Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Dari potret diri sampai embrio

Riwayat hidup affandi. meniti karirnya dari bawah. affandi terlampau sering melukis wajahnya sendiri. berbagai lukisan hasil karyanya. dari gaya realistis berubah ke ekspresif. melanglang ke mancanegara.

2 Juni 1990 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

WAJAH itu muda, 30-an tahun. Ekspresi yang ditampilkan keras. Bibirnya sedikit terbuka, menampakkan dua gigi depannya. Dahinya berkerut, di keningnya otot mengeras. Lehernya jenjang, memberi kesan tentulah tubuh yang menopang kepala itu jauh dari subur. Rambutnya awut-awutan. Matanya melirik, waspada. Itulah wajah Affandi tahun 1943 sebagaimana bisa dilihat dari lukisan potret dirinya. Sebuah wajah yang tak bahagia, agak sinis, tapi siap berjuang. Ketika Affandi tak lagi kerasan duduk di AMS Jakarta, karena keinginan menggambarnya lebih keras daripada dorongan belajarnya, ia bilang pada kakaknya, Mohammad Sabur, bahwa ia kepingin sekolah di Negeri Belanda. Sabur, yang selama ini membiayai Affandi -- setelah ayah mereka, pegawai pabrik gula Cirebon bernama Kusumo -- langsung menyanggupinya. Tapi, setelah ia tahu bahwa Affandi mau sekolah menggambar, Sabur tak mau. Affandi tak berani membantah kakak, pengganti ayah itu. Celakanya, ia makin malas sekolah, makin rajin melukis. Beberapa bulan sebelum ujian akhir, akhirnya ia tinggalkan sekolah dan kawan-kawannya, antara lain Mohamad Roem dan Kasman Singodimedjo. Ketika itu kalender menunjuk pada tahun 1931, berarti usia Affandi 24 tahun. Saat itulah bulat sudah tekad anak Cirebon yang ketika kecil dipanggil Abun itu untuk menjadi pelukis, profesi yang dirasakannya gagah -- entah mengapa. Sepuluhan tahun sebelum lahir Potret Diri, 1943-nya, cerita Affandi tak berbeda dengan kisah mereka yang baru masuk jalan keseniman. Sebuah profesi yang sulit dibanggakan oleh keluarga, pun tak begitu dihargai oleh masyarakat. Mungkin sinyalemen Trisno Sumardjo, sastrawan yang juga melukis, di majalah Senidi tahun 1950-an, benar. Yakni, pelukis kala itu dianggap seorang yang terbuang, seorang displaced person. Tentu, bila seni lukis Indonesia terus hidup, bahkan kemudian sekolah-sekolah seni rupa kini jadi salah satu alternatif, karena ada sejumlah orang yang tak peduli dengan predikat displaced person atau istilah ejekan apa pun -- termasuk Affandi. Sejak awal niatnya sudah bulat. Ia sudah bersedia kompromi dengan apa pun, kecuali dengan cita-cita kesenilukisannya. Dua tahun, sekeluarnya dari AMS, ia memberi pelajaran tambahan buat siswa-siswa sekolah mengaji. Affandi mengajar mereka membaca dan menulis huruf Latin. Hasilnya, selain ada uang untuk hidup, juga ada biaya membeli cat dan lain-lain untuk melukis. Dan satu lagi, ia ketemu jodoh. Maryati, salah satu siswi di situ, menarik hatinya. Dengan taktik kuno tapi kena, suatu malam ketika bulan bersinar terang -- demikianlah kisah romantis ini diceritakan oleh Maryati sendiri kepada Nugraha Sumaatmadja, penulis buku Affandi (Yayasan Kanisius, Yogyakarta, 1975) -- Affandi mengundang Maryati untuk melihat bulan. Ketika itulah ciuman pertama dilangsungkan, dan Maryati akhirnya mendampingi calon pelukis besar itu sampai akhir hayatnya. Dari Potret Diri, 1943 sampai potret-potret diri yang kemudian lahir, ada satu persamaannya. "Wajah saya bukan wajah yang bahagia," kata Affandi ketika sejumlah karya potret dirinya dipamerkan di Taman Ismail Marzuki, Juni 1982. Tapi ia senang dengan lukisan-lukisan wajah sendiri ini, karena "murah dan mudah," katanya ketika itu. "Murah, kan tak usah membayar model, dan mudah karena tidak perlu saya pelajari lagi, saya sudah kenal diri saya." Seringnya Affandi melukis potret diri menjadikan potret-potret itu seolah merekam riwayat hidupnya. Dan yang penting, merekam perkembangan seni lukisnya. Sampai 1943, sampai awal zaman Jepang, sudah berkilo-kilo asam garam kehidupan ditelan Affandi. Setelah Kartika lahir, 1934, tanggung jawabnya sebagai kepala rumah tangga pun makin berat. Ketika itulah datang tawaran untuk bekerja dengan gaji cukup. Tapi ketika itulah Maryati, yang baru dua tahun menjadi istrinya, menjadi penentu jalan hidup Affandi. Istri kelahiran Bogor itu, yang konon ayahnya asal Timur Tengah, tak rela suaminya meninggalkan seni lukisnya. Untuk mengatasi biaya hidup yang tinggi di Jakarta mereka lalu pindah ke Bandung. Di Bandung, melupakan segala kebanggaan seorang pelukis, ia pernah suatu hari memikul beberapa lukisannya untuk dita- warkan dari rumah ke rumah. Diusir pergi seorang Belanda ke- tika ia baru saja menginjakkan kaki di halaman rumahnya, membuat Affandi membatalkan rencananya jadi pedagang lukisan keliling. Lalu ia ke Bali. Ketika itu Maryati jatuh sakit, dan mesti dirawat di Surabaya. Di sini terpaksa ia mengulang pekerjaannya di Bandung: membuat poster bioskop, sekaligus jadi tukang sobek karcis. Dan karena tak ada sanak saudara, ia terpaksa tidur di lapangan tenis di samping bioskop tempatnya bekerja -- atas kebaikan si pemilik bioskop -- beratapkan langit dan beralaskan seng yang akan ia gambari poster bioskop. Beberapa hari Kartika kecil terpaksa ikut tidur di bawah langit, sebelum seorang perempuan Madura menawarkan diri merawat Kartika di rumahnya. Sampai tahun itu, hanya satu dalam catatan hidup Affandi yang membanggakannya, yakni pada 1940, ketika ia pertama kali pameran di Jakarta, di gedung yang kini menjadi gedung Universitas Indonesia di Jalan Salemba. Sebuah lukisannya dibeli Sjafei Sumardja, pelukis yang nanti membuka jurusan seni rupa di sekolah teknik yang kini dikenal sebagai ITB. Si pembeli ini meyakinkan Affandi bahwa ia punya harapan besar di masa mendatang. Ucapan yang konon tak pernah dilupakan oleh Affandi. Potret Diri, 1943 mungkin juga jadi tonggak berakhirnya periode melukis konvensionalnya. Di tahun itulah sebuah "kecelakaan" membuat Affandi pertama kalinya langsung membuat garis dengan memelotot cat dari tubenya. Ia ketika itu sedang melukis keluarganya. Ketika ia hendak membuat garis, pensil berukuran kecil yang dicarinya tak ketemu, entah terlempar ke mana. Tak sabar mencari lagi, langsung saja cat dipelotot. "Eh, efek garis pelototan itu kok lain," tuturnya kepada pelukis Fadjar Sidik, yang mewawancarainya pada 1975. Sejak itu ia suka memelotot cat meski itu berarti pemborosan. (Tapi Umar Kayam dalam bukunya tentang Affandi menceritakan bahwa "kecelakaan" waktu itu adalah pensil Affandi patah. Hingga ia memelotot cat langsung dari tube untuk membuat garis.) Teknik itu kemudian berkembang selama ia melukis di India. Bukan cuma memelotot membuat garis, akhirnya pensil sama sekali ia buang, dan bidang hanya ia bikin dengan usapan tangan. Menurut Affandi sendiri, ia baru benar-benar merasa menguasai teknik pelotot dan usap itu pada 1960-an. Ada acara rutin tahunan di Akademi Seni Rupa Indonesia, Yogyakarta (kini jadi bagian dari Institut Seni Indonesia), memperkenalkan mahasiswa barunya kepada Affandi. Dan selalu pesan pelukis ini: "Kalau kalian bisa beli baju bagus, tentu bisa beli cat, bisa banyak melukis." Melukis nomor satu, yang lain-lain boleh belakangan. Itulah semboyannya. Menurut Kartika, "Papi tak pernah beli baju." Mungkin sudah dari dalam dirinya hidup Affandi memang sangat sederhana -- di luar kegemarannya terhadap mobil. Bila ada pengeluarannya yang besar tentulah bersangkut dengan kesenilukisannya. Museum itu umpamanya, atau kegemarannya pergi ke luar negeri. "Untuk melihat perkembangan dan belajar, meluaskan wawasan, karena saya tak betah membaca," tuturnya suatu hari. "Dan untuk melukis." Ia memang suka jajan, tapi itu paling soto atau es dawet di pinggir jalan. Kegemarannya bila di rumah adalah pisang bakar dan tempe yang dibungkus kertas koran lalu dibakar. Serba murah. Tapi ia tak kenal kompromi dalam melukis. Pernah, begitu ceritanya, seorang kolektor bersedia membayar sebuah lukisannya asal ada yang diubah. Itulah lukisan dua ekor babi: sekor babi jantan sedang bernafsu mengejar betinanya yang terbirit-birit. Si kolektor mau agar kemaluan babi jantan agar tak ditonjolkan merahnya. Affandi menolak. Sebaliknya, di luar soal melukisnya, ia siap berdamai. Soal harga misalnya. Bukan saja ia mau menurunkan harga, tapi juga mengkreditkan lukisannya untuk sejumlah pembeli. Membina penggemar lukisan, itu salah satu alasannya. Toh Affandi tetap sadar harganya. "Sebab, kalau saya turunkan harga lukisanku sedemikian rendah, lalu bagaimana dengan yang lain-lain," katanya. Juga di luar negeri ia selalu membanding-bandingkan harga. Bila sebuah lukisan yang dianggap lebih baik daripada karyanya dan ternyata harganya lebih rendah daripada lukisannya, Affandi tak ragu untuk mengubah harga. Menggendong Cucu Pertama adalah wajah Affandi di tahun 1953. Sudah jauh berbeda dengan sepuluh tahun sebelumnya. Tak lagi tampil dalam gaya realistis, tapi ekspresif dengan gaya yang khas Affandi: banyak garis keriting pelototan langsung dari tube. Tapi ekspresi wajah itu adalah ekspresi 10 tahun yang lalu: muram. Demikianlah ternyata lukisan potret-potret diri Affandi sejauh pernah saya lihat, dan menurut dia sendiri sewaktu saya wawancarai pada pamerannya tahun 1982 itu. "Kemuraman dan kegagalan itulah yang tampak dari wajahku," katanya. Bahkan dalam lukisan yang menggambarkan ketika ia memperoleh cucu pertama. Tapi bahwa hidup tak lagi semuram dulu, disimbolkan oleh bintang-bintang di latar gelap dalam karya Menggendong Cucu itu. Ada juga seekor burung terbang di depan, dekat tangan kiri Affandi yang menggendong kaki bayi. Lalu di sudut kiri bawah, seekor burung hitam mendongak ke atas. Sebuah simbol masa lalu yang sulit? Bisa saja ditafsirkan begitu. Sukses memang sudah menghadang Affandi begitu ia menerima beasiswa dari Pemerintah India. Dari India ia meloncat ke Eropa, mengadakan banyak pameran. Ikut dalam pameran internasional dua tahunan di Brasil (1952), Venesia (1954, dan Affandi mendapat hadiah), di Sao Paulo (1956). Nasib sedang mujur. Datang tawaran dari AS untuk tinggal di negeri Jackson Pollock (pelopor abstrak ekspresionis AS) ini selama empat bulan, 1957. Pada 1962, pelukis yang mengaku "bodoh" dan jauh dari buku ini diundang menjadi dosen tamu seni lukis di Ohio State University Colombus. Lalu berbagai penghargaan pun diterimanya. Antara lain, 1969 Anugerah Seni dan Medali Emas dari Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI 1974 menerima gelar Doktor Kehormatan dari Universitas Singapura 1977 hadiah Perdamaian Internasional dari Yayasan Daghammerskoeld dan dinobatkan sebagai Maha Empu di Florence, Italia. Di tahun 1977 ia naik haji, dan berkunjung di negeri Arab Saudi atas undangan Raja Khalid. Selain topi haji, beberapa lukisan berpokok lukisan Ka'bah ia bawa pulang. Potret Diri, 1960, agak berbeda. Wajah khas Affandi memang tetap yang itu juga: mata sipit, berjenggot, dan dahi sedikit menonjol. Yang lain itu, banyak goresan kuning tua -- pada garis hidung, tonjolon pipi, dan jeng-gotnya. Inilah lukisan potret diri Affandi yang agak tidak muram. Mungkin karya ini di antara lukisan-lukisan potret dirinya memang merupakan perkecualian. Karya ini dibuat setelah beberapa bulan ia berada di Amerika Serikat, dan sempat meng- adakan dua kali pameran di New York. Di kota itu pulalah lahirnya ide untuk mempunyai museum pribadi. Dan di tahun inilah -- menurut cerita Affandi sendiri kepada pelukis Fadjar Sidik -- ia mulai merasa menguasai teknik pelototan dan usapan. Toh, tiga tahun kemudian kembali muncul potret dirinya yang tanpa warna cerah. Itulah Potret Diri dan Topeng, 1963. Tak jelas, apa makna topeng di situ. Yang pasti, di tahun itulah mulai terasa teror Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra, organisasi masa di bawah PKI) terhadap seniman-seniman bebas. Affandi konon tercatat sebagai anggota Lekra. Tapi kemudian ia menjelaskan bahwa namanya tercantum tanpa ia diberi tahu. Di tahun berikutnya, lahir pula sebuah potret diri lagi. Sebuah potret yang didominasi goresan dan sapuan hitam rambut, misai, jenggot, dan bayangan pada wajah. Bayangan pada wajah pernah ia buat pada potret diri yang masih realistis pada 1944, Saya di Bawah Lampu. Di situ yang ditonjolkan adalah dahinya yang lebar, dan jelas bayangan itu karena cahaya lampu. Bayang pada Potret Diri, 1964, tak jelas karena apa. Sepuluh tahun kemudian muncul wajah Affandi dengan pelototan kuning yang agak berarti. Lalu ada warna kemerahan di wajahnya. Tapi ekspresinya tak sebagaimana Potret Diri, 1960. Yang ini diam dan muram. Sejumlah potret diri yang dibuat antara 1975 dan 1980 menampilkan wajah-wajah yang sedikit santai dengan warna-warna cerah. Tapi guratan wajahnya dan awut-awutan rambutnya membuat suasana "longgar" itu kembali memberi kesan "kegagalan". Misalnya Potret Diri, 1980, Affandi menggambar dirinya dengan cangklong. Kecerahan kanvas luas dikalahkan oleh kemuraman di sekitar mata, hidung, dan pipi. Bahkan, pada Saya Sembahyang, 1979, dengan kaligrafi huruf Arab "Allah" di atas kepala, bukan suasana khusyuk yang tampil melainkan sesuatu yang menekan. Lukisan ini pada hemat saya tak begitu berhasil, terlalu banyak ruang kosong yang masih terasa kanvas. Tapi inilah karya yang mendukung ucapan Affandi sendiri bahwa wajahnya selalu tampil di kanvas dengan "muram dan gagal". Ada yang khas pada potret diri periode 1975-1980: kening Affandi selalu merah. Periode 1980-an, potret dirinya tak banyak berubah dari lima tahun terakhir sebelumnya. Di pertengahan 1980-an itu, malah ada karya yang mengundang diskusi. Hampir Terbenam, 1985, melukiskan Affandi jongkok di samping matahari yang merah. Di bawah matahari ada lagi wajah Affandi. Lalu setahun ke- mudian, ia melukis Ayam Ma-ti. Pada kanvas, di bawah tanda tangannya ada tulisan "mati". Dan karya tahun 1986 (dipamerkan dalam pamerannya di Taman Ismail Marzuki, Juni 1986) ini diberi tahun 1987. Sudahkah sang maestro merasa tahun itu adalah hari akhirnya? Waktu itu Affandi tak serius menanggapi pertanyaan itu. Dan kemudian orang melupakannya begitu saja. Potret diri sebelum 1975 menampilkan sosok wajah kukuh, tetapi wajah itu buyar pada periode sesudahnya. Wajah Affandi hanya garis-garis tak membentuk. Wajah itu hanya dikenali dari ciri khasnya yang sangat menonjol: rambut dan jenggot yang acak-acakan, dan dahi lebar menonjol. Bagi sebagian orang, itu mencerminkan kemunduran Affandi. Sejak akhir 1970-an dalam karyanya selalu bisa ditemukan garis yang tak selalu plastis membentuk, tapi menggantung dan berhenti sebagai garis. Selain ruang kosong kanvas yang terasa lepas dari pokok lukisan. Kritik itu memang benar, tapi tak berarti semua karya Affandi pada periode itu jatuh. Ada satu hal yang juga perlu dicatat. Bisa jadi Affandi pada ketika itu merasa menemukan intisari bentuk, hingga tak perlu semuanya ia tampilkan. Lihat saja potret dirinya yang hanya mengandalkan rambut, jenggot, dan dahi itu. Dan bukankah lukisan terakhirnya berjudul Embrio, cikal bakal bentuk manusia? Bambang Bujono

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus