Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
MEREKA yang kidal tentu mengernyitkan dahi melihat baliho ukuran besar bergambar Nurmahmudi Ismail, Wali Kota Depok, itu. ”Kembalilah ke Jati Diri Bangsa, Makan dan Minumlah dengan Tangan Kanan”. Begitulah tulisan di baliho disertai foto Pak Wali beserta perwakilan masyarakat, seperti pasukan pengibar bendera pusaka, Pramuka, abang-none, dan veteran.
Jumlah baliho yang ditebarkan di sepanjang jalan Depok mencapai puluhan buah. Apa penyebab Pak Wali demen berkampanye soal makan dengan tangan kanan? ”Saya sering menemukan pejabat atau warga yang makan dengan tangan kiri,” kata Nur kepada Tempo. Ia mengaku sudah menegur. Entah mengapa, Nur merasa masih kurang sreg, lantas baliho pun ia sebar.
Namun kampanye ini justru mengundang komentar miring dari warga. Asni, warga Depok II, kesal bukan kepalang. ”Basi banget, sih. Kita semua sudah tahu kalau makan pakai tangan kanan,” ungkapnya ketus. Ketimbang mengurusi soal tangan mana yang digunakan untuk makan, Asni justru mengajukan usul lain. ”Kalau ada larangan kencing sembarangan di Terminal Depok, itu baru oye,” katanya sembari terkekeh. Maklum, bau pesing di terminal itu, menurut Asni, bisa bikin orang pingsan.
Sedangkan bagi Lia, warga Depok Lama, soal baliho ini tak lagi mengherankan. ”Pak Nur kan wali kota baliho,” katanya enteng. Maklum, bukan sekali ini saja Nur menyebarkan baliho. Sebelum soal tangan kanan, ia sempat melempar wacana makan belimbing. Padahal, menurut Lia, mencari belimbing enggak gampang-gampang amat. ”Harganya juga mahal,” ujarnya mengeluh. Kampanye makan belimbing itu pun sembari menebarkan wajah penuh senyum Pak Wali.
Maka tak aneh bila Okta, warga Sawangan, menuding baliho itu hanya upaya Pak Wali menjaga citra. ”Masih banyak masalah Depok yang mesti diselesaikan, dari jalan macet sampai jalan rusak. Tolong itu jadi prioritas,” ujarnya. Belum diketahui bagaimana komentar orang bertangan kidal, yang sehari-hari menggunakan tangan kiri untuk makan. Lalu bagaimana pula kalau atlet bulu tangkis yang kidal? Apa cuma makan saja harus pakai ”tangan manis”?
Sita Planasari Aquadini
Caleg Bule, Program Yoga
INI kartu tanda penduduknya: Petra Odebrecht. Tempat dan tanggal lahir: Hamburg, 30 Januari 1967. Alamat: Peti Tenget, Kuta, Bali. Tadinya, hidupnya tak ada sangkut-pautnya dengan politik. Perempuan berambut pirang ini mengurus biro perjalanan dan mengajar yoga, seni pernapasan buat meningkatkan konsentrasi dan untuk pengobatan.
Kini, tiba-tiba hidupnya berubah. Ia lahap membaca koran, memelototi acara-acara talk show politik, dan berdiskusi masalah sosial Indonesia. Coba tanya, misalnya, ”Guten Morgen, Mbak Petra, bagaimana pendapat Anda tentang Megawati?” Ia bisa cas-cis-cus menjawabnya. Ke mana saja, ia membawa buku kecil Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga Partai Demokrasi Pembaruan, sempalan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan.
Inilah pertama kalinya di Indonesia seorang bule asli Jerman ditetapkan sebagai calon anggota legislatif atau caleg. Partai Demokrasi Pembaruan (PDP) mengusung Petra sebagai calon anggota Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia. ”Saya mendapat nomor urut 5,” katanya bangga. Ia memang sudah warga Indonesia. Pada 1989, ia menikah dengan pria asal Bandung dan tinggal di Kota Kembang itu. Pernikahannya cuma berlangsung dua tahun. Uniknya, mantan suaminya kemudian memilih tinggal di Belanda, sementara Petra bertekad tetap bertahan di Indonesia. Ia begitu cinta Indonesia.
Ia lalu memilih tinggal di Bali bersama seorang kakaknya sambil bekerja di biro perjalanan wisata dari Jerman. ”Sejak itu, saya mulai mengurus perpindahan status warga negara,” katanya. Ia berhasil memperoleh status warga negara Indonesia pada 1992.
Terjun ke arena politik baginya adalah bukti kecintaannya kepada Indonesia. Empat bulan lalu, seorang sahabatnya bernama Rusdi Ambo Dalle, anggota Pimpinan Kolektif Nasional PDP, memperkenalkannya kepada Koordinator Pimpinan Kolektif Daerah PDP Bali, I Nengah Netra. Mereka lalu terlibat diskusi yang membuatnya tertarik untuk aktif di PDP. ”Ini partai yang terbuka dan semua boleh ikut tanpa melihat asal-usul, agama, dan sukunya,” kata Petra. ”Saya yakin akan ke Senayan.”
Petra kini tengah bersiap merayu agar kenalan-kenalannya mencoblos dirinya. Ia menggarap kalangan anak muda dan pelaku bisnis pariwisata Bali, dari murid-murid yoganya sampai biro-biro travel. Ia hakulyakin anak-anak hasil perkawinan campur yang tinggal di Bali bakal gegap-gempita mendukungnya. ”Sudah banyak yang meminta untuk bertemu.” Ia percaya, bila dirinya gol ke Senayan, ia bisa menarik banyak kalangan pebisnis dan ekspatriat untuk berinvestasi di Indonesia.
Layaknya calon anggota legislatif, ia pun menebar janji. Bila berhasil sampai ke Senayan, ia bersedia memberikan latihan khusus relaksasi bagi para anggota Dewan di sela-sela persidangan yang melelahkan. Tentu dengan yoga. ”Kan, hanya perlu selembar tikar,” katanya lagi. Ia yakin, dengan berlatih yoga, anggota Dewan akan makin fresh. Setidaknya tak mengantuk seperti biasanya.
Rofiqi Hasan (Bali)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo