Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Panglima Besar Suara Terbanyak
Rapat pemilihan berlangsung ala koboi. Hampir semua peserta membawa senjata. Langsung merancang perang Ambarawa.
RAPAT di Markas Tinggi Tentara Keamanan Rakyat di Gondokusuman, Yogyakarta, 12 November 1945, itu tiba-tiba memanas. Kolonel Holland Iskandar, mantan perwira Pembela Tanah Air (Peta), menginterupsi pemimpin sidang, Oerip Soemo-hardjo, meminta peserta rapat memilih pemimpin tertinggi Tentara Keamanan Rakyat yang baru dibentuk seminggu sebelumnya. Oerip, yang kala itu Kepala Staf Umum berpangkat letnan jenderal, kehilangan kendali atas pertemuan. Hari itu juga Soedirman, yang berpangkat kolonel, terpilih menjadi Panglima Besar TKR.
Sayang, tak banyak rekaman yang tertinggal dari pertemuan bersejarah yang sebagian pesertanya panglima divisi dan komandan resimen itu. Catatan yang lumayan lengkap antara lain dibuat A.H. Nasution dalam bukunya, TNI Jilid 1. Nasution saat itu berumur 26 tahun, hadir sebagai Kepala Staf Komandemen I Jawa Barat, yang membawahkan tiga divisi, dengan pangkat kolonel. Menurut dia, sebenarnya hari itu Oerip mengundang semua wakil tentara dan laskar untuk membicarakan koordinasi dan strategi menghadapi kemungkinan agresi Belanda yang mendompleng tentara Sekutu. Namun, "Oerip terlihat tak bisa memimpin rapat. Dia susah menguasai jalannya pembicaraan," tulis Nasution.
Didukung sebagian besar peserta rapat yang berlatar belakang eks Peta, Holland mengambil alih pimpinan sidang. Dia lalu meyakinkan peserta rapat bahwa TKR sangat membutuhkan seorang pemimpin atau Panglima Besar.
Sebenarnya, sejak TKR dibentuk pemerintah pada 5 Oktober 1945, Presiden Sukarno telah menunjuk Soepriyadi sebagai panglima. Soepriyadi adalah komandan peleton atau shodancho tentara Peta. Sebelumnya, dia ditunjuk sebagai Menteri Keamanan Rakyat. Tapi Soepriyadi menghilang sejak pemberontakan di Blitar pada Mei 1945. Sebagian pejuang yakin dia sudah tewas terbunuh tentara Jepang.
Dalam bukunya, Genesis of Power, Profesor Salim Said, mantan wartawan dan peneliti militer, mengatakan penunjukan Soepriyadi sungguh mengherankan. Baiknya Sukarno atas rekomendasi Perdana Menteri Sjahrir dan Amir Sjarifoeddin menunjuk Oerip menjadi Kepala Staf Umum. Tugas Oerip membenahi organisasi tentara yang masih semrawut. Ketika itu, para pejuang dari beragam kelompok berjalan sendiri-sendiri. Pangkat dan jabatan pun diatur sendiri. "Ada yang mengangkat diri menjadi jenderal hanya karena berhasil merebut jip Belanda," kata Salim kepada Tempo awal September lalu. Untuk menulis bukunya, Salim mewawancarai banyak pelaku sejarah, di antaranya Nasution dan Didi Kartasasmita, saat itu Panglima Komandemen Jawa Barat dengan pangkat jenderal mayor.
Nasution curiga pembelokan agenda pertemuan Gondokusuman itu sudah diatur. "Saya yakin mereka telah membicarakannya sebelum sidang. Holland Iskandar hanya sedang akting," katanya sebagaimana dikutip Salim.
Malah Didi Kartasasmita mendeskripsikan sidang berlangsung ala koboi. "Hampir semuanya pegang senjata. Gila, sebuah pertemuan revolusioner," ujarnya. Pendapat yang berbeda dengan suara mayoritas yang menghendaki pemilihan Panglima Besar tak diindahkan. Pendapat Menteri Keamanan Ad Interim Muhammad Sulyoadikusumo, yang mewakili pemerintah pusat, pun tak diacuhkan.
Pemilihan berlangsung secara sangat sederhana. Nama-nama calon, di antaranya Oerip, Soedirman, Amir Sjarifoeddin, dan Moeljadi Djojomartono dari Barisan Banteng, ditulis di papan tulis. Lalu panitia menyebutkan nama calon, dan pendukungnya diminta mengacungkan tangan. Kalkulasi suara langsung ditulis di papan tulis.
Tjokropranolo dalam buku Panglima Besar TNI Jenderal Soedirman mengatakan pemilihan berlangsung dalam tiga tahap. Pada tahap pertama dan kedua diberlakukan sistem gugur. Cerita mengenai metode pemilihan ini, kata Tjokropranolo, yang pernah menjadi ajudan Soedirman, dia peroleh dari Komandan Batalion Badan Keamanan Rakyat Surakarta, Djatikoesoemo.
Selain mendapat dukungan luas dari tentara eks Peta, Soedirman, yang saat itu baru 29 tahun, dipilih utusan dari Sumatera, Kolonel Moh Noch. Nasution mengatakan suara Moh Noch, yang mewakili enam divisi di Sumatera, turut menjadi penentu kemenangan Soedirman dalam pemilihan.
Oerip, yang mendapat suara terbanyak kedua—dukungan untuknya datang dari para tentara eks Koninklijke Nederlands(ch)-Indische Leger (KNIL)—diminta tetap sebagai Kepala Staf Umum. Dia dinilai mahir dalam strategi militer menghadapi Belanda. Rapat juga memilih Sultan Hamengku Buwono IX sebagai Menteri Pertahanan. Sultan hadir sebagai tamu istimewa bersama Pakubuwono XII, Mangkunegoro, dan Paku Alam.
Dalam catatan Nasution, Soedirman terpilih lantaran TKR kala itu didominasi bekas Peta—selain unsur KNIL, Heiho, dan pemuda. Dan di kalangan Peta, terutama beberapa daerah di Jawa, Soedirman memang sudah cukup dikenal. Sersan Purnawirawan TKR Sarmoedji, 87 tahun, bercerita kepada Tempo, mantan Komandan Batalion atau Daidancho Kroya itu dikenal luas berkat keberhasilannya meyakinkan Jepang agar menyerahkan senjata secara damai kepada tentara Indonesia. Hal senada diungkapkan T.B. Simatupang dalam buku Laporan dari Banaran. Menurut dia, ketika menjadi Panglima Divisi BKR Purwokerto, Banyumas, Soedirman bersama Raden Ishaq menjadikan Banyumas sumber pasokan senjata bagi wilayah Jawa Barat dan Jawa Tengah. "Pak Dirman selalu dapat diharapkan untuk memberikan bantuan," tulisnya.
Sebaliknya, Oerip diperkirakan kalah karena di kalangan tentara muncul sentimen negatif terhadap serdadu didikan Belanda. "Semangat itu terpupuk dari didikan organisasi tentara Jepang," kata Salim Said. Tak aneh, Oerip—mantan mayor KNIL yang kala itu 52 tahun—lebih dekat dengan pemerintah dibanding tentara. Yang juga merugikan posisi Oerip, dia lebih lancar berbahasa Belanda dan Jawa dibanding berbahasa Indonesia. Padahal para tentara TKR, yang mayoritas berusia 20-an tahun, sedang bersemangat menggunakan bahasa Indonesia.
Dua hari setelah pemilihan Soedirman, tepatnya pada 14 November 1945, Perdana Menteri Sutan Sjahrir mengumumkan komposisi kabinet. Sjahrir menunjuk Amir Sjarifoeddin sebagai Menteri Pertahanan.
Penunjukan Amir ini bertentangan dengan kesepakatan Gondokusuman, yang memilih Sultan sebagai Menteri Pertahanan. Ini antara lain karena Sjahrir tak menyetujui peran Peta dan organisasi militer Jepang lainnya dalam TKR. Dia mengharapkan tentara Indonesia bebas dari pengaruh fasisme Jepang. Pendapat yang berbeda inilah yang membuat belakangan hubungan Soedirman dengan Amir dan Sjahrir beberapa kali tegang.
KETIKA rapat di Gondokusuman berlangsung, situasi di Ambarawa dan Magelang memanas, menyusul kedatangan tentara Inggris pada 20 Oktober—hampir sebulan sebelumnya. Tentara Inggris yang dipimpin Brigadir Jenderal Bethel berniat membebaskan tawanan perang. Bethel telah bersepakat dengan Gubernur Jawa Tengah Wongsonegoro mengenai ini, tapi para pejuang mencurigai kehadiran tentara Ratu Elizabeth itu.
Para pejuang khawatir tentara Belanda membonceng Rehabilitation Allied Prisoners of Wars and Internees—badan yang didirikan Sekutu buat mengurus tawanan perang—untuk kembali menguasai Indonesia. Kecurigaan ini menyebabkan meletusnya pertempuran melawan tentara Inggris di berbagai daerah.
Pada 31 Oktober 1945, Presiden Sukarno meminta perang terhadap Inggris atau Sekutu dihentikan. "Bukan saja di Surabaya, tapi Magelang," kata Sukarno. Namun pertempuran terus terjadi. Dan pada November itu, konflik kembali tak terkendali setelah pemimpin tentara Inggris di Surabaya, Brigadir Jenderal Mallaby, terbunuh.
Soepardjo Roestam, yang menjadi pe-ngawal Soedirman, mencatat, seusai pemilihan yang berakhir malam hari, Soedirman langsung mengajak para panglima divisi membahas siasat perang. Dia memerintahkan tentara mempersiapkan perang Ambarawa.
"Pimpinan menyadari betapa strategisnya Ambarawa," tulis Tjokropranolo. Antara lain karena di dalam Kota Ambarawa terdapat benteng Banjoe Biroe, yang sejak zaman Belanda telah digunakan sebagai markas tentara. Selain itu, Ambarawa, juga Magelang, adalah tangsi sekaligus tempat latihan bagi KNIL.
Diputuskan malam itu Ambarawa dijadikan Markas Pusat Koordinasi Pertempuran, agar pertempuran berjalan di bawah satu komando. Markas akan menjadi pusat pengaturan siasat dan pengerahan pasukan, bukan hanya TKR, tapi juga laskar. Markas ini mengkoordinasi beberapa wilayah, di antaranya Banyumas, Kedu, Yogyakarta, dan Solo.
Kematian pemimpin pasukan Banyumas, Letkol Isdiman, memperburuk konflik di Ambarawa. Isdiman tewas pada 26 November 1945 dalam perjalanan menuju Ambarawa, terkena tembakan dari sebuah pesawat Mustang. "Banyak yang bilang Kolonel Soedirman merasa terpukul. Isdiman merupakan salah satu prajurit kepercayaannya," kata Sarmoedji, yang saat mengikuti pertempuran Ambarawa berusia 20 tahun.
Soedirman memimpin sendiri Markas Pimpinan Pertempuran di Magelang. Setelah kematian Isdiman, dia sering terjun langsung ke front untuk memeriksa situasi.
Dalam rapat pada 11 Desember tahun itu, Soedirman dan Komandan Sektor memutuskan menjalankan siasat Supit Udang. Ini merupakan strategi sergapan mendadak untuk menguasai Jalan Raya Semarang-Yogyakarta.
Maka, tepat pukul 04.30 esok paginya, serangan dimulai. Rentetan tembakan bersahutan dan bergema di empat penjuru kota. Menurut Tjokropranolo, pada hari keempat atau 15 Desember 1945, pasukan TKR dan laskar berhasil membentuk gerakan menjepit seperti Supit Udang, yang ujung-ujungnya bertemu di luar kota sebelah utara Ambarawa. Pasukan Inggris keluar menuju Semarang.
Perang Ambarawa, dikenal sebagai Palagan Ambarawa, dikenang sebagai salah satu kemenangan besar Soedirman.
Tapi, menurut Richard McMillan dalam buku The British Occupation in Indonesia 1945-1946, pasukan Inggris mundur karena tugas evakuasi tahanan sudah ber-akhir pada 8 Desember, setelah semua tawanan dibawa ke Semarang. "Satu minggu kemudian, garnisun Inggris ditarik dari Ambarawa," tulis McMillan. Dia mengutip dokumen perang WO 203/6159, periode Oktober 1945-November 1946.
Meski demikian, McMillan mengakui terjadi perang hebat saat tentara Inggris membebaskan tawanan di Semarang, Surabaya, Ambarawa, dan Magelang. Di Magelang, menurut dia, pasukan Inggris diserang 5.000-an personel pasukan Indonesia. Inggris kemudian melakukan serangan balik dengan bantuan batalion Kido Butai dari Jepang. Mengutip Nugroho Notosusanto, peneliti Universitas Indonesia, Han Bing Siong, dalam The Secret of Major Kido, mencatat pertempuran dengan Kido Butai merupakan perang awal kemerdekaan yang paling brutal.
Sejarawan Rushdy Hoesein punya pendapat lain. Menurut dia, tentara Inggris mundur dari Indonesia karena desakan Jawaharlal Nehru. Konon, pemimpin India itu tidak terima pasukan Gurkha digunakan Inggris untuk bertempur melawan rakyat Indonesia. "Soalnya, Nehru berulang kali menyerukan mendukung kemerdekaan Indonesia," katanya.
BERTEMPAT di Markas Tinggi TKR, Gondokusuman, Presiden Sukarno dan Wakil Presiden Hatta akhirnya melantik Soedirman sebagai Panglima Besar pada 18 Desember 1945.
Menurut Salim Said, pemerintah menunda pelantikan selama sebulan karena ada keengganan melantik Soedirman yang dipilih para tentara. Para elite politik yang mendapat didikan Barat berprinsip pembentukan tentara semestinya memenuhi konsep supremasi sipil. "Nyatanya, tentara sudah terbentuk sebelum pemerintah membentuk tentara," katanya.
Tapi Nasution menulis, model "bapakisme—pemimpin yang dipilih anak buahnya—justru lebih baik karena memunculkan pemimpin yang umumnya dapat ditaati. Panglima dengan anak buah sangat dekat, biasa memanggil dengan sebutan "anak-anakku".
Dua hari kemudian, berita pelantikan Soedirman muncul di Harian Merdeka dengan judul "Toean Soedirman Mendjadi Panglima Besar T.K.R.". Namun foto yang dicetak adalah tokoh Soedirman, pejuang Surabaya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo