Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Dari Jendela <font color=#FF9900>Selat Bosforus</font>

Orhan Pamuk, pemenang Nobel Sastra 2006, tak henti-hentinya terinspirasi oleh Istanbul. Lebih dari selusin karyanya berbicara panjang tentang kota kelahirannya itu. Kota warisan Kerajaan Ottoman yang tak berhenti bergumul dengan identitas Timur dan Barat. Istanbul dalam benak Pamuk senantiasa tampil sebagai kota yang melankolis.

Di Frankfurt Book Fair yang berlangsung pada 15-19 Oktober lalu, Pamuk meluncurkan karya terbarunya, The Museum of Innocence. Di sela-sela kesibukannya di pameran buku terbesar dunia itu, kontributor Tempo di Jerman, Sri Pudyastuti Baumeister, berhasil mewawancarainya. Wawancara Pudyastuti kami turunkan di Iqra kali ini, dilengkapi dengan tulisan Kurie Suditomo.

8 Desember 2008 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DARI teras apartemennya di Cihangir, Kota Istanbul, remaja kurus berambut keriting berusia 15 tahun itu duduk manis dan ”menyalin” apa yang tampak membentang di hadapannya: pemandangan Selat Bosforus di sela-sela gedung, menara perawan Kizkulesi, dengan latar dua kota tua, Findikli dan Uskudar.

Di kemudian hari, ketika keluarganya pindah ke rumah lain di Besiktas Serencebey, pemandangan permukaan air Selat Bosforus terhampar lebih dahsyat: lanskap dataran batu Sarayburnu, Istana Topkapi—pusat Kerajaan Ottoman—dan bayangan Kota Tua. ”Saya bisa melukisnya tanpa mesti keluar dari rumah,” kata remaja itu.

Dan pendar-pendar permukaan air Bosforus tak henti-hentinya ia kagumi sampai ia berumur 56 tahun sekarang.

Namanya Orhan Pamuk, pemenang Nobel Sastra 2006. Manakala Turki menjadi tamu kehormatan dalam Frankfurt Book Fair, Oktober 2008 (lihat ”Negeri dengan Sejumlah Pengarang Besar”), ia bintang yang bersinar paling terang di antara para pengarang. Bahkan Jakarta pun mengharap kedatangannya dalam Jakarta International Literary Festival—meski tak terlaksana.

Ia pernah tinggal di New York. Namun hanya tiga tahun dia bertahan. Ia juga pernah tinggal di kota-kota lain saat merasa ”terancam”. Tapi selebihnya ia masih tinggal di daerah yang sama, kembali ke rumah keluarga tempat ia dibesarkan, tempat ia bebas menikmati pemandangan Selat Bosforus itu dari ambang jendelanya.

Ia kini tak lagi melukis Bosforus dengan pensil dan kuas. Tapi, dari jemarinya, Anda dapat menikmati kenangan yang lekat tentang Bosforus dan kehidupan kota tua Istanbul pada selusin karyanya, antara lain My Name is Red, Snow, The White Castle, The New Life, The Black Book, atau karyanya yang terakhir, The Museum of Innocence.

Selat Bosforus memisahkan tanah Eropa dan daratan Asia. Istanbul memiliki wilayah di dua sisi Selat Bosforus. Sebuah jembatan panjang kini melintasi Selat Bosforus, menghubungkan dua benua yang dimiliki Istanbul. Bosforus bukan Sungai Seine di Paris, atau Tiber yang membelah Roma. Ia samudra bergelombang kuat, yang permukaannya berombak dan berangin kencang. Airnya gelap dan dalam. Lebarnya berkisar antara 700 meter dan 3,7 kilometer. Panjangnya 30 kilometer. Ia menghubungkan Laut Hitam dengan Laut Marmara, yang berujung pada Laut Mediterania.

Inilah selat yang menyaksikan sejarah panjang hubungan Eropa dan Asia, selat yang mengikuti perjalanan Bizantium dan kemudian kejayaan dan keruntuhan Kerajaan Islam Ottoman, yang berkuasa lebih dari 600 tahun. Dalam masa kejayaan abad ke-16 dan ke-17, wilayah Ottoman terentang di tiga benua sekaligus, Eropa, Asia, dan sebagian Afrika, dari ujung Aljazair hingga Teluk Basra di Iran.

Pamuk tak menyukai pandangan kaum Orientalis, yang mengukuhkan perbedaan Timur dan Barat. Baginya, Timur dan Barat senantiasa berkelindan dalam eksistensi Turki. Ia kukuh dalam identitasnya sendiri; meski tak lantas menihilkan jejak Eropa dan Asia dalam sejarahnya yang panjang. Dan bak pembuluh darah, Bosforus adalah arteri yang membawa oksigen mengalir ke seluruh tubuh.

”Bosforus punya tempat di hati kami. Inilah sumur kesehatan, penyembuh segala penyakit, dan sumber utama akan segala yang baik di kota ini,” kata Pamuk.

l l l

Bosforus bagi Orhan Pamuk adalah juga cerita melankolis tentang penduduk kota tua yang khusyuk dalam kesedihan kolektif. Ia menyebutnya huzun, dalam bahasa Turki—yang berarti perasaan kehilangan yang dalam. Perasaan kehilangan itu menurut Pamuk menguasai mood semua penduduk kota, bak awan gelap yang bergulung-gulung di musim gugur.

Dalam perasaan itulah Pamuk dilahirkan, 7 Juni 1952. Seperti diungkapkannya dalam otobiografinya, Istanbul, Memory of a City, ia lahir ”saat koridor rumah sakit dan dunia sedang sepi”. Tiga puluh tahun berlalu dari zaman revolusi, saat itu perekonomian Turki di bawah bayang-bayang kekalahan Kerajaan Ottoman pada Perang Dunia I. Resesi dunia pada 1930-an ikut menjatuhkan perekonomian negeri berbasis agrikultur itu. Belum lagi membengkaknya biaya militer akibat mempertahankan netralitas pada Perang Dunia II.

Keluarga Pamuk sesungguhnya menjadi bagian dari mereka yang diuntungkan. Kakek Pamuk pengusaha tulen. Pada 1930-an, ia sukses besar berinvestasi di jalan kereta api, kemudian membangun pabrik-pabrik: dari tali tambang hingga pengering tembakau. Sayang, tak satu pun anaknya bisa mempertahankan warisan. Jadilah keluarga Pamuk sebagai bagian dari kelompok elite yang berpegangan pada sebagian harta yang tersisa. ”Ketika Kakek meninggal di usia 52 tahun pada 1934, ia meninggalkan kekayaan sangat besar hingga Ayah dan para pamanku tak mampu menghabiskannya walau usaha mereka berkali-kali gagal,” kata Pamuk.

Pamuk kecil biasa menyusuri Bosforus, melihat yali atau rumah peristirahatan peninggalan keluarga Kerajaan Ottoman yang berjejer di tepi Bosforus. Ia dan generasinya tumbuh ketika yali itu sudah melampaui masa keemasannya. Yali-yali itu masih memiliki jendela-jendela besar, pilar tinggi, dan cerobong asap. Namun yang telanjang di depan mata adalah kondisi bangunan yang sudah hancur: cat mengelupas, kayunya menghitam akibat udara dingin dan lembap, dan atapnya koyak.

Yang menyedihkan, di seluruh penjuru Istanbul, orang dapat melihat bekas kubah gedung yang keropos, masjid tua yang tak terawat, pilar Bizantium yang hampir roboh, dan air mancur yang tak lagi memancurkan air. Anak jalanan, rumah-rumah doyong, jalan bolong, dan WC umum yang bau menjadi bagian dari kota. Yang tersurat kemudian bukan hanya kemiskinan, melainkan juga harga diri yang jatuh.

”Mengetahui bahwa pernah ada orang seperti kita yang hidup dalam peradaban yang demikian megahnya, bahkan bagi saya yang anak kecil sekalipun, kita merasa lemah dan kampungan,” kata Pamuk.

Perasaan kehilangan masa lalu itu diperumit dengan dua identitas kultur yang tak berhenti bertaut dalam eksistensi Turki: antara Timur dan Barat. Seperti dikampanyekan Mustafa Kemal Atatürk, bapak Turki modern, menjadi Barat itu penting bagi pembaruan. Demi republik yang baru, pola pikir ketimuran yang pasif mesti ditinggalkan, juga ritual agama yang menuntut kepatuhan kolektif. Dan karena keluarga Pamuk merupakan bagian dari kelompok yang loyal kepada Atatürk, ia besar di lingkungan yang menganggap salat lima kali sehari adalah hal berlebihan.

Pamuk kecil kerap sengaja mengganggu para pembantunya yang tengah melakukan salat dengan menarik kerudung mereka. Atau, saat para pembantunya mencuri waktu bekerja untuk salat, Pamuk buru-buru lari mengadu kepada ibunya. Pamuk sungguh penasaran akan kepatuhan seperti itu karena tak satu pun anggota keluarganya menunaikan salat atau berpuasa sebulan penuh pada bulan Ramadan.

”Sepertinya nama Tuhan selalu ada di bibir mereka karena mereka miskin,” kata Pamuk. Begitulah perasaan kelompok borjuis sekuler Turki seperti keluarganya. Mereka tidak takut kepada Tuhan, tapi takut kepada orang yang terlampau percaya kepada-Nya.

Keinginan menjadi Barat itu adalah bagian dari ruang keluarga Pamuk. Semua anggotanya—saat Pamuk lahir—tinggal di satu gedung apartemen berlantai lima di Jalan Nisantasi, yang dikenal sebagai ”Apartemen Pamuk”. Apartemen itu penuh dengan perabotan elegan: sofa dan dipan tebal berkain lapis benang perak, lemari kaca berisi porselen Cina yang tak boleh disentuh, ratusan buku yang berdebu dalam almari, pemisah dinding Jepang dan piano yang tak pernah dimainkan, serta berpuluh-puluh foto.

”Dalam pikiran kecilku dulu, ruangan ini untuk orang mati, bukan untuk yang hidup,” katanya.

Dari ruang keluarga itu, Pamuk kecil belajar banyak untuk memahami apa artinya menjadi seorang Turki. Berbagai barang dan buku yang ia temukan di sana mengantarkannya ke imaji akan Turki yang mewah, kaya—sekaligus Turki yang telah berlalu dan kini bukan miliknya.

Dari buku pemberian pamannya, Voyage pittoresque de Constantinople et des rives du Bosphore karya Antoine-Ignace Melling, ia mempelajari gambar setiap sudut Kota Istanbul. Melling, pelukis Jerman kelahiran 1763, dengan tarikan kuas yang bergaya Eropa, menurut Pamuk sangat jujur dalam menggambar sudut-sudut Istanbul. ”Ia melukis dua kota tua, Kizkulesi dan Uskudar, dari suatu lokasi di Pera, yang hanya berjarak 40 kaki dari ruang kerjaku di Cihangir,” kata Pamuk.

Di situ pula ia membaca dan mengagumi karya-karya empat penulis melankolis Turki bergaya Prancis: Yahya Kemal dan muridnya, Tampinar, Abdulhak Sinasi Hisar, dan sejarawan Resat Ekrem Kocu, yang terkenal dengan ”halaman sejarah”-nya di koran dan pengarang buku ensiklopedia Turki: From Osman to Ataturk: A Panorama of Six Hundred Years of Ottoman History. Pamuk menyesal tak pernah mengenal mereka, meski mereka tinggal dan beraktivitas di sekitar rumah masa kecilnya di Nisantasi.

”Mereka dididik cara Barat, tapi mereka bisa mempertahankan otentisitasnya. Tak terjebak pada nasionalisme. Sebaliknya, mereka justru menceritakan Istanbul yang kotor dengan serpihan kejayaan masa lalu,” katanya.

Seorang penulis Turki, menurut Pamuk, akan kelihatan apakah ”kaki”-nya berada di Timur atau Barat hanya dengan melihat sikap mereka pada saat Sultan Mahmud II—dari Kerajaan Ottoman—menyerbu lokasi Bizantium yang kini menjadi Istanbul itu. Bagi mereka yang ”kaki”-nya di Barat, tanggal 29 Mei 1453—hari penyerbuan itu—akan disebut sebagai hari ”jatuhnya Konstantinopel”. Namun, untuk mereka yang ”kaki”-nya di Timur, itu adalah hari ”penaklukan Istanbul”.

Pamuk beranjak dewasa dengan tidak menganut secara sepihak ”Barat atau Timur”, tapi mengikuti langkah para penulis favoritnya di atas. Ia merayakan huzun, perasaan melankolis kolektif, yang mengandaikan: keindahan masa lalu Turki kini mati sudah.

Di satu sisi, Pamuk melihat ikon-ikon ketimuran yang tersisa dari Istanbul, dari pasar budak, pasukan khusus Kristen Janissaries yang loyal kepada kerajaan, tarian berputar ala tradisi Rumi, hingga harem, justru dieksotikkan oleh para penulis Barat, seperti Andre Gide, Gustave Flaubert, Theophile Gautier, dan Jean-Paul Sartre. ”Pengamat Barat mengobservasinya sebagai sesuatu yang Timur, khas Turki, sementara para penganjur Barat di antara kita justru melenyapkannya,” katanya.

Begitu banyak yang tergantikan kini di Istanbul: aksara Turki berubah menjadi Latin, kaum laki-laki tak lagi mengenakan tunik dan penutup kepala fez, tapi memakai topi Panama ala Barat (atas keputusan Presiden Atatürk langsung).

Bahkan kuburan-kuburan kecil dengan pohon siprus kini tak lagi ada, digantikan pekuburan luas bertembok tinggi yang dingin, tanpa pohon.

Dengan gelisah Pamuk menggambarkan apa yang ia sebut sebagai westernisasi. ”Semua orang tahu itu adalah pembebasan dari hukum Islam, tapi tak ada yang benar-benar yakin apa untungnya menjadi Barat itu,” katanya.

l l l

Pamuk yang murung dan melankolis itu kemudian muncul sebagai seseorang yang berani mengungkap luka lama Turki: pembantaian warga Kristen Armenia. Pada 1915, menurut estimasi, antara 600 dan satu setengah juta orang Armenia diperkirakan tewas dalam hijrah maut dari Turki ke Kota Deir ez-Zor di perbatasan Suriah. ”Ada satu juta orang Armenia dan 30 ribu orang Kurdi mati di tanah ini, dan tak ada orang lain kecuali saya yang mau membicarakannya,” kata Pamuk, jelas dan terang, dalam wawancara dengan Das Magazin, majalah berita dari Swiss, Februari 2006.

Dan Turki pun murka. Pamuk dihujani ancaman pembunuhan dan bahkan dikenai tuduhan ”menghina” republik. Kasusnya kemudian disidangkan dan ia terancam dikenai tiga tahun penjara. Tapi ia mendapat dukungan dunia internasional, terutama negara-negara di Eropa. Kasusnya didrop pada minggu yang sama ketika Uni Eropa membahas sistem peradilan Turki, sebagai bagian dari rencana keikutsertaan Turki dalam perkumpulan negara Eropa.

Perkara genosida warga Armenia ini sangat sensitif di Turki. Hingga kini, membicarakannya saja sudah cukup menuai amarah dari kaum nasionalis. Pada 2007, Hrant Dink, seorang redaktur surat kabar berdarah Turki-Armenia yang tiga kali didakwa menghina negara karena mengkritik sikap penyangkalan Turki terhadap genosida, misalnya, tewas ditembak..

Ya, Turki pada abad ke-21 pun masih menjadi cermin akan kepribadian Barat dan Timur itu: sudah sejak 2005 negara ini ingin bergabung dengan Uni Eropa, tapi hingga kini banyak warga Eropa yang tak nyaman dengan sikap Turki yang tak kunjung mau mengakui genosida yang dilakukannya. Konflik Turki dengan Siprus dan Yunani menambah keengganan Eropa. Turki diperkirakan belum bisa bergabung dengan Uni Eropa hingga 2021.

Dan Pamuk pun tak pernah pergi jauh. Dari ambang jendela Selat Bosforus, karyanya yang terakhir, The Museum of Innocence, menyajikan satu lagi perenungan intim akan negerinya. Novel ini menyajikan kisah cinta antara Kemal, anak keluarga borjuis sekuler Turki, dan Fusun, sepupu jauhnya, dengan latar belakang Istanbul pada 1970-an.

Dalam sebuah antologi di hadapan Dewan Eropa baru-baru ini, Pamuk mengingatkan lagi akan arti Bosforus dalam hidupnya:

”Aku menghabiskan hidupku di Istanbul, di tepi Eropa, di rumah-rumah yang menatap pantai Asia. Tinggal di tepi air, aku terus-menerus diingatkan akan tempatku di dunia. Suatu hari sebuah jembatan yang menghubungkan dua tepi Bosforus dibangun. Aku pergi ke sana dan mengamati sekeliling. Alangkah indahnya bisa menatap dua tepian itu berbarengan. Jembatan itu adalah hal yang terbaik. Berbicara dengan masing-masing tepian tanpa harus menjadi bagian yang utuh dari salah satunya; inilah pemandangan yang terindah.”

Kurie Suditomo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus