itu berteriak-teriak memaki para politikus dunia. Mereka memaki Presiden Bush sebagai teroris besar dunia. Replika tank yang mereka bawa berkeliling itu akhirnya mereka bakar. Polisi sempat bersitegang dengan sekumpulan anak muda pembakar. Tapi asap dan abu tak terbendung, menyesakkan napas.

Pemerintah Kanselir Angela Merkel menyetujui bujet untuk mendukung perang Sekutu di Afganistan. Merkel sendiri pernah menggunakan baju militer untuk mendukung pengerahan pasukan Jerman dalam perang. Kelompok kiri Jerman menjuluki keterlibatan Jerman dalam perang adalah bagian dari bangkitnya Nazi di negeri itu. Karena itulah, mereka menuduh Merkel masuk jaring pemerintah militerisme. Sesuatu yang traumatis bagi Jerman.

Sejak 1995, militer Jerman mendapat pengakuan internasional menjalankan misi perdamaian. Negeri ini mengirim sekitar 6.700 tentara ke sejumlah wilayah konflik. Misalnya Bosnia-Herzegovina, Kosovo, Ethiopia-Eritrea, Angola, Georgia, Afganistan, dan Uzbekistan. Tapi publik Jerman kuat menentang hal ini. Kelompok antiperang yang dimotori oposisi dan kelompok kiri Jerman menyebut kebijakan ini sebagai bangkitnya peran Jerman sebagai ”penjajah”. Jerman memiliki sejarah kelam pemerintahan militer di era Nazi.

Anak-anak yang mengharamkan perang ini menutup aksi mereka dengan menyanyi dan bergoyang gembira. Gadis-gadis asli Jerman berbaur dengan ABG keturunan Turki. Tidak jauh dari situ, beberapa lelaki berkulit legam terlihat tertawa bersama pria Amerika Latin. Mereka bergandeng tangan, menyongsong masa depan tanpa bau mesiu. Muhammad Sharif, pria Afganistan yang menyaksikan demonstrasi itu, terharu. ”Mereka berempati terhadap penderitaan bangsa kami,” katanya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus