DUNIA kehilangan seorang lagi maestro di bidang seni lukis: Affandi, 83 tahun. Komplikasi berbagai penyakit -- diabetes, gangguan paru-paru, dan lumpuh otak -- yang diidapnya sekitar 1 1/2 tahun terakhir, mengantarnya ke peristirahatan abadi Rabu 23 Mei lalu. Yang dialaminya lebih kurang mirip Salvador Dali, 84 tahun, pelukis kaliber dunia dari Spanyol yang meninggal tahun lalu. Sempat mengecap pendidikan HIS, MULO, sampai AMS, Affandi cuma bisa menyebutkan tahun kelahirannya, 1907, tanpa tanggal dan bulan. Mungkin untuk memantaskan urusan administrasi agar beres maka ia memilih 1 Mei sebagai ulang tahunnya. Ia lahir di Cirebon dari istri kedua Kusuma, seorang pegawai pabrik gula. Masa kanak-kanaknya dilewati penuh derita. Misalnya, ketika wabah cacar berjangkit, bersama enam anak Kusuma yang lain, dia kena juga. Affandi dibaringkan di daun pisang untuk mengurangi tingginya suhu badan. Empat saudaranya berturut-turut direnggut maut. Affandi luput, walau bekas cacar itu bersisa di wajahnya. Dan wajah itu pula, kelak, bahkan amat terkenal dalam sebagian tema lukisannya. Kenalannya menandai Affandi bagai orang yang "malas" bicara. "Tapi dalam bekerja, saya heran, dari sumber mana di badannya itu keluar energi yang meluap-luap," tulis S. Sudjojono dalam buku Affandi 70 Tahun. Menurut pelopor seni lukis modern Indonesia yang meninggal 4 tahun lalu itu, bila bekerja Affandi tidak punya kamus "kotor, rendah, atau tinggi". Dalam melukis, Affandi memang sangat energetik. "Saya bekerja satu minggu dua jam," katanya. Maksudnya, seminggu penuh dia berkelana ke mana-mana -- itu artinya sedang merenung. Kemudian dengan intensitas tinggi selama dua jam semua bahan renungannya diluruhkannya ke permukaan kanvas. Semangatnya tak kunjung pudar memasuki usia senja, meski sadar bagai berkejaran dengan sang waktu. Affandi melukis sejak 1936. Paling akhir, 1988, berupa potret diri. Itu dikerjakan sewaktu ia dirawat di Rumah Sakit Bethesda. Dan tidak selesai. Mungkin, di situ ia mengisyaratkan kian mendekat apa yang diutarakannya sekitar 5 tahun lalu. "Saya sudah melihat finish," katanya ketika itu. Pernah jadi portir bioskop, memberi les membaca dan menulis, menggambar reklame film, dan tukang cat papan toko di Bandung. Lalu sejak 1930-an Affandi meniti karier dalam seni lukis. Malah, di masa revolusi fisik ia terlibat membakar semangat pejuang kemerdekaan melalui poster. Boeng, Ajo Boeng adalah posternya yang terkenal saat itu, dengan teks dari penyair Chairil Anwar. Prestasinya dalam seni lukis beroleh pengakuan di mancanegara. Juga, Universitas Singapura menganugerahinya ge- lar Doctor Honoris Causa, 1978. Affandi agaknya seniman yang sukses tulen dari hasil kerja keras. Ia tenar, dan kaya, tan- pa bumbu sensasi. Sehari-hari tetap bersahaja dan tak boros. "Melukis bisa bebas, tapi hidup perlu diatur," ujarnya. Meski tampak menikmati hidupnya dengan menggemari mobil bagus, kalau sakit ia bukan tergolong orang yang suka "mengadu" ke dokter. Suatu kali toh ia ke dokter, dan sang tabib malahan menolak bayarannya. Sampai beberapa kali ia ke sana. Sebenarnya Affandi tersinggung. "Tukang becak saja membayar. Saya yang berduit malah tidak bayar," katanya. Ia berutang budi, dan menebusnya dengan lukisan. "Rasanya, nggak ada orang membayar dokter sampai dua juta rupiah. Bagi saya itu murah, sebab jiwa saya lebih dari jutaan," tuturnya, seperti dikutip di buku Apa Siapa Sejumlah O-rang Indonesia, Pustaka Grafiti, 1986. Sepanjang hidup Affandi terus berkarya, namun tidak diketahui jumlah lukisannya yang pasti. "Bapak juga tak ha- fal," kata Munandar, 63 tahun. Dalam taksiran sekretaris pribadinya itu, jumlahnya mungkin sekitar dua ribu. Sekarang, cuma sebagian kecil dikumpulkan di Museum Affandi. "Yayasan Affandi memiliki 250 lukisan Affandi yang tak dapat dijual," kata Kartika, anak satu-satunya dengan Maryati, istri pertama Affandi. Dan yang diperagakan di museum bagian selatan 62 lukisan Affandi, 9 sketsa, dan 10 reproduksi yang bisa dijual. Di bangunan utara, ada 18 lukisan karya Kartika dan 15 karya sulam Maryati. Museum Affandi hingga kini disubsidi Rp 800 ribu setahun oleh pemerintah. Penjualan tiket masuk Rp 200 per orang, izin memotret Rp 1.000. Yayasan Affandi yang mengelola museum dapat 20% dari tiap penjualan lukisan Kartika. Namun, semua itu ternyata belum mencukupi. Dan museum itu, Rabu malam lalu, ketika disirami gerimis kecil, dikunjungi para pelayat. Mereka mengalir silih ber- ganti, memberi penghormatan terakhir kepada pemiliknya, di ruang museum seluas 320 m2. Jenazah Affandi dibaringkan beberapa meter dari sedan Gallant hijau muda, salah satu yang disimpannya di sana, dengan dikelilingi lukisan-lukisan potret dirinya. Tiga patung profil almarhum, hasil pahatannya sendiri, ditaruh dekat jenazah. Di antara karangan bunga ada ucapan belasungkawa dari Presiden Soeharto, Wapres Sudharmono, Mensesneg Moerdiono, Sri Sultan Hamengku Buwono X. Hadir Menteri P dan K Fuad Hassan bersama Menko Kesra Soepardjo Rustam dan istri masing-masing. Menurut Fuad, karya Affandi merupakan aset nasional. Dan mengenai nasib Museum Affandi di masa datang, menteri yang suka main biola itu berjanji membantu. "Tapi, nanti saya bicarakan lagi dengan keluarga Affandi," katanya. Almarhum meninggalkan dua istri, 4 anak, 8 cucu, dan 14 buyut. Beberapa hari menjelang Affandi meninggal, Maryati sering mimpi indah saat berpacaran dengan sang suami. "Padahal, sebelumnya tidak pernah. Ini tentu firasat buruk," bisiknya, terisak. "Mami sudah ikhlaskan," tambahnya. Ia tak mendampingi saat kepergian Affandi. Hatinya luluh melihat kondisi suaminya yang memburuk. Sebelum keluar ruangan, tiga kali ia mencium kaki suaminya. Besoknya sesuai dengan wasiatnya, almarhum dimakamkan di setumpak tanah antara museum lama dan baru yang merupakan taman kecil di kompleks Museum Affandi di lembah Kali Gajah Wong, di pinggir timur Kota Yogyakarta. Klimaks dari prosesi pemakaman jenazah adalah pembacaan sajak Kepada Pelukis Affandi, yang ditulis Chairil Anwar pada 1946. Sebait cuplikan sajak yang dibawakan dramawan Azwar A.N. itu: Dan tangan 'kan kaku, menulis berhenti, kecemasan derita, kecemasan mimpi, berilah aku tempat di menara tinggi, di mana kau sendiri meninggi. Rasa dalam cekam. Para pelayat merunduk. Banyak yang tak kuasa membendung derainya air mata, mengantar sang maestro menemui Al-Khalik. Ed Zoelverdi, Syahril Chili, Aries Margono, R. Fadjri (Yogya)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini