Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ahmad Suradji alias Dukun AS
IA populer dengan panggilan ”Datuk” atau ”Dukun AS.” Datuk ditangkap karena membunuh 42 pasien perempuannya. Mayat mereka ditemukan di perkebunan tebu PT Perkebunan Nusantara II, Desa Aman Damai, Sei Semayang, Deli Serdang, Sumatera Utara. Pembunuhan itu dilakukan pada 1986-1997.
Di pengadilan, Ahmad menyatakan melakukan hal itu demi menyempurnakan ilmu dukun warisan ayahnya. Agar ilmunya sempurna, ia diwajibkan membunuh 70 perempuan dan mengisap air liur korban. Modus yang dilakukan Ahmad, para korban yang datang untuk berobat itu harus dikubur setengah badan sebagai syarat kesembuhan. Dalam kondisi tak berdaya itulah mereka dihabisi.
Pengadilan Negeri Lubuk Pakam, April 1998, mengganjar Ahmad dan Tumini, istrinya, yang ikut membantu pembunuhan, vonis hukuman mati. Pada 10 Juli lalu, eksekusi hukuman mati terhadap pria 46 tahun yang memiliki sembilan anak ini dilakukan. Ia meninggal dengan tiga peluru menembus dada kirinya.
Dukun Usep
DIA mengaku bisa menggandakan uang. Bersama Sobirin, pria bernama asli Muhamad Tubagus Yusuf Maulana itu terbukti membunuh delapan warga Tangerang dan Pandeglang. Lima korbannya dihabisi pada 17 Mei 2007 dan tiga lainnya pada 19 Juli 2007. Mayat mereka ditemukan di sebuah lubang di kawasan hutan Cibuyur, Desa Cikareo, Kecamatan Cileles, Lebak, provinsi Banten, sekitar dua kilometer dari rumah Usep.
Untuk menghabisi korbannya, Usep meminta mereka meminum teh yang dicampur gula merah dan racun potasium. Itulah, menurut dia, syarat terakhir untuk memperoleh uang miliaran rupiah yang ia datangkan dari ”bank gaib”. Setelah limbung, korban dimasukkan ke sebuah lubang dan dikubur.
Pengadilan Negeri Rangkas Bitung memvonis Usep hukuman mati pada 10 Maret 2008. Empat bulan kemudian, 18 Juli lalu, eksekusi terhadap dukun 40 tahun ini dilaksanakan di sebuah hutan di kawasan Cimarga, Lebak, Banten. Bisa dibilang, inilah eksekusi tercepat untuk seorang narapidana yang divonis hukuman mati.
Gribaldi Handayani
TAK ada yang menduga perwira pertama polisi inilah yang melakukan serangkaian pembunuhan terhadap tujuh orang yang mayatnya ditemukan pada 2004 di Riau dan Sumatera Selatan. Dari tujuh korban, tiga di antaranya dibakar hingga hanya menyisakan kaki, termasuk Nurmata Lili, 29 tahun, istri keduanya.
Awalnya, Gribaldi menyangkal perbuatannya. Polisi lalu mendapat titik terang dari pesan pendek di telepon seluler istrinya, Danarwati. Di situ tertulis, ”Barang sudah sampai ke Bapak di Medan.” Setelah ditelusuri, barang yang dimaksud adalah pistol jenis revolver kaliber 38 S&W. Inilah senjata yang dipakai Gribaldi untuk membunuh tujuh korbannya. Dari sini jejak kejahatan Gribaldi terbongkar. Sejumlah mayat yang ditemukan itu ternyata sopir mobil yang disewa Gribaldi. Mobil diambil Gribaldi. Pada Januari 2006, Gribaldi, yang saat itu berumur 33 tahun, divonis hukuman mati Pengadilan Rengat, Riau.
Robot Gedek
Pada 1996, pria bernama asli Siswanto ini membuat geger Ibu Kota. Ia ditangkap dengan tuduhan membunuh setidaknya sepuluh bocah pria berumur belasan tahun sepanjang 1994-1996, setelah bocah-bocah itu disodomi.
Semua mayat bocah itu ditemukan dengan kondisi hampir sama, yakni di lehernya terdapat bekas jeratan dan perutnya ditusuk. Kepada polisi, Robot mengaku puas jika melihat darah mengucur dari korbannya.
Karena perbuatannya tersebut, Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Mei 1998, memvonis pria yang saat itu berusia 33 tahun ini hukuman mati. Vonis itu tak berubah hingga di tingkat Mahkamah Agung. Robot kemudian dikirim ke penjara Nusakambangan, Cilacap.
Eksekusi hukuman mati terhadapnya tak pernah terlaksana. Pada Maret 2007, nyawanya lebih dulu melayang karena serangan jantung saat ia dirawat di Rumah Sakit Umum Daerah Cilacap.
Rio Martil
Ia mendapat tambahan nama ”Martil” karena selalu menghabisi korbannya dengan martil. Antonius Rio Alex Bulo, demikian nama lengkapnya, sedikitnya telah ”memartil” empat orang hingga tewas. Korbannya sebagian besar pemilik rental mobil, yang mobilnya kemudian disikat Rio.
Rio divonis hukuman mati Pengadilan Negeri Purwokerto pada 14 Mei 2001 dan kemudian dijebloskan ke penjara Nusakambangan. Di Nusakambangan, Mei 2005, Rio membunuh terpidana koruptor Rp 40,9 miliar, Iwan Zulkarnaen. Agustus mendatang, rencananya hukuman mati terhadap Rio Martil, 33 tahun, akan dilaksanakan.
Martha W. Silaban
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo