Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Lembaran seng putih berbaris menutup pekarangan rumah di Jalan Borobudur Nomor 22, Jakarta Pusat. Kontras dengan rumah di sekitarnya yang berpagar besi dan rimbun dengan tanaman, pekarangan rumah itu tak bisa dilongok orang dari badan jalan. "Itu rumah yang dikuasai Menteri Perumahan Rakyat Djan Faridz," kata Ketua RT 09 di wilayah perumahan elite tersebut, Abdul Muluk, kepada Tempo, Kamis pekan lalu.
Surat Izin Perumahan Nomor 26 Tahun 2006 yang dikeluarkan pemerintah DKI Jakarta mencantumkan nama Nini WiÂdjaja sebagai penyewa rumah itu. Nini, sesuai dengan isi surat tersebut, merupakan istri Djan Faridz. Di dalam surat tersebut, Nini menguasai rumah di atas tanah seluas 2.016 meter persegi itu sejak 2009 dengan menyewa ke DKI Jakarta sebesar Rp 300 ribu per bulan. "Padahal sesungguhnya itu rumah almarhum ayah saya," ujar Sie Swan Hwie.
Sudah lama pria 61 tahun itu menuntut rumah tersebut dikembalikan kepadanya. Pada Juni 2011, misalnya, Sie pernah mengadukan Nini ke Kepolisian Daerah Metropolitan Jakarta Raya. Dia mengadukan Nini dengan tuduhan melakukan perusakan rumah tanpa setahu pemilik aslinya. Sie geram karena Nini membongkar bagian belakang rumah itu tanpa pemberitahuan. Rumah yang sebelumnya berdinding semen itu menjadi kamar-kamar kotak berdinding gipsum.
Menurut Sie Swan, ayahnya, Sie Sioe Ho, membeli rumah bergaya Belanda itu pada 19 Mei 1949 dengan tiga sertifikat bernomor 130, 131, dan 132 yang dikeluarkan Departemen Agraria pada 1927. Rumah tersebut disewakan kepada Lie Kian Joe, dosen Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Salemba, Jakarta Pusat. Sie Sioe Ho wafat pada 1983.
Sie Sioe dan Pan Yu Lin, istrinya, menyewakan rumah itu karena mereka sudah memiliki rumah di Jalan Padang, Setia Budi, Jakarta Selatan. Rumah inilah yang sekarang dihuni Sie dan adiknya serta Pan Yu Lin, yang kini berusia 87 tahun. Lie Kian menyewa rumah Jalan Borobudur 22 hingga awal 1964. Semua bukti penyewaan rumah tersebut, ujar Sie Swan, masih disimpannya hingga kini.
Pada 1964, Lie Kian pindah ke Malaysia. Saat itu tengah hangat isu pengganyangan Partai Komunis Indonesia, dan rupanya Lie terganggu oleh isu ini. Saat meninggalkan Indonesia, ia tak pamit kepada Sie Sioe. Begitu kosong, rumah itu lantas dihuni sejumlah dosen dan karyawan Universitas Indonesia. "Mereka mengira rumah itu aset UI," kata Sie Swan.
Melihat ini, ujar Sie, ayahnya lantas mengadukan para penghuni itu ke Kantor Urusan Perumahan Daerah Chusus Ibu kota Djakarta. Berhasil. UI mengakui rumah itu milik Sie Sioe. Hanya, para dosen beserta keluarganya tetap tak bersedia angkat kaki. Sie Sioe juga tak menerima sepeser pun uang sewa. Yang mengejutkan, pemerintah Jakarta belakangan mengeluarkan surat izin perumahan (SIP) kepada para dosen dan memungut uang sewa, yang dimasukkan ke kas pemerintah.
Berpuluh tahun kemudian, pemerintah Jakarta mengeluarkan SIP kepada orang yang berbeda-beda, dan belakangan "jatuh" ke tangan Nini Widjaja, istri Djan Faridz. Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 49 Tahun 1963 tentang Hubungan Sewa-menyewa Perumahan, SIP memang bisa diberikan kepada siapa saja yang membutuhkan tempat tinggal.
Sie Swan menganggap Nini dan Djan tak berhak menerima SIP. "Dia kan menteri yang punya banyak rumah," katanya. Di Jalan Borobudur ini, Djan memang tak hanya "mempunyai" satu rumah. Menurut Abdul Muluk, selain menguasai rumah di Jalan Borobudur 22, Djan menguasai rumah Nomor 4. "Sama-sama dikuasai lewat SIP," ujar Muluk.
Di Jakarta, rumah yang berstatus SIP seperti di Jalan Borobudur itu cukup banyak. "Jumlahnya sekitar 2.000," kata Kepala Bidang Perizinan dan Penertiban Dinas Perumahan DKI Jakarta Yaya Mulyarso. Pemilik SIP, ujar Yaya, dilindungi undang-undang. "Uang sewanya masuk ke kas DKI."
Menurut Yaya, dia sudah tahu perihal Sie Swan sebagai ahli waris dan memiliki sertifikat rumah itu. SIP rumah tersebut, kata dia, sudah beralih dari Nini Widjaja ke Andika, anaknya. Sie Swan, ujar dia, tak bisa langsung menguasai rumah itu. Ada hak-hak pemegang SIP yang mesti dia penuhi. "Kalau dijual, misalnya, pemilik SIP berhak atas 40 persen dari nilai jual rumah," katanya.
Menurut Sie, keluarganya sebenarnya pernah berencana membawa masalah rumah ini ke pengadilan. Namun nyali mereka ciut saat menghitung-hitung biaya sewa pengacara berikut biaya lainnya. "Kami tak punya uang," ujarnya. Keluarganya kemudian sepakat rumah itu tak akan dijual kendati harganya ditaksir mencapai Rp 15 miliar. "Cuma, sekarang ini kami berhadapan dengan menteri," ujarnya. "Kami ngeri."
Sebenarnya aduan Sie ke Polda Metro Jaya sempat ditindaklanjuti. Beberapa penyidik mendatangi rumah itu untuk mengumpulkan bukti tak lama setelah ia membuat pengaduan. Namun kini penyidikan polisi itu tak terdengar lagi.
Tempo berupaya meminta komentar Djan perihal rumah yang digugat Sie ini. Jumat pekan lalu, setelah Djan tak merespons pesan pendek (SMS) permintaan wawancara, Tempo mendatangi Djan di kantornya, Kementerian Perumahan Rakyat di Jalan Raden Patah, Jakarta Selatan. Ditemui setelah salat Jumat, Djan menolak diwawancarai. "Saya sibuk rapat," katanya.
Harapan Sie untuk mendapatkan rumah itu belum pupus. Salah satunya melalui Gubernur Joko Widodo dan wakilnya, Basuki Tjahaja Purnama. Saat pemilihan kepala daerah Jakarta beberapa waktu lalu, rumah itu dipakai sebagai media center tim pemenangan Jokowi-Ahok. Kepada Tempo, Jokowi menyebutkan rumah itu dipinjamkan Djan kepada timnya. Nah, Sie pernah mendatangi Ahok dan melapor perihal rumahnya yang dipakai tim pendukung Ahok itu. "Dia berjanji akan membantu setelah terpilih," ucapnya.
Saat pilkada lalu, rumah itu memang ramai dikunjungi wartawan dan para relawan Jokowi. Kini, setelah pilkada selesai, rumah itu nyaris tak berpenghuni. Satu-satunya yang menunjukkan rumah tersebut bekas markas pilkada adalah belasan layar komputer yang masih terpasang di sejumlah dinding ruangan. "Itu monitor bekas mengawasi penghitungan suara," kata salah seorang penjaga rumah tersebut.
Menurut Sie Swan, seperti Ahok, Jokowi sudah tahu masalah rumah warisan ayahnya itu. "Dia bilang akan mengecek dulu," ujar Sie. Dalam waktu dekat, kata Sie, dia akan kembali menemui Ahok. "Saya sudah membuat janji," ujarnya pekan lalu.
Siang itu, dari balik pagar, Sie Swan menatap rumah peninggalan ayahnya dengan mata berkaca-kaca. "Ini nasib menjadi orang biasa," katanya.
Mustafa Silalahi, Bagja Hidayat
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo