Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Bapak Tentara dari Banyumas

Berlatih kepanduan di Hizbul Wathan dan menjadi guru di sekolah Muhammadiyah, Soedirman masuk tentara pada masa pendudukan Jepang. Kariernya melesat: di usia 29 tahun dia dipilih sebagai Panglima Besar Tentara Keamanan Rakyat.

Dikenang sebagai jenderal sederhana yang dekat dengan prajurit, ia peletak fondasi bagi kultur TNI—institusi yang pernah dikutuk sekaligus dicintai.

12 November 2012 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

IA mungkin telah jadi ikon: sepotong jalan utama dan sebuah universitas negeri telah menggunakan namanya. Raut lelaki tirus itu pernah tertera pada sehelai uang kertas.

Di Jakarta, tubuhnya yang ringkih diabadikan dalam bentuk patung setinggi 6,5 meter di atas penyangga 5,5 meter. Menghadap utara, dibalut jas yang kedodoran, ia memberi hormat—entah kepada siapa.

Barangkali, hanya sedikit cerita yang kita ingat dari Soedirman—sejumput kenangan dari buku sejarah sekolah menengah. Ia panglima tentara yang pertama, orang yang keras hati. Ia pernah bergerilya dalam gering yang akut—tuberkulosis menggerogoti paru-parunya.

Sejak ia remaja, orang segan kepadanya: karena alim, dia dijuluki Kaji. Ia aktif dalam gerakan Hizbul Wathan—kepanduan di bawah payung Muhammadiyah.

Dipilih melalui pemungutan suara sebagai Panglima Besar Tentara Keamanan Rakyat/Angkatan Perang Republik Indonesia pada 12 November 1945, Soedirman figur yang sulit dilewatkan begitu saja. Ia mungkin sudah ditakdirkan memimpin tentara.

Dengan banyak pengalaman, tak sulit baginya terpilih sebagai panglima dalam tiga tahap pengumpulan suara. Dia menyisihkan calon-calon lain, termasuk Oerip Soemohardjo—kandidat lain yang mengenyam pendidikan militer Belanda.

Sentimen negatif terhadap eks prajurit Tentara Kerajaan Hindia Belanda (KNIL) memuluskan jalan Soedirman untuk terpilih dalam kongres Tentara Keamanan Rakyat di Yogyakarta. Ketika itu, ia 29 tahun dan terkenal di kalangan pemimpin divisi, terutama di Jawa, berkat kecakapan dan karismanya.

Ketika menjadi Komandan Batalion Pembela Tanah Air di Kroya, dia berhasil meyakinkan Jepang agar menyerahkan senjata secara damai. Sebagai Panglima Divisi TKR Purwokerto, Banyumas, dia juga menjadikan kota itu sumber pasokan senjata bagi wilayah Jawa Barat dan Jawa Tengah.

Sebulan sesudah diangkat menjadi panglima, dia memukul mundur pasukan Inggris yang diboncengi pasukan Belanda di Ambarawa dalam sebuah pertempuran yang brutal. Saat itu Inggris baru saja menaklukkan Jepang.

Soedirman dilantik sebagai Panglima Besar pada 18 Desember 1945—tiga hari setelah kemenangan itu. Di Gedung Markas Tinggi TKR di Gondokusuman, Yogyakarta, ia ditahbiskan oleh Sukarno dan M. Hatta.

Sebagai Panglima Besar—meminjam sebutan Soepardjo Roestam, mantan pengawalnya—Soedirman adalah bapak tentara yang setiap perintah yang diucapkannya disetujui anak buah. Dia dipandang berjasa meletakkan fondasi bagi Tentara Nasional Indonesia.

Tapi tak banyak catatan tentang Soedirman. Sejumlah orang dekat memang menyinggung namanya dalam memoar mereka. Tapi setiap memoar punya sisi subyektifnya sendiri. Soedirman dengan demikian "dilukis" dari sudut pandang sang kerabat—ia tak pernah tampil utuh. Ia mosaik yang terserak.

Tak ada studi yang memadai, misalnya, yang menjelaskan posisi Soedirman dalam pertarungan isme-isme selepas kemerdekaan. Ia memang dikenal dekat dengan Tan Malaka, tapi ia tahu bahwa Tan bukan satu-satunya.

Liputan khusus tentang Soedirman—bagian dari rangkaian edisi khusus tokoh sejarah Indonesia sejak Tempo terbit kembali pada 1998—merupakan ikhtiar untuk memaparkan figur-figur kunci dalam perjalanan Indonesia. Tujuannya adalah menyajikan fakta apa adanya, membuka sisi putih dari si hitam atau sisi hitam dari si putih, karena selalu ada kemungkinan kombinasi di antara keduanya.

Begitu pula Soedirman. Kami tak berpretensi menjawab tuntas pertanyaan-pertanyaan yang ada, apalagi menuliskan ulang sejarah. Liputan yang disajikan untuk memperingati Hari Pahlawan 10 November ini merupakan sekelumit fakta yang didasari wawancara, reportase, dan diskusi.

Pekerjaan yang tak sepenuhnya mudah, terutama karena banyak sumber penting yang telah wafat. Kami mengerahkan wartawan ke tempat kelahiran Soedirman dan berbagai kawasan yang pernah dia singgahi selama hidupnya—termasuk Kediri, satu titik penting dalam rute gerilya menjelang akhir 1948. Dari sedikit pelaku sejarah yang masih hidup dan sumber lain, diperoleh gambaran betapa banyak faset tersaji dalam hidup Soedirman.

Pembaca, liputan ini tak berpretensi mengumpulkan semua mosaik tentang Soedirman dan menyusunnya menjadi gambar yang utuh. Ada cacat, mungkin. Tapi inilah upaya maksimal yang bisa kami buat untuk membantu pembaca mendapatkan gambar Soedirman dari pelbagai sisi.


Daftar Tim Lapsus Soedirman:
Penanggungjawab Proyek: Purwanto Setiadi Kepala Proyek: Yuliawati Koordinator: Anton Septian, Muchamad Nafi, Sandy Indra Pratama Penulis: Agoeng Wijaya, Agung Sedayu, Agus Supriyanto, Akbar Tri Kurniawan, Anton Aprianto, Anton Septian, Anton William, Bagja Hidayat, Dwi Riyanto, Eko Ari Wibowo, Fanny Febiana, Fery Firmansyah, Heru Triyono, Muchamad Nafi, Mustafa Silalahi, Purwanto Setiadi, Reza Maulana, Sandy Indra Pratama, Widiarsi Agustina, Yandhrie Arvian, Yuliawati Penyunting: Amarzan Loebis, Arif Zulkifli, Bina Bektiati, Budi Setyarso, Dody Hidayat, Firman Atmakusuma, Hermien Kleden, Leila S Chudori, L.R. Baskoro, Nugroho Dewanto, Philipus Parera, Purwanto Setiadi, Putu Setia, Qaris Tajudin, Sapto Yunus, Seno Joko Suyono, Setri Yasra, Wahyu Dhyatmika, Yandhrie Arvian, Yos Rizal, Yosep Suprayogi Penyumbang Bahan: Sunudyantoro (Koordinator), Agus Supriyanto (Koordinator), Addi Mawahibbun Idhom (Yogyakarta), Anang Zakaria (Yogyakarta), Arihta U Surbakti (Bogor), Aris Andrianto (Cilacap), Bernada Rurit (Yogyakarta), Edi Faisol (Semarang), Eko Widianto (Pacitan), Hari Tri Wasono (Kediri), Pribadi Wicaksono (Magelang) Foto: Ratih Purnama Ningsih (Koordinator), Ijar Karim, Bahasa: Iyan Bastian, Sapto Nugroho,Uu Suhardi Desain: Djunaedi (Koordinator), Aji Yuliarto, Eko Punto Pambudi, Kendra Paramita, Rizal Zulfadly Tata Letak: Agus Darmawan Setiadi, Tri Watno Widodo Perpustakaan: Danni Muhadiansyah, Driyandono Adi, Evan Koesumah, Soleh

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus