Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Qantas Airways Ltd. menyiarkan kabar tak nikmat pertengahan Juli lalu. Raksasa penerbangan Negeri Kanguru itu akan merumahkan 1.500-an karyawan Desember mendatang. Sekitar 1.200 di antaranya karyawan yang bekerja di Australia, sedangkan sisanya berasal dari kantor cabang di seluruh dunia.
Pengurangan karyawan dilakukan terutama untuk area non-operasional. Tapi sejumlah posisi di divisi operasional juga akan dipangkas. ”Perampingan manajemen dan pendukung kantor pusat sekitar 20 persen,” kata Kepala Eksekutif Qantas Geoff Dixon, seperti dikutip kantor berita ABC News. Perusahaan itu juga mendadak membatalkan rencana rekrutmen 1.200 pegawai baru tahun ini.
Penyebabnya adalah lonjakan harga minyak mentah dunia. Emas hitam mencetak rekor harga tertinggi, US$ 147 per barel, pada perdagangan di Bursa Komoditas New York pada 11 Juli 2008. Kenaikan harga yang luar biasa ini memang mengguncang industri penerbangan. Ongkos produksi pun melambung karena harga bahan bakar pesawat juga melonjak.
Maka maskapai tertua kedua di dunia yang mempekerjakan 36 ribu karyawan itu gencar melakukan efisiensi. Mereka juga terpaksa memangkas proyeksi pertumbuhan 2008-2009 dari delapan persen menjadi nol persen, setelah mengkalkulasi pengeluaran bahan bakar naik lebih dari US$ 2 miliar.
Bukan hanya Qantas yang kelabakan. Perusahaan penerbangan nasional, Garuda Indonesia, juga gelagepan dihantam pergerakan harga minyak yang liar. Ongkos bahan bakar naik hampir dua kali lipat menjadi 40 persen dari total biaya produksi. Hingga Juni 2008, menurut juru bicara Garuda, Pujobroto, maskapai pelat merah itu telah mengeluarkan Rp 3,2 triliun untuk membeli avtur, naik hampir dua kali lipat dibanding semester pertama 2007, yang hanya Rp 1,9 triliun.
Tapi kini manajemen Qantas dan perusahaan penerbangan lain bisa sedikit lega, setelah beberapa bulan ngos-ngosan. Dua pekan terakhir, harga minyak bergerak turun. Jumat pekan lalu, harga minyak berada di level US$ 125,89 per barel. Hari sebelumnya, harga malah lebih rendah, US$ 124,44 per barel untuk minyak jenis light sweet pengiriman September.
Pelemahan harga minyak terjadi setelah Badan Informasi Energi Amerika Serikat alias EIA mengumumkan peningkatan stok minyak negeri itu sebesar 3 juta barel menjadi 296,9 juta, pada akhir pekan kedua Juli. Menurut pemerintah Amerika, konsumsi mereka turun dua persen lebih dalam empat pekan terakhir.
Analis komoditas BNI Sekuritas, Noriko Gaman, mengatakan penurunan ini tidak hanya karena penurunan konsumsi di Amerika, tapi juga akibat aksi ambil untung para spekulan. Mereka merealisasi keuntungan dari harga yang tinggi beberapa waktu lalu. Pengaruh spekulan terhadap harga sekitar 40 persen, sedangkan 60 persen didorong oleh faktor permintaan riil terhadap komoditas.
Noriko yakin pengaruh spekulan lebih besar karena pada saat ini secara fundamental tak ada pergeseran yang signifikan antara permintaan dan pasokan. ”Itu membuktikan penurunan harga kali ini dipicu oleh aksi para trader yang memanfaatkan komoditas ini untuk lindung nilai (hedging),” katanya.
Peran spekulan dalam menggerakkan harga memang luar biasa. Simak saja komentar Todd Benjamin, Redaktur Keuangan CNN International, tentang T. Boone Pickens, spekulan papan atas di pasar energi global dan Wall Street. ”Saat ia berbicara, orang-orang menyimaknya. Ketika ia menyebut harga minyak bakal mencapai US$ 150 pada akhir 2008, semua orang mengiyakannya,” kata Benjamin.
Boone Pickens dikenal jago memprediksi harga minyak dan pandai mengeksploitasi logika untuk menghubungkan fakta, kecenderungan harga, dan psikologi pasar. Ia terampil mengail keuntungan atas pernyataan beraroma spekulatif EIA atau organisasi negara produsen minyak alias OPEC. Satu lagi: media, melengkapi aksinya.
Ketika Pickens menyodorkan data produksi minyak dunia, misalnya, 85 juta barel per hari, lebih rendah dari permintaan 87 juta barel, media mem-blow up. Benarkah data itu? Tak ada yang bisa memastikan. Sebab, para produsen minyak tak jujur mengungkap angka produksi mereka yang sebenarnya. Diperkirakan, negara kaya minyak besar memproduksi berlebih untuk menjualnya langsung ke pasar bebas supaya terhindar dari pajak.
Itulah yang membuat banyak negara berang, terutama negara-negara berkembang yang menjadi pengimpor minyak. Tak hanya mereka, negara maju seperti Amerika Serikat pun geregetan terhadap ulah spekulan. Mereka berpendapat segelintir orang tamak telah membuat ekonomi berdarah-darah dan memaksa sumber keuangan Amerika terpompa ke luar negeri hanya untuk mendapatkan minyak.
Maka badan pengawas pasar modal setempat berencana mengeluarkan kebijakan untuk mengerem ulah spekulan. Menurut Noriko, otoritas Amerika akan membatasi pemanfaatan pinjaman dan fasilitas bagi trader untuk membeli komoditas atau saham komoditas. Kekhawatiran atas kebijakan yang segera diluncurkan ini memicu mereka melakukan aksi jual, yang mendorong harga turun beberapa pekan terakhir.
Selain itu, Noriko menambahkan, perlambatan ekonomi dunia memberikan kontribusi pada penurunan harga komoditas berbasis minyak karena mengoreksi konsumsi dunia. Tapi tidak signifikan. Sebaliknya, harga komoditas berbasis batu bara cenderung menguat karena permintaan meningkat. Kenaikan harga minyak mendorong orang beralih memakai batu bara. Akibatnya, harga arang hitam, yang biasanya mengekor minyak, kini lari mendahului.
Penurunan harga hasil kreasi spekulan, kata Noriko, bersifat temporary, kurang dari enam bulan. Sebab, bagaimanapun, yang menentukan harga adalah mekanisme permintaan dan pasokan. Noriko memperkirakan, awal tahun depan, harga kembali merangkak signifikan.
Pengamat perminyakan Kurtubi menambahkan, permintaan diperkirakan juga bertambah 1 juta barel per hari dari kebutuhan sekarang 87-88 juta barel. Sekitar 70 persen dari tambahan itu disumbangkan Cina dan India. Saat ini, Amerika Serikat mengkonsumsi 20 juta barel, Cina delapan juta, dan India dua juta. Tambahan itu membuat keseimbangan pasar terganggu dan bisa mendorong kembali harga minyak.
Selain itu, kata Kurtubi, isu geopolitik yang menyangkut negara penghasil minyak akan memicu penguatan harga. Sedikit saja ketegangan Amerika-Iran meningkat, harga akan naik. Apalagi sampai sekarang belum ada formula penyelesaian di antara kedua negara. ”Faktor geopolitik sangat mempengaruhi persepsi pasar,” ujarnya.
Analis batu bara, Singgih Widagdo, berpendapat beda: penurunan harga komoditas ini akan berlangsung cukup lama. Ia memperkirakan harga batu bara akan kembali flat pada level US$ 140 per ton, setelah sempat mencapai US$ 190 lebih pada 10 Juli lalu. Penggerak harga naik nantinya, kata dia, faktor hujan musiman di daerah penghasil batu bara, seperti Kalimantan dan Australia.
Nah, arah pergerakan harga minyak dan komoditas yang belum gamblang inilah yang membikin pelaku bisnis tetap waswas. Mereka memang merespons positif penurunan harga, tapi posisi kuda-kuda tak digeser untuk mengantisipasi fluktuasi harga yang mungkin saja masih bisa terjadi. Melihat grafik harga minyak, memang masih sulit meramalkan apakah penurunan harga itu akan berlangsung dalam jangka panjang.
Alasan itu pula yang membuat Qantas memensiunkan 22 pesawat yang sudah uzur. Sebagai ganti, mereka akan menggunakan pesawat baru yang irit, seperti Airbus A380 dan Boeing B787. Bagaimanapun, menurut analis Shinyoung Securities Co., Um Kyung A, penurunan harga minyak akan mendorong naik keuntungan maskapai. Kendati demikian, mereka toh tetap perlu waktu panjang untuk kembali menjadi industri penerbangan yang menguntungkan.
Retno Sulistyowati
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo