Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TIBA-TIBA saja The Beatles tidak ada di dunia. Warga bumi sama sekali tak mengenal John Lennon, Paul McCartney, George Harrison, dan Ringo Starr, personel grup musik rock and roll asal Liverpool, Inggris, itu. Lagu-lagu Beatles, Hey Jude, Let It Be, In My Life, All You Need is Love, The Long and Winding Road, Yellow Submarine, dan lain-lain, tak pernah didengar kuping orang. Inilah sebuah film dengan gagasan unik tapi membuat kita merenungkan betapa bermaknanya lagu-lagu itu bagi dunia. Betapa berharganya John Lennon dan kawan-kawan sesungguhnya.
Pada suatu siang, di Clacton-on-Sea, Inggris, Jack Malik (diperankan Himesh Patel) dengan gigi rompal habis tabrakan, setelah keluar dari rumah sakit, dihadiahi sebuah gitar oleh teman-temannya. Pegawai toko ini lalu menyanyikan Yesterday di hadapan sejumlah kawannya itu. Sesaat semua terdiam. Mereka tersirap mendengar lagu indah itu. Mereka menyebut lagu “ciptaan” Jack tersebut luar biasa. Mereka tak menyangka Jack mampu menciptakan lagu seelok itu. “Ya, The Beatles,” kata Jack. “Siapa The Beatles?” tanya mereka. Semula Jack menganggap itu hanya guyonan. Tapi kemudian ia mulai sadar bahwa teman-temannya betul-betul tidak mengerti Beatles. “Siapa Paul McCartney? Begitu kawan-kawannya bertanya ketika Jack mengatakan Yesterday adalah gubahan Paul McCartney.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Adegan film Nowhere Boy.
Jack bingung. Terheran-heran, ia lari ke rumah dan memasukkan kata kunci “Beatles” di Google. Tapi yang keluar malah soal beetle (kumbang). Google pun ternyata sama sekali tak mengenal Beatles. Jack terperangah mendapati situasi ajaib ini. Ia menelusuri nama pemusik lain: The Rolling Stones, Childish Gambino, dan Coldplay. “Masih ada,” ia bergumam. Lalu ia memasukkan kata kunci “Oasis”, grup yang pernah membawakan lagu The Beatles, I Am the Walrus. Oasis juga tak ada di Google. “Tentu saja tak ada Oasis kalau tak ada The Beatles,” Jack membatin.
Penasaran, Jack membongkar koleksi piringan hitam miliknya. Tapi tak ada satu pun album Beatles. Sedangkan semua album pemusik lain, seperti David Bowie, masih ada. Jack sadar, setelah ia mengalami kecelakaan sepeda dan selama 12 menit dunia gelap gulita, ada yang salah dengan memori dunia (Jack lambat-laun juga sadar bahwa bukan hanya The Beatles yang hilang dari memori orang sejagat, tapi juga Harry Potter, bahkan rokok dan Coca Cola).
Jack, yang semula menganggap situasi itu sebagai “lelucon paling rumit”, berbalik memanfaatkannya. Jack berusaha mengingat semua karya Beatles dan mengklaim lagu-lagu itu sebagai karangannya. Dari seorang penyanyi tak laku, Jack serta-merta menjadi superstar dunia melebihi penyanyi top Ed Sheeran. Padahal, sebelumnya, tak ada lagu ciptaan Jack yang ditengok orang. Bahkan penampilannya dalam festival musik hanya ditonton segelintir bocah. Cuma Ellie (diperankan Lily James), sahabat perempuannya, yang mengidolakannya habis-habisan. Jack pun menjalani tur keliling dunia, dari Amerika Serikat sampai Rusia. Di Rusia, ia menyanyikan Back in the U.S.S.R.
Nasib Jack yang mengaku-aku menciptakan semua lagu Beatles dan kemudian merasa bersalah menjadi inti film Yesterday, yang tayang perdana 28 Juni lalu. Film ini diarahkan sutradara Danny Boyle (Steve Jobs, Slumdog Millionaire) dengan Richard Curtis sebagai penulis naskahnya. Curtis adalah “bapak” yang melahirkan sejumlah drama komedi romantis laris, seperti Four Weddings and a Funeral (1994), Notting Hill (1999), Bridget Jones’s Diary (2001), Love Actually (2003), dan About Time (2013). Tak mengherankan bila dalam Yesterday Curtis begitu lihai membuat urusan asmara Jack Malik dengan Ellie berdampingan dengan “perkara The Beatles”.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Adegan film Across The Universe.
Seiring dengan dikenalkannya satu demi satu karya Beatles oleh Jack ke dunia, penonton dijejali 16 lagu McCartney dan kawan-kawan dalam film ini. “Yesterday seperti meyakinkan kita bahwa dunia tanpa The Beatles sangatlah hambar,” kata penggemar sekaligus penggebuk drum yang kerap membawakan lagu Beatles, Jelly Tobing. “Bayangkan saja bila tak ada lagu yang luar biasa hebat seperti Yesterday, Oh! Darling, atau Let It Be di kehidupan kita.”
Menurut Jelly, film Yesterday sejatinya bisa mempopulerkan The Beatles bagi generasi milenial, seperti yang dilakukan sutradara Bryan Singer lewat biopik kisah hidup pentolan band Queen, Freddie Mercury, Bohemian Rhapsody (2018). Munculnya film itu memicu demam Queen di kalangan warganet. Sosok grup asal London itu menjajah lini masa media sosial. Lagunya pun kembali populer di radio. Bahkan Bohemian Rhapsody menjadi film biopik terlaris sepanjang masa setelah meraup US$ 903 juta atau sekitar Rp 12,6 triliun, menggeser film tentang grup rap N.W.A berjudul Straight Outta Compton (2015) ke posisi kedua. Angka itu 18 kali lipat biaya produksi Bohemian Rhapsody, yang sebesar US$ 50 juta.
Sayangnya, menurut Jelly, penampilan Himesh Patel sebagai Jack Malik dengan lagu-lagu epik Beatles tak semengkilat Rami Malek, yang memerankan Freddie Mercury. Ini salah satu faktor yang diduga Jelly membuat Yesterday kurang menggebrak. Sejak dirilis, film ini baru mengantongi sekitar US$ 62,3 juta, lebih dari dua kali lipat ongkos produksinya (US$ 26 juta). “Film Yesterday seperti kurang bisa mengajak kita bernyanyi sepanjang film. Sedangkan saat menonton Bohemian Rhapsody, orang seperti karaoke bersama di bioskop,” ujar Jelly, yang dulu bersama Bharata Band mengusung lagu-lagu Beatles.
Tapi, Jelly menambahkan, suasana musikal dalam Bohemian Rhapsody dan Yesterday sejatinya tak begitu cocok diadu. “Karena film Yesterday tidak ‘dibawakan’ oleh Beatles sendiri ataupun aktor yang memerankan mereka,” ucapnya. Ini berbeda dengan Bohemian Rhapsody, yang menghadirkan “Queen” ke layar lebar. “Orang seperti saya, dan mungkin penggemar Beatles lain, menonton karena unsur Beatles-nya saja, bukan karena ceritanya bagus.”
Sedangkan gitaris Bharata Band yang juga personel band rock legendaris God Bless, Abadi Soesman, menganggap ide cerita Yesterday menarik. “Film ini memberi gambaran betapa dunia memang aneh bila tak ada The Beatles di dalamnya,” tuturnya.
Menurut Abadi, tanpa Beatles, dunia akan gelap. Sebab, terobosan John Lennon dan kawan-kawan mengubah tatanan dunia musik pada masa itu. Sebelum Beatles muncul, grup musik ibarat tersusun atas tiga kotak dengan fungsi berbeda. Ada yang bertugas sebagai penyanyi, ada yang menjadi pemain musik, serta ada yang menciptakan lagu. Diferensiasi inilah yang diterabas Beatles pada awal 1960-an. Mereka tak hanya bernyanyi, tapi juga mengarang sendiri notasi dan lirik serta memainkan instrumen musiknya.
Yang membuat Beatles bertambah masyhur pada dekade itu adalah terjadi kejenuhan di jagat musik. Sebab, industri musik pada 1950-an masih didominasi lagu musikus solo asal Amerika Serikat, seperti Elvis Presley dan Frank Sinatra. Semua berubah ketika muncul The Beatles, The Rolling Stones, dan Bee Gees, yang memunculkan fenomena kultur pop British Invasion. “Musik di mana-mana ketika itu ‘dikacaukan’ oleh British Invasion. Prinsipnya, buat apa ikut aturan yang ada kalau mereka bisa membikin sendiri musik yang enak,” kata Abadi.
Poster film The Beatles Yellow Submarine.
Belum lagi dalam urusan mode. Abadi menganggap Beatles nyentrik dan punya daya sihir. Personel grup yang dulu bernama The Quarrymen itu memilih berambut gondrong dan berponi, setelah sebelumnya banyak orang terpesona oleh rambut pompadour Elvis Presley. McCartney dan kawan-kawan juga mencetak sejumlah tren dengan mengenakan jaket Pierre Cardin, setelan psychedelic ala militer, dan sepatu tumit yang dulu tak banyak dipakai laki-laki.
Musik dan gaya Beatles tersebut juga menjamah Indonesia. Kendati Presiden Sukarno pada waktu itu melarang musik ngak-ngik-ngok dan dansa-dansi, invasi Lennon cs tetap tak terbendung. Abadi mengenang, kondangnya Beatles ketika itu membuat dia bersemangat mencuri dengar lagu band tersebut di radio. Setiap kali lagu Beatles muncul, Abadi mempelajari musik dan mencatat liriknya sedikit demi sedikit. “Karena tak ada Google, kami sengsara sekali. Lirik Can’t Buy Me Love saja terdengar di kuping seperti Den Prawiro,” ujarnya, tergelak.
YESTERDAY bukan satu-satunya film mengenai The Beatles. Sebelumnya ada beberapa film tentang grup musik itu. Debut Beatles dalam film tercatat pada 1964 lewat A Hard Day’s Night, yang bergenre mokumenter—dokumenter berbalut komedi. Ketika itu, The Fab Four—julukan The Beatles—sudah tampil dengan formasi John Lennon, Paul McCartney, Ringo Starr, dan George Harrison. Formasi ini terjalin setelah pemain sebelumnya, Stuart Sutcliffe (bas), hengkang pada 1961, dan Pete Best (drum) dipecat setahun kemudian. Bukan hanya Beatles yang membintangi film garapan Richard Lester itu. Ada juga Wilfrid Brambell, Norman Rossington, John Junkin, dan Lionel Blair.
Namanya juga mokumenter, kisah jenaka membumbui film yang naskahnya ditulis Alun Owen itu. A Hard Day’s Night bertutur tentang Lennon (ketika itu berumur 24 tahun), Harrison, dan Starr yang berjuang kabur dari kejaran Beatlemania dengan cabut dari Stasiun Liverpool ke London. Alur sederhana itu diimbangi banyolan slapstick dari geng Beatles. Misalnya McCartney yang diceritakan menunggu tiga kawannya di stasiun dengan menyamar. Ia menempelkan jenggot dan kumis palsu di wajahnya yang imut, lalu berpura-pura membaca koran bareng sang kakek (Wilfrid Brambell). Adegan lain menunjukkan bagaimana kakek McCartney itu menjadi buruan polisi gara-gara usil menjual gambar Beatles yang sudah ditandatangani.
Poster film Across The Universe.
Sampai 1970-an, kebanyakan film yang mengusung kisah Beatles berformat dokumenter dengan judul sama dengan album ataupun lagu mereka. Di antaranya Help! (1965), The Beatles at Shea Stadium (1966), Magical Mystery Tour (1967), dan Let It Be (1970). Menurut Abadi Soesman, awalnya film-film tentang Beatles tidak punya “benang merah”. Banyak sineas terus memproduksi film seputar Beatles semata karena band tersebut ketika itu sangat beken.
Abadi menaruh perhatian khusus pada mokumenter Help! karena skenario sekuel film A Hard Day’s Night ini lumayan menarik. Help!, yang juga disutradarai Richard Lester, menceritakan perjuangan Beatles untuk masuk dapur rekaman. Pada saat yang sama, mereka mesti mengamankan Starr dari perburuan penganut sekte dan ilmuwan sinting yang mengincar salah satu cincin miliknya. “Ini yang terbaik di antara film-film buruk soal Beatles ketika itu,” kata Abadi.
Sedangkan dua dokumenter Beatles lainnya, A Hard Day’s Night dan Magical Mystery Tour, dia tak begitu mengesankan. Namun dia tetap menontonnya karena ada aksi Beatles di luar panggung. “Ini mirip kecintaan orang pada para anggota Warkop DKI. Karena sudah jatuh cinta pada figur, orang jadi tak peduli lagi urusan skenarionya,” ucap Abadi.
Poster film Nowhere Boy.
Di tengah deretan dokumenter, yang sedikit nyeleneh adalah film animasi Yellow Submarine (1968). Film ini digarap Heinz Edelmann, yang menggandeng koleganya sesama seniman psychedelic, Martin Sharp dan Alan Aldridge, serta desainer grafis beken ketika itu, The Fool dan Hapshash and the Coloured Coat. Film itu disebut-sebut sebagai salah satu film terapik Beatles. Visual yang absurd dan liar dengan narasi menyempal dari film Beatles sebelumnya membuat Yellow Submarine menjadi karya animasi revolusioner pada masanya.
Yellow Submarine berkisah tentang Pepperland, tempat yang indah di bawah laut. Semua makhluk hidup damai di sana sebelum datang serangan dari Blue Meanies, monster biru berkacamata yang membenci kebahagiaan, termasuk musik dan hal-hal menyenangkan lain. Kemudian Old Fred, salah satu penduduk Pepperland, kabur ke Liverpool dengan kapal kuning dan meminta pertolongan Beatles. Lennon dan kawan-kawan akhirnya turun tangan dan ikut berlayar mengarungi samudra surealis (ada lautan waktu juga di sana) sampai tiba di Pepperland.
Walau geng Lennon baru muncul belakangan, lagu-lagu mereka hadir sejak awal film. Di antaranya All Together Now dan Hey Bulldog yang riang, seperti gambar-gambar penuh warna suguhan Edelmann, serta All You Need Is Love, yang dinyanyikan untuk melunturkan amarah Blue Meanies. Klimaksnya adalah It’s All Too Much.
SETELAH Yellow Submarine, film-film fiksi yang terilhami The Beatles mulai muncul. Di antaranya Give My Regards to Broad Street (1984), yang dibintangi Starr dan McCartney; The Hours and Times (1991); Backbeat (1994); dan The Killing of John Lennon (2006). Juga yang menyedot perhatian seperti drama musikal Across the Universe (2007) dan biopik John Lennon, Nowhere Boy (2009).
Jelly Tobing menilai, dari sejumlah film fiksi Beatles, drama musikal Across the Universe paling menarik. “Skenarionya bagus dan membuat kita jadi rindu The Beatles setelah menontonnya,” ujarnya. Across the Universe, yang skenarionya digarap Julie Taymor, mengambil latar tempo 1960-an. Pada periode lahirnya Beatles itu, terjadi pergolakan politik internasional dan banyak muncul seruan antiperang serta tuntutan kebebasan berpendapat.
Across the Universe mengisahkan seorang pria asal Liverpool bernama Jude (Jim Sturgess) yang jatuh cinta kepada gadis periang, Lucy (Evan Rachel Wood). Kisah asmara mereka diiringi puluhan lagu Beatles yang didendangkan sejak awal hingga pengujung film. Film ini menarik karena tokoh-tokohnya dinamai dengan sosok dalam judul lagu Beatles. Di antaranya Hey Jude, Lucy in the Sky with Diamonds, dan Dear Prudence, yang juga dinyanyikan para aktor dalam film.
Walau Across the Universe berkisah tentang era baby boomers (mereka yang lahir pada 1946-1964), Tian Panji, 25 tahun, bisa merasakan daya magisnya. Pendiri komunitas pencinta Beatles, Beatlemania Tangerang, itu mengatakan Across the Universe seperti membuktikan bahwa Beatles masih tenar walau lahir puluhan tahun silam. “Enggak bisa kita pungkiri bahwa lagu-lagu Beatles tak cuma fenomenal, tapi juga menembus zaman,” katanya. Menurut Panji, selain film tersebut, Nowhere Boy mampu mengemas unsur Beatles dengan apik. “Film itu lumayan bisa mengenalkan Beatles ke milenial.”
Adegan film Yesterday.
Panji berharap kelak muncul film biopik Beatles yang tak kalah megah dibanding Bohemian Rhapsody. Dia membayangkan film itu bertutur tentang pungkasan karier Beatles, termasuk konser di atap gedung di London pada 1969, yang menjadi panggung perpisahan mereka sebagai band. Sebelum itu, para personel The Fab Four terbelenggu konflik, sampai-sampai ada perubahan kebiasaan di panggung. Harrison, yang biasanya berbagi mikrofon dengan McCartney, memilih bernyanyi sendiri dalam konser di atap gedung itu.
Namun konser tersebut tak cukup kuat untuk meruntuhkan prahara. Setahun kemudian, McCartney keluar. Beatles pun bubar. “Tapi bahwa setelahnya lagu-lagu mereka masih bisa dinikmati generasi saya, itu membuktikan Beatles memang band terpopuler abad ini. Bahkan bukan tak mungkin lagu-lagu mereka abadi sampai abad berikutnya nanti,” tutur Panji. Seperti dinyanyikan McCartney dalam lagunya, shine until tomorrow, let it be….
Poster film Yesterday.
Pada akhir cerita Yesterday, Jack Malik bertemu dengan sepasang lelaki-perempuan yang mengalami kondisi seperti dia. Mereka masih ingat pada Beatles. Mereka selama ini mengikuti perjalanan dan tur Jack dari Moskow sampai Liverpool. Mungkin, di dunia, hanya mereka bertiga yang masih ingat pada Beatles. Perasaan bersalah Jack menjadi-jadi karena ketidakjujurannya diketahui orang lain. Sepasang lelaki-perempuan itu memberi Jack alamat seseorang di sebuah desa untuk ia kunjungi. Jack mencari alamat itu. Ia mengetuk pintu rumah di daerah terpencil tersebut setelah menemukannya. Begitu pintu dibuka, Jack ternganga. John Lennon-lah yang muncul (wajah aktor yang memerankannya demikian persis). Jack hampir tak percaya.
”Anda John?”
“Ya,” jawab si pemilik rumah.
John Lennon pada masa dunia tak mengenal Beatles itu bukan penyanyi. Ia penduduk biasa yang sederhana. Umurnya sekitar 75 tahun. Ia menjalani hidup serba jujur, dan itu tampak membuatnya damai. Bagian akhir film ini memberikan kejutan tak terduga. Lennon belum mati. Dia memilih hidup jauh dari hiruk-pikuk kehidupan kota. Ia tampak sangat bahagia.
ISMA SAVITRI
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo