Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

arsip

Dari Bharata sampai G-Pluck

The Beatles langsung mendapat perhatian publik Indonesia tak lama setelah kemunculannya pada awal 1960-an. Menginspirasi musikus Tanah Air.

2 Agustus 2019 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ABADI Soesman masih ingat betul momen pertamanya jatuh cinta pada grup musik legendaris Inggris, The Beatles. Waktu itu, pada akhir 1963, Abadi, yang tinggal di Malang, Jawa Timur, dan masih duduk di bangku sekolah menengah pertama, kerap mendengarkan lagu I Want to Hold Your Hand milik The Beatles yang diputar Australian Broadcasting Corporation (ABC), radio Australia yang siarannya menjangkau Indonesia. “Saya selalu antusias mendengarkannya,” kata musikus 70 tahun itu, Rabu, 10 Juli lalu.

Saat itu, ABC sering memutar karya musik yang masuk tangga lagu di Inggris dan Australia. Salah satunya I Want to Hold Your Hand, yang menjadi hit tak lama setelah dirilis Beatles pada November 1963. Tapi Abadi tak bisa mendengarkannya sesuka hati. Selain kerap muncul suara gelombang yang mengganggu siaran radio ABC, lagu itu salah satu yang dilarang pemerintah Sukarno lantaran dianggap berbau Barat. Pada masa Orde Lama, segala hal yang berbau Barat masuk kategori neokolonialisme-kolonialisme-imperialisme atau nekolim. “Dengerinnya enggak boleh keras-keras,” ujar Abadi. “Kalau ketahuan, bisa ditangkap.”

Beberapa minggu berselang, giliran I Saw Her Standing There yang masuk tangga lagu. Seperti sebelumnya, Abadi selalu bersemangat setiap kali mendengarkan lagu yang dirilis Beatles pada Maret 1963 itu. Menurut Abadi, dua lagu tersebut membawa perubahan bagi perkembangan musik di Indonesia—setidaknya bagi pilihan musik Abadi sendiri. Sebelumnya, lagu-lagu yang diputar di radio lebih banyak beraliran klasik atau jazz. Hadirnya lagu-lagu Beatles membawa nuansa baru yang menyegarkan telinga pendengar di Indonesia: rock and roll. “Waktu itu kan lebih banyak musik yang teoretis. The Beatles mengabaikan aturan-aturan musik tersebut,” ucap Abadi.

Kekaguman Abadi menjadi-jadi ketika mengetahui “dapur” Beatles: empat personel yang semuanya bisa bernyanyi, memainkan alat musik, dan menciptakan lagu. Fakta itu dianggap menghancurkan pembagian tugas dalam bermusik pada 1960-an yang kolot, yakni penyanyi, pemain band, dan pencipta lagu terpisah sehingga dibutuhkan banyak orang untuk membawakan sebuah lagu.  Beatles, yang tampil minimalis, justru bisa menghadirkan harmoni melalui musik yang komunikatif dan lagu yang ringan. “Mereka memang fenomenal sekali saat itu,” kata Abadi.

Abadi, yang waktu itu masih belajar bermain piano, mulai mencoba membawakan lagu-lagu Beatles di rumahnya. Tapi ia sulit melafalkan lirik lagu-lagu itu lantaran di Indonesia belum ada yang menjual buku lirik lagu. Internet, yang memudahkan pencarian segala hal, pun tak ada pada masa itu. Abadi hanya berupaya mendengarkan dengan teliti lagu-lagu Beatles agar bisa mengetahui liriknya. Tak jarang ia salah melafalkan lirik ketika menyanyikannya. Misalnya Can’t Buy Me Love—dirilis Beatles pada Maret 1964—yang ia ucapkan “Den Prawiro”. “Yang penting musiknya sama,” ujar Abadi, terkekeh.

Dari situ, Abadi menjadikan Beatles sebagai inspirasinya dalam bermusik. Musikus dan pencipta lagu yang terampil bermain gitar, piano, dan sound synthesizer itu tercatat beberapa kali bermain musik dalam format band, dari Irama Abadi pada 1960-an, Gipsy dan God Bless pada 1970-an, hingga Tarantulla dan Bharata Band pada 1980-an. Di Bharata Band, Abadi berperan sebagai gitaris. Bersama Tato Bharata (vokal dan gitar), Harry Bharata (vokal dan bas), serta Jelly Tobing (drum), Abadi memainkan lagu-lagu Beatles di Bharata Band. “Waktu itu God Bless vakum sehingga saya mencoba ber-entertain memainkan lagu-lagu Beatles,” ucapnya.

Pada 2008, Abadi membentuk Abadi Soesman Lonely Heart Club Band, yang kemudian berganti nama menjadi Abadi Soesman Band. Grup ini dibentuk khusus untuk membawakan lagu-lagu Beatles. Selain Abadi, ada empat personel dalam grup itu, yang beberapa kali berganti formasi. Sejak berdiri hingga sekarang, Abadi Soesman Band rutin tampil di sebuah mal di kawasan Serpong, Tangerang Selatan, Banten, setiap Senin malam. Selama dua jam, mereka membawakan kurang-lebih 40 lagu Beatles, yang sebagian besar permintaan para penonton.

 

λ λ λ

SIHIR The Beatles dalam jagat musik tak hanya membuat musikus Indonesia kagum, terinspirasi, dan sering membawakan lagu-lagu band asal Liverpool, Inggris, itu. Ada juga grup musik yang melakukan duplikasi sehingga tampil sangat mirip dengan Beatles. Namanya G-Pluck, yang terdiri atas empat personel, yakni Sigit Adnan sebagai John Lennon (gitar dan vokal), Awan Garnida sebagai Paul McCartney (bas dan vokal), Wawan Hid sebagai George Harrison (gitar dan vokal), serta Beni Pratama sebagai Ringo Starr (drum dan vokal). Mereka dibantu beberapa personel tambahan.

Pembentukan band itu bermula dari pengalaman Awan Garnida ketika menonton film Beatlemania pada 1980-an. Film yang dirilis pada Juli 1981 itu menampilkan empat orang yang sangat mirip dengan empat personel Beatles, dari sosoknya, pakaian, hingga instrumen yang digunakan. Sebagai penggemar Beatles, Awan mengaku tercengang melihat empat orang dalam film itu. “Gue nontonnya sampai bergidik. Mirip banget,” tutur pemain bas band Sore itu, Selasa, 16 Juli lalu.

Grup and G-Pluck di menara Eiffel, Paris. Dok. G-Pluck

Sejak kecil Awan memang punya hobi menirukan orang—dikenal dengan istilah impersonator. Dari latar belakang itu, ia tertantang membuat grup musik di Indonesia yang menjadi duplikat Beatles. “Gue pengin bikin the first impersonating band, bukan tribute band,” ujarnya. Dari situ, Awan mulai mencari-cari figur yang cocok menjadi personel band duplikat tersebut. Pada 1997, grup terbentuk dengan empat personel itu. Mereka pertama kali bertemu di Jakarta, lalu pada 1998-2000 hijrah ke Bandung. “Di Bandung, kami ngulik The Beatles dari nol.”

Pada awal 2000, empat orang itu memulai latihan pertama sebagai band duplikat Beatles di Bandung. Nama band juga diputuskan di sana, yakni G-Pluck, yang dilafalkan “jiplak”. Huruf G berasal dari kata genuine, yang berarti asli, sementara Pluck dikaitkan dengan kata courage, yang berarti kenekatan atau keberanian. “G-Pluck berarti band yang dengan segala kelebihan dan kekurangannya berupaya perform as the real Beatles,” ucap Awan. Supaya sama, band itu mempelajari Beatles secara detail, dari aksi panggung, harmoni vokal, hingga musiknya, dari sejumlah referensi, antara lain film, video, dan buku. Salah satunya The Beatles Anthology, buku yang ditulis para personel Beatles dan terbit pada 1995.

Setiap kali tampil, G-Pluck menggunakan barang-barang yang sama dengan para personel Beatles, dari pakaian hingga peralatan musik. Untuk pakaian, mereka memesannya dari Amerika Serikat dan Inggris. Adapun peralatan musik antara lain dibeli dari Kanada, Inggris, Jerman, dan Belanda. Semuanya persis seperti yang digunakan anggota Beatles. “Tidak ada yang replika,” kata Awan. Menurut dia, harga barang-barang itu mencapai ratusan juta rupiah dan dibeli dengan kocek sendiri. “Istilahnya, kami mati-matian untuk sama dengan The Beatles. Impersonating gila-gilaan.”

Pada Agustus 2008, G-Pluck diundang tampil dalam Beatles Week Festival di Liverpool. Datang dengan duit sendiri, band itu tampil dalam sembilan sesi selama sepekan. Mereka menampilkan 15-20 lagu dalam setiap sesi, yang berlangsung 45 menit. “Lagunya bebas. Enggak ditentuin,” ujar Awan. Tahun ini, G-Pluck kembali diundang mengikuti festival tahunan itu. Namun, karena ada kesibukan tertentu, mereka memutuskan absen. “Tahun depan kami diundang lagi. Nanti kami tampil all out.”

PRIHANDOKO

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus