SIAPAKAH pelukis Affandi sebenarnya? Seorang yang oleh ba- nyak orang dianggap maestro seni lukis Indonesia yang lahir pada 1907 di Cirebon, dan meninggal pada 23 Mei 1990 di rumahnya yang besar dan unik, di pinggir Kali Gajah Wong, Yogyakarta? Banyak wartawan dan pengamat seni mewawancarainya, banyak artikel dan beberapa buku ditulis tentang dirinya. Dan banyak keterangan tentang diri sang pelukis yang tak sama tentang satu hal. Padahal, sumber informasinya satu, Affandi sendiri. Yang aneh, putri Affandi, Kartika -- kini 55 tahun -- jarang diminta pendapat dan ceritanya tentang papinya -- demikianlah Kartika memanggil Affandi. Padahal, Kartika, anak semata wayang, pun pelukis, dan lebih kurang gaya lukisannya bertolak dari gaya ayahnya. Mereka pun sering melukis bersama, dan saling memberi komentar untuk lukisan yang dihasilkan. Berikut petikan wawancara Leila S. Chudori dari TEMPO dengan Kartika tentang Affandi, sewaktu Bapak dan Anak menyelenggarakan pameran bersama di Taman Ismail Marzuki, Jakarta, November 1989, yang ternyata merupakan pameran terakhir Affandi semasa hidupnya. "MELUKISLAH bersama alam. Melukislah dengan perasaan," kata Papi suatu hari. Papi pengagum pelukis Austria, Oskar Kokoschka, dan pelukis Belanda Vincent van Gogh, terutama karena mereka adalah pelukis yang menyatu dengan alam. (Dalam wawancara dengan pelukis Fadjar Sidik pada 1975, Affandi mengatakan mengagumi karya Toulouse Lautrec, pelukis Prancis yang cacat kakinya, di samping Van Gogh. Karena, "humanisme mereka yang kuat.") "Saya tak menyukai Picasso dan Rembrandt, karena mereka terlalu jenius. Lukisan mereka terlalu pintar," kata Papi. Menurut Papi, lukisan Picasso, bahkan yang tentang wanita, penuh dengan ide. Terhadap lukisan surealistis Salvador Dali, Papi juga bersikap sama. "Saya kagum pada mereka. Tapi saya tak suka pada lukisan-lukisan yang kelihatan begitu pintar," katanya. Saya baru menyadari bahwa Papi adalah seorang pelukis ketika suatu malam saya -- masih duduk di taman kanak-kanak -- terbangun karena ingin pipis dan minum. Saat itu, kami sekeluarga masih tinggal di Bandung. "Ayo, cepat pipis. Papi sedang melukis Mami. Jangan lama-lama. Dan ingat, jangan bilang sama Pak Darso bahwa Papi melukis Mami," kata Papi pada saya. Mami memang cantik sekali. Suatu kali kata Papi kepada Mami, "Kita mempunyai seorang a- nak. Tapi saya memberikanmu kemelaratan yang terus-menerus. Apa kau tak pernah ingin cari orang lain?" "Saya tak ingin," jawab Mami. "Saya sayang padamu." Di situlah Papi merasa bahwa Mami betul mendukung jiwa kesenimanannya. Papi juga sangat memuja kesenimanan Mami Maryati. Mami tak pernah sekolah dan tidak tangkas berbicara. Ia tak bisa menulis, tapi ternyata hasil karya lukisan kolase sulam dan kainnya sangat luar biasa. Papi pernah mengakui bahwa kecerahan warna lukisan Papi terpengaruh oleh lukisan sulaman Mami. Papi, dalam film dokumenter Hungry to Paint karya Yazir Marzuki, berkata, "Saya cemburu pada istri saya, Maryati, karena dia begitu murni dalam kesenian karena kepolosan dan kenaifannya. Saya ingin seperti dia, tapi tak bisa," kata Papi. Saat itu, saya adalah anak tunggal dan tak punya pembantu rumah tangga. Jadi, setiap kali Papi melukis, ia membawa kami semua seperti kami mau piknik. Mami menyediakan rantang, tikar, dan semua perlengkapan untuk melukis. Pada saat itulah Papi sering memberikan sisa cat pada saya. Papi memberikan segrobyokan tube itu bruk, "Nih, untuk kamu ...." Papi membiarkan saja saya melukis seenaknya. Dia beranggapan bahwa segala sesuatu yang dikerjakan, apalagi karya seni, harus ada sesuatu yang mendasar dalam jiwa, hingga kita merasa terpanggil untuk memegang tabung cat dan berhadapan dengan kanvas. Jiwa seni tak boleh dan tak bisa dipaksakan. Kadang-kadang, selain ikut-ikutan Papi melukis, sering juga saya menjadi model Papi. Saat itu, lukisan Papi lebih sering disebut naturalis. "Kenapa, sih, kami terus yang dilukis?" tanya saya suatu hari. Papi menjelaskan bahwa Papi tak mampu membayar seorang model. Sedangkan kalau menggambar saya, paling paling cukup diberi layang-layang atau janji main gundu bersama. Memang, Papi dulu tak pernah membedakan saya dengan anak laki-laki. Pendidikan saya terhenti hingga kelas satu SMP. Papi tak setuju jika saya mendapat pendidikan dasar dengan bahasa Bengali di Shantiniketan. "Sebaiknya kau sekolah seni rupa, Tik," usul Papi. Maka, saya ambil kursus seni rupa satu semester. (Antara 1949 dan 1951 Affandi mendapat beasiswa dari Pemerintah India. Tapi oleh perguruan Shantiniketan ia dianggap sudah tak perlu sekolah. Maka, beasiswa itu dipakai untuk pameran keliling India oleh Affandi, di samping membayar sekolah Kartika). *** (Pada 1952 Kartika menikah dengan pelukis Saptohudojo di London.) KETIKA saya tak henti-hentinya melahirkan anak setiap tahun, baru saya sadari betapa gundahnya Mami. Mami menyatakan penyesalannya bahwa ia hanya memiliki satu anak. "Kenapa menyesal?" tanya saya. "Melihat kamu terus-menerus melahirkan, siapa yang akan meneruskan Papi?" Tersentuh juga hati saya mendengar kata-kata Mami. Jadi, sudah lama Mami menginginkan saya melukis. Mami pernah meminta salah satu anak saya, tapi tak saya berikan. Karena saya tahu, nenek biasanya terlalu memanjakan cucunya. Dari situlah muncul ide untuk mencarikan istri kedua bagi Papi. Dan lihatlah. Mereka bisa bahagia sekali. Lucu sekali melihat ketiganya. Papi, Mami, dan Rubiyem hidup dengan rukun. Di Klaten, mereka sering mencari sarapan bersama-sama, padahal pembantu di rumah Mami ada tujuh, sementara di rumah Rubiyem ada tiga. Tapi rupanya kebersamaannya itu yang dipentingkan. Kalaupun ada cekcok, pasti kecil-kecilan. Saya yakin mereka sangat bahagia. Yang sering ribut malah orang-orang luar. (Tahun 1970 Kartika bercerai. Konon Affandi sangat sedih). SAYA memang sering berontak dan bilang pada Papi kenapa selalu laki-laki saja yang bisa bebas merdeka berbuat macam-macam. "Tik, dengan cara berpikir sepertimu dan tindakan-tindakanmu, kau tak cocok tinggal di Indonesia," kata Papi, yang prihatin dengan masa transisi saya setelah saya cerai dengan Saptohudojo. "Kalau saya banyak kawan laki-laki, tak berarti saya tidur dengan mereka. Saya hanya berkawan," kata saya. "Ya, kau bisa menerangkan pada saya. Tapi apa kau bisa menjelaskan pada orang-orang di luar?" tanya Papi lagi. Ia sangat prihatin dengan perceraian saya. (Dalam kegelisahan menjanda, Kartika suatu hari melukis perempuan telanjang. Yakni setelah pertanyaan-pertanyaan tentang dirinya sendiri tak bisa ia jawab. Lukisan itu mengambil model dirinya sendiri.) Ketika saya perlihatkan lukisan-lukisan itu pada Papi, komentarnya adalah, "Inilah kau di dalam jiwamu. Saya tidak mungkin melukis seperti itu. Rasanya sekarang saya sudah cukup mendidik kamu. Kamu sudah tahu apa yang kau kerjakan." Judul lukisan itu adalah My Turning Point of Life. "Kenapa kau melukis itu, Tik?" tanya Papi. Saya ceritakan semua prosesnya. "Papi pasti tahu beratnya menjadi Kartika ..." Papi mengangguk. "Saya juga berdosa padamu, Tik. Dan terus terang saya agak menyesal kamu jadi pelukis," kata Papi senyum-senyum. Saya kaget. "Kenapa?" "Lho, itu cucu-cucu saya jadi telantar ...," katanya tertawa. "Kelihatannya kamu tak bisa bertahan sebagai istri, ibu, dan sekaligus pelukis... Papi dan saya pernah melukis obyek yang sama, yakni seekor kerbau. Kerbau hasil lukisan saya kelihatan begitu tak berdaya dan lembut. Sementara kerbau hasil lukisan Papi nampak begitu garang dengan ekor ke atas. Ini terjadi 15 tahun yang lalu. "Ini perbedaan antara dua jiwa. Yakni jiwa wanita dan pria," komentar Papi setelah melihat kedua lukisan itu. Pernah juga kami sama-sama melukis babi. Saya gambar babi dengan anak-anaknya, dan teteknya yang menggantung. Induk babi itu kelihatan keberatan tubuh dan lelah sehabis melahirkan. Sementara lukisan Papi memperlihatkan kejantanan seekor babi. "Sekarang saya percaya kamu sudah menemukan jalanmu. Jadi, jika orang mengatakan aliranmu adalah ekspresionis atau apa kek, itu tak penting. Kau melukis. Aku melukis. Biar saja orang ribut dengan nama ekspresionis, naturalis ...," komentar Papi. Papi sendiri memang tak pernah menyatakan dirinya sebagai pelukis ekspresionis atau apa pun. Justru waktu pertama kali ada kritikus di London, tahun 1952, yang mengatakan bahwa ekspresionis Affandi adalah ekspresionis baru, Papi bertanya balik dengan lugu, "Oh, is it true that my style is expressionistic?" Salah satu lukisan terakhir Papi sebelum ia jatuh sakit adalah Bunga Matahari, yang diselesaikan 1988. Sebelumnya ia sudah melukis obyek tersebut pada 1982. Dan ia mau melukis- nya ulang untuk tahu bagaimana kekuatannya. Melihat hasil lukisan ulang ini, saya sedih dan kasihan. Gemetar betul ia. Lihat, ia sampai membuat dua buah tanda tangan, karena pikun. Suatu hari saya ingin melukis kambing. Papi ikut terangsang untuk ikut melukis. Setelah lukisan kami selesai, seperti biasa kami saling mengkritik. Saya katakan, "Papi, kok kaki kam-bingnya kaku sekali, seperti besi." Saya berani mengatakan itu, karena kami memang biasa saling mengevaluasi. Tapi mungkin akhir-akhir ini Papi lebih sensitif. Apa yang terjadi? Besoknya, ternyata Papi menghapus semua lukisan itu. Aduh, sedih saya. "Papi, sayang sekali," teriak saya. "Saya iri sama kamu, Tik. Lukisan kamu lebih bagus," jawab Papi. Papi pernah menanyakan apa yang akan terjadi dengan lukisan-lukisannya jika ia sudah tiada. Saya mengusulkan untuk mendirikan yayasan yang merawat lukisan-lukisan Papi agar jangan terjadi sengketa di antara keluarga. Saya percaya, Mami dan Bu Rubiyem, madunya, tak punya persoalan untuk berebut. Demikian juga anak-anak dan adik-adik. Tapi justru kalau semua keluarga Affandi sudah tak ada, nah, itu yang lebih mengkhawatirkan. Bisa ramai nanti. Kalau dibuat yayasan kan bisa selamat. Yayasan itu tentu saja harus diberi modal. Terutama untuk merealisasikan ide-ide Papi yang belum terwujud. Papi pernah mengatakan ingin membuat fresco, lukisan dinding, yang bertemakan otobiografinya. Tapi mungkin karena Papi banyak memikirkan keluarga, dan dia melukis, agar bisa memberi rumah, tanah, mobil, maka ide-ide ini sering terhambat. "Saya ingin sekali meletakkan patung di pekarangan ini," katanya pula suatu hari. "Kamu tahu, Tik, saya tak bisa memikirkan semua itu sendirian."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini